Oleh: Atik
Daripada sakit hati
Lebih baik sakit gigi ini
Biar tak mengapa
Beuuuuh… Ogah banget, deh, ngalamin kaya’ lirik lagu itu lagi! Bagi saya, sakit gigi tuh ampuuuuun, menghambat seluruh rutinitas. Kalau sakit hati, menurut pengalaman pribadi saat melalui badai perceraian 3 tahun lalu, saya tetap bisa tegak berdiri mengajar murd-murid saya dalam kondisi 5 menit sebelumnya baru saja menangis meraung-raung. Hehehehehe, meskipun tak mau juga untuk kejadian lagi. Namun, sungguh ketika tiba sakit gigi menyerang, energi rasanya sudah habis ditelan rasa nyut-nyut tak terkira. Kalau sudah sakit gigi mendera, akhirnya berkonsultasi ke dokter gigi menjadi pilihan yang harus diambil.
Masalahnya, saya termasuk orang yang takut ke dokter gigi. Hihihihihi. Seumur hidup, kayanya bisa dihitung jari deh, saya menyambangi ruang dokter gigi. Padahal kegemaran makan yang manis-manis tak pernah tertahankan, sementara aktivitas sikat gigi saya biasa saja. 2x sehari alias kalau pas waktunya mandi saja. Walhasil, yaaa banyak gigi saya yang berlubang tanpa ditambal. Bahkan gigi sebelah geraham bawah kiri sampai habis sendiri dan hanya ke dokter gigi beberapa tahun yang lalu untuk mencabut sisanya yang keciiiiiil banget. Nah, itu kan sudah bertahun-tahun yang lalu, ya. Hingga tiba saatnya giliran gigi bagian geraham bawah yang kanan, meradang sekitar 2 tahun lalu. Sudah membusuk tinggal separuh dan akarnya ada di dalam gusi. Sakiiiiit!!!!!!
Sebenarnya masalah gigi geraham kanan ini sudah ada sejak tahun terakhir saya kuliah dulu. Sudah sering berkali-kali tiba-tiba gusi saya berdarah. Tapi, yaaaa itu, saya takut sekali ke dokter gigi. Takut melihat segala peralatan yang pastinya digunakan di dalam ruangan praktiknya. Hhhhhh…. Akibat ketakutan saya yang konyol itu, jadilah gigi saya yang membusuk itu meradang. Gusi membengkak. Obat radang dan pereda nyeri yang saya beli di apotek tak mempan menangkal rasa sakit yang mendera. Meskipun begitu, saya masih sempat bisa makan, sih, dengan mengunyah menggunakan gigi bagian kiri saja. Namun, akhirnya pada suatu sore bulan Ramadan 2 tahun lalu, saya merasa gusi bengkak itu tak kunjung kempes. Bahkan saat saya tengok di cermin, Astaghfirullah ‘adziiim. Gusi bengkak saya sudah terlihat berisi nanah di dalamnya. Saya pun syok, terhenyak. Takut. Pikiran buruk pun melintas.
Akhirnya, mau tak mau saya putuskan langsung menyambangi klinik dokter gigi yang untungnya ada di ruko depan perumahan tempat saya tinggal. Ngga sampai 5 menit naik motor ke sana. Paaas banget hujan mengguyur, saya yang diantar Buya, ayah saya, sampai di klinik drg. Asti. Saat melihat kondisi gigi saya, drg. Asti menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengatakan dengan tenang bahwa gigi tersebut harus dicabut saat itu juga.
“Percuma dikasih obat pereda radang tak akan mempan karena sudah mulai bernanah.” Begitu ucapnya.
Huhuhuhuhu. Sumpah, saat itu saya takut sekali.… Syukurlah, drg. Asti ramah dan menenangkan. Beliau memberikan penjelasan yang gamblang tentang prosedur pencabutan gigi saya yang kedua akarnya perlu dicabut supaya tidak menimbulkan infeksi lagi di kemudian hari. Jika tidak dapat diangkat dengan tang gigi, maka perlu dilakukan pembedahan ringan dan dijahit setelahnya. Astaghfirullahal ‘adziim.
Maka, dengan menguatkan hati dan merapalkan zikir kepada Allah, saya pun setuju menjalani proses pencabutan gigi busuk tersebut saat itu juga. Pembiusan lokal dilakukan di dua titik. Allahu Akbar, sakit, euy…. Yaah, namanya juga jarum ditusuk ke daging kita, yaa sakit lah, ya…. Ternyata untuk membuat kebas bagian gusi yang berkaitan dengan daerah gigi saya yang akan dicabut, membutuhkan dua ampul obat bius. Setelah kurang lebih 5 menit pasca dibius lokal, akhirnya proses pencabutan gigi saya pun berlangsung juga. Saya hanya pasrah dan menutup mata selama tindakan berlangsung. Sempat beberapa kali terasa ngilu dan agak nyeri ketika dokter mengangkat kedua akar gigi dan membersihkan nanah di dalamnya. Untunglah rasa kebas di area tindakan membuat saya agak santai selama proses itu berlangsung meskipun kedua tangan saya erat memegang handle kursi pasien, tempat saya duduk.
Alhamdulillah, tindakan tersebut selesai kurang lebih 15 menit tanpa harus dibedah. Selepas tindakan, drg. Asti menjelaskan bahwa ini menjadi pelajaran bagi saya ke depannya agar jika gigi sudah mulai berlubang harus segera ditangani sehingga tindakannya tidak harus sampai sebesar seperti yang saya alami sore itu. Saya pun hanya diberi obat penahan nyeri, antibiotik, dan obat kumur standar setelah proses pencabutan gigi selesai.
Yaa Allah, ternyata memang kesehatan itu adalah sesuatu yang amat berharga, ya. Saya sering mengabaikan kondisi tubuh dan organ lainnya jika sudah sibuk dengan rutinitas. Padahal, justru kesehatan adalah modal utama kita untuk bisa beraktivitas apa saja dengan lancar. Termasuk kesehatan gigi. Kita setiap harinya pasti makan segala macam untuk menunjang perut dan stamina, kan. Maka, sudah sepatutnya sanitasi gigi dan mulut harus dijaga juga karena kuman-kuman masuk dari situ.
Sejak itu, saya mulai membiasakan lagi menggosok gigi sebelum tidur. Begitupun setelah sarapan pagi (kalau siang suka lupa karena makan di tempat kerja, hehehe). Naudaubillahi min dzaaliik kan kalo sampe gegara gigi tak sehat menimbulkan penyakit lain yang tidak saya inginkan. Nah, bagaimana denganmu? Sehatkah gigimu?
10 Juli 2021
Hari ke-5, Lock Down Writing Challenge, Books4care, Kinaraya.com
#atikberbagikisah
IG : atikcantik07
Photo by Superkitina on Unsplash