Oleh Delfitria
Seperti biasa, latihan karate rutin setiap minggu akan dimulai. Kini aku sudah sabuk biru. Sekitar 4 tahun ku perjuangkan sabuk biru karate ini mulai dari masuk SMP. Harapannya, aku bisa melanjutkan jadi sabuk coklat, lalu hitam saat di SMA. Kebetulan SMA ku punya salah satu ekstrakulikuler karate. Tentu! Tentu saja aku gabung dalam eskul tersebut tanpa menduga bahwa ternyata itu adalah tahun terakhir bergabung dengan karate. Setidaknya, sampai ada seseorang yang berbicara, “Kok Bisa Sabuk Biru, Sih?”
Ada beberap anak baru yang tergabung dalam kegiatan Karate SMA. Beberapa dari mereka ada yang memulai sabuk putih hingga hitam. Karate SMA ini diajarkan oleh kakak kelas yang telah memiliki sabuk hitam. Jelas. Dia idola di sekolah karena wajah tampan dan badan atletisnya. Dalam setiap pertunjukan ekstrakurikuler selalu ada si Kakak itu yang memimpin pertunjukan untuk demo di depan siswa baru agar turut bergabung di Karate. Sepertinya, salah satu alasan aku bergabung Karate juga karena melihat kepandaiannya dalam atraksi.
Kami belajar berbagai jurus, seperti biasa. Namun ada yang berbeda dari latihan karate di SMA ku. Ada beberapa jurus praktis yang diajarkan untuk kita menghadapi orang-orang jahat di luar sana. Jurus menghindar, melawan, hingga melepaskan diri dari dekapan seseorang ketika mereka ingin melakukan pelecehan. Si Kakak ini, dia dengan penuh kepercayaan diri dan pengalaman mengajarkan kami. Kami dijadikan berpasang-pasangan. Aku yang sangat senang dengan karate tentu menyukai sesi berpasangan seperti ini. Jelas, agar aku bisa menyerap ilmu darinya, dari si Kakak itu.
Datanglah sebuah sesi dimana si Kakak mengitari kami satu per satu. Si Kakak berusaha membenarkan gerakan atau letak tangan dan kaki yang tidak sesuai. Hingga akhirnya, si Kakak menghampiriku dan mengucapkan, “Kok bisa sabuk biru, sih? Gerakannya saja begitu.” Wait…
Aku berusaha memproses perkataannya. Apa dia sedang memperbaiki letak kaki dan tanganku? Tidak. Apa dia sedang mengatakan bahwa aku salah? Tidak. Dia sedang ‘menghujatku’ entah karena apa. Apa karena kuda-kudaku yang salah? Atau karena terlihat lemas? Entahlah. Umpan balik yang tidak jelas seperti ini sontak membuatku overthinking! Wow, bisa-bisanya seseorang yang dikagumi menyampaikan umpan balik dengan cara seperti itu. Tentu dia tidak hanya sekali menyampaikan skeptic seperti itu. Rasanya beberapa kali aku diremehkan olehnya. Satu kalimat yang keluar seperti itu rasanya memukulku begitu dalam.
Perkataan si Kakak terngiang hingga sekarang. Setelah itu aku menjadi lebih malas untuk datang ke tempat latihan karate yang dimana pelatihnya saja tidak percaya terhadap kemampuan anak buahnya. Isinya hanya skeptisme, ketidakpercayaan dan akhirnya menghancurkan rasa percaya yang dimiliki. Aku pasti tidak bisa berkembang di tempat itu. Apa nanti ketika ku sudah bersemangat dapat dihargai? Atau hanya akan dibalas, “Ah paling baru kali ini…” entah. Sedih sekali rasanya. Setiap kali bertemu si Kakak itu atau berusaha melakukan kegiatan Karate yang ku ingat hanyalah perasaan diremehkan. Tak lama kemudian, aku memutuskan untuk berhenti Karate dan berharap bisa bertemu dengan orang yang menghargai kemampuan orang lain.
Photo by svklimkin on Unsplash