Sekarang aku tak sabar menanti sampai akhir pekan tiba. Sejak kami dijadwalkan sebulan dua kali menghabiskan akhir pekan di rumah bude, perasaan tak sabar ini mulai muncul. Deg-degan tiap Sabti pagi, sebelum berangkat ke rumah bude.
Semua bermula saat pertama kali kami, kakak beradik melewatkan akhir pekan pertama di rumah bude Mayang. Aku yang bosan dan merasa terpaksa harus beradaptasi dengan sepupu-sepupuku, memutuskan duduk sendirian di teras rumah. Dalam bosanku, di kejauhan, dari rumah salah satu tetangga bude, seorang gadis kecil berkulit sawo matang terlihat di balik bingkai jendela.
Karena jarak yang cukup jauh, dan banyak daun-daunanan, pandanganku terbatas untuk melihatnya dengan jelas. Tiba-tiba gadis kecil itu tersenyum dan membuatku gelagapan. Tak mau gede rasa, kutengok ke sana ke mari, jangan-jangan dia tersenyum ke orang lain. “Tak ada siapa-siapa, artinya senyumannya buatku?”
Dan seperti bisa membaca pikiranku, gadis di jendela itu mengangguk. Tiba-tiba, kurasakan wajahku memanas. Aku salah tingkah dan membalas tersenyum kaku, kalau tak mau dikatakan nyengir kebingungan.
Aku kemudian beranjak dari teras dan mendekat ke batas pekarangan bude. Tapi gadis itu tak muncul lagi. Saat membantu bibi membersihkan meja makan usai makan malam, sepinta kutanyakan pada bude tentang tetangga di sebelah Timur rumahnya. Menurut bude, keluarga itu tidak banyak bergaul dengan tetangga. Mereka hanya akan hadir pada acara-acara warga yang penting. Anak-anak di rumah itu juga tidak bermain bersama anak-anak lain sebayanya. Paling tidak mereka masih sering menyapa anak-anak bude. Kebetulan, salah satu anak itu, berulang tahun pada hari yang sama dengan anak bude yang tertua.
“Biasanya kalau Dika ulang tahun, kita saling berbagi kue dengan rumah itu. Kadang kita rayakan bersama di balik pagar masing-masing. Mereka memang keluarga aneh, tapi bukan orang jahat. Hanya menutup diri dari pergaulan dengan sesama warga. Tapi dengan keluarga kami, mereka mau bertamu ke sini. Bukan karena pakde ketua RT di sini, tapi memang mereka tidak bergaul dengan semua orang,” jelas bude Mayang.
Pagi-pagi keesokan hari, dengan rasa penasaran, aku duduk lagi di teras. Berharap, gadis itu muncul di jendela. Pucuk dicinta ulam tiba, tiba-tiba aku menangkap bayangan gadis itu di jendela. Tapi hanya sekelebat dan menghilang. Agak kecewa aku, tapi kuputuskan menunggu lagi. Siapa tahu dia akan muncul di jendela seperti kemarin, harapku.
Tiba-tiba dari teras rumah sebelah, gadis itu muncul. Ujung teras mereka memang berhadap-hadapan dengan teras rumah bude, walau tak persis. Ada rasa lega, karena akhirnya bisa melihat gadis itu. Usianya mungkin sebaya denganku, atau sedikit lebih muda, taksirku.
Aku berdiri, di teras dan segera tersenyum, walau terasa ganjil. Ini pertama kalinya aku begini. Gadis itu membalas senyumku. Rasanya hati ini senang. Tiba-tiba gadis itu berlari masuk ke dalam rumah.
Kecewa hatiku tapi tak bisa apa-apa. Sepanjang siang sampai sore sebelum kami meninggalkan rumah bude, aku berharap bisa melihat gadis itu, sayangnya dia tak muncul lagi.
Sejak saat itu, aku tak sabar ingin cepat-cepat menginap di rumah bude. Aku makin beruntung karena setiap kali menginap, makin sering aku melihatnya. Aku sudah bisa mendengar suaranya. Pernah sekali kudengar dia bersenandung. Suaranya cukup merdu.
“Anak-anak rumah itu selalu juara kelas. Mereka tidak pernah ikut les tambahan seperti yang lain, tapi saat anak-anak lain bermain, mereka harus belajar. Mereka juga anak-anak yang sopan. Orang tuanya sangat disiplin,” jelas bude di lain waktu.
Buatku, cukup dengan hanya bisa melihatnya dari teras rumah bude, aku sudah bahagia. Katika pindah ke SMA, kamu mulai jarang menginap di rumah bude. Saat aku naik kelas dua, setiap ke rumah bude, aku tak menemukan gadis itu lagi. Menurut bude, keluarga itu sudah pindah kira-kira dua bulan lalu ke luar kota.
Lunglai rasanya, karena aku sudah punya rencana suatu hari akan mengungkapan rasa sukaku pada gadis itu. Dia cinta pertamaku.
Hari ini, saat melewati sebuah rumah tua di pedalaman Kalimantan, aku tiba-tiba teringat gadis sawo matang itu. “Sudah di mana dia sekarang? Bagaimana hidupnya? Apakah dia bahagia?”
Aku masih berharap bisa bertemu dengannya suatu hari. Sebelum bude Mayang meninggal dunia, aku sempat menanyakan, kalau-kalau bude punya kabar tentang keluarga itu. Bude sempat menyebutkan kalau mereka pindah ke Kalimantan. Sekarang, sedang tugas penelitian di Kalimantan. Semoga ada keajaiban, aku bisa bertemu dengan gadis itu lagi.
Photo by Laura Chouette on Unsplash