Flash Fiction Virgin Tirta Putri: Menunggu

 Di halte ini tersisa dua orang termasuk diriku sendiri. Satunya adalah seorang pemuda yang duduk di sisi lain kursi panjang halte ini. Keberadaannya membuatku sedikit was-was. Aku merasa lebih nyaman andainya aku sendirian saja menunggu di sini. Karena laki-laki itu menjijikan mau mereka itu manusia atau setan. Namun melihat penampilannya sepertinya dia tidak jahat. Mantel cokelatnya terlalu necis untuk menyeret wanita ke tempat sepi. Lagipula dengan wajah setampan itu, dia tidak perlu menculik wanita untuk diperkosa. Jika aku tidak jijik pada laki-laki mungkin kami sudah bercinta di halte ini. 

Malam segera mencapai pertengahan, aku tidak menyerah menunggu tumpanganku satu-satunya untuk pulang. Beberapa kali aku mencuri pandang pada wajah surgawi pemuda itu terpesona pada kelembutan dan ketenangannya. Tanpa sempat aku antisipasi mata kami bertemu. Dia tersenyum sopan sedangkan aku menjerit dalam hati mengutuki rasa maluku. 

“Sedang nunggu Bus ya, Mbak?,” tanyanya. Suaranya selembut madu mengalir mulus ke pendengaranku. Walaupun panggilan mbak itu membuatku kesal. Apa aku terlihat tua? Namun buru-buru aku melupakan rasa kesalku.

“Iya, Mas,” jawabku selembut mungkin.

“Pulangnya larut sekali, Mbak. Apa tidak takut keliaran sendiri?,” tanyanya.

“Awalnya takut, Mas. Sekarang sudah biasa,” jawabku.

“Mbaknya ini pemberani sekali ya,” pujinya.

“Ah, tidak malah sebaliknya,” jawabku yang dengan naifnya tersipu.

Giliranku bertanya. “Masnya nunggu juga?”.

“Sebenarnya enggak, Mbak. Saya khawatir sama mbaknya agak bahaya di sini banyak yang jahat-jahat nanti Mbak dimakan,” jawabnya.

Wah senangnya, ternyata dia laki-laki yang baik. Sungguh menyesal aku sempat meragukannya tadi. Aku harusnya sadar laki-laki yang dipilih untuk menjalankan tugas suci seperti dia mana sama pikirannya dengan 10 laki-laki yang memerkosaku hingga tewas itu. 

“Mbak, kenapa naik Bus? Kenapa tidak diantar saja?” tanya pemuda itu.

Aku tersenyum kecil teringat bertahun-tahun dalam pelarian, perjanjian, segala macam kekuatan dari yang warna hitam sampai abu-abu. Semua yang aku lakukan demi pembalasan dendam. Kalau dipikir-pikir usahaku itu sudah setimpal dengan hasilnya. Aku mendatangi mimpi-mimpi mereka bahkan di siang bolong. Sampai mereka tidak bisa membedakan lagi mana yang kenyataan dan mana yang imajinasi. Sangat menyenangkan melihat kesepuluhnya menjadi gila kemudian mati mulai dari kecelakaan sampai bunuh diri. 

Namun setiap dendam memiliki harga, sebagai jiwa pendendam yang masih saja kepikiran untuk membunuh orang padahal dia sendiri sudah mati. Aku kehilangan kesempatanku untuk meninggalkan dunia ini dengan damai. Tidak apa-apa, walaupun takdir itu labil dan merepotkan. Namun ternyata dia selalu adil kepada siapapun. Toh, bukan aku yang membunuh mereka. Aku kan cuma sering mampir sampai mereka merasa bersalah. Aneh, aku merasa jauh lebih optimis ketika jadi arwah penasaran ketimbang jadi manusia. 

“Mbak?” panggil pemuda itu memecahkan lamunanku. 

“Iya, maaf saya jadi bengong. Keinget kejadian waktu mati sih, Mas.”

Pemuda itu tersenyum. “Sekarang jangan diinget-inget lagi, Mbak. Tuh, Busnya sudah datang.”

Pemuda itu menunjuk cahaya menyilaukan di ujung jalan berasal dari Bus besar yang perlahan mendekati halte. Cahaya itu tidak hanya berasal dari lampu depan Bus itu saja namun dari seluruh bagian Bus itu yang berwarna putih bersih dan berkilauan. Pemuda itu mengajakku berdiri. Kami berdiri bersandingan di tepi trotoar menunggu Bus berhenti di depan kami.

“Oh iya, Namaku Selva. Boleh tau namamu?” tanyaku. Kami tidak akan bertemu lagi setelah ini tapi aku ingin mengetahui namanya untuk mengingat niat baiknya menjagaku malam ini. 

“Boleh. Halo Selva. Namaku Ankara. Selamat menikmati perjalananmu selanjutnya, ya.”


Photo by Jonathan Cosens Photography on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *