Flash Fiction Iecha: Duplikat

Pukul delapan malam. Aku baru pulang dari masjid bersama teman-teman sekamar. Sambil merapikan mukena dan menggantungnya di sisi ranjang, teman-temanku membahas tentang agenda belajar malam. Seperti hari-hari sebelumnya, mereka belajar di komplek sekolah selama musim ulangan ini.

“Kamu belajar sama Kak Rahma, kan?” tanya Novi padaku. Di ujung tangannya sudah ada sandal, yang menandakan dia sudah bersiap keluar.

“Iya. Tapi, males banget.”

“Kasihan Kak Rahma, ih!”

Mauku rebahan saja. Entahlah, malam ini aku benar-benar malas untuk berangkat ke sekolah yang masih satu komplek dengan asramaku. Sudah hampir seminggu ulangan berlangsung, dan setiap hari aku belajar sama Kak Rahma. Baru kali ini aku merasakan malas yang menggila.

Satu-satu teman sekamarku pamit. Mereka membawa buku sesuai jadwal ulangan besok dan alat tulis secukupnya. Hanya tinggal aku, Dina, dan Tricia di kamar. Dua temanku itu pun sibuk bersiap-siap ke kelas.

“Yakin, mau di kamar sendiri?” tanya Dina

Aku mengangguk sambil merebahkan tubuh di kasur.

“Entar ada nenek-nenek.”

Ah! Kenapa mengingatkanku pada hal itu lagi?

Lekas-lekas aku bangkit dari tempat tidur, melapisi kausku dengan kemeja, kemudian memakai bergo yang tergantung di dekat mukena. Setelah melihat jadwal ulangan besok, aku mengambil buku pelajaran dari rak. Sambil menenteng sandal, aku berlari ke bawah.

Bagaimana aku bisa lupa pada kejadian beberapa hari lalu? Saat itu sudah malam. Kakak kelasku yang terkenal rajin dan pintar—sebut saja Kak Nana—masih asyik dengan buku pelajarannya. Tiba-tiba, dia mendengar kamarnya diketuk. Segera saja dia bukakan. Lalu, di hadapannya, muncul seorang nenek renta.

“Nak, udah malem. Tidur. Nggak usah belajar lagi,” kata nenek itu.

Kak Nana mengiyakan. Nenek itu pergi dan Kak Nana kembali menutup pintu kamarnya. Hampir saja dia kembali membaca buku, tatapannya membentur jam di dinding yang menunjukkan pukul dua pagi.

Kesadarannya muncul perlahan. Nenek-nenek renta mana yang sanggup naik sampai ke lantai tiga di jam dua pagi, dan tahu dia masih belajar? Kak Nana lekas membungkus diri dengan selimut, tidak berani melihat kiri-kanan lagi. Tubuhnya gemetar hingga pagi.

Cerita itu viral karena seorang teman kamarnya ada yang terbangun kejadian itu. Tidak sampai enam jam, cerita itu sudah sampai di telinga seluruh murid. Seperti konsep bisnis multilevel, begitulah cara cerita seram menyebar. Kak Nana kemudian sibuk melayani teman-teman yang penasaran hingga harus mengulang ceritanya berkali-kali.

“Kamu belajar di mana?” tanya Dina, saat kami berbelok ke komplek sekolah.

“Fatahillah Satu,” ucapku, menyebut lokal kelas.

“Oh, ya udah, aku belok, ya.”

Aku mengangguk.

Dina dan Tricia belok ke lokal kelas Imam Bonjol—gedung sekolah yang hampir setahun lalu selesai renovasi—sedangkan aku terus ke lokal Fatahillah. Tempatku belajar adalah bangunan lama yang berdiri sejak awal sekolah ini ada. Untuk belajar, lokal ini sangat kondusif karena cukup sepi, berbeda dengan Imam Bonjol yang ramai.

Dari jendela, aku melihat Kak Rahma sudah ada di dalam kelas. Dia duduk di deret ke tiga baris ke empat, seperti biasa. Aku bergegas masuk ke kelas, tidak ingin dia menunggu lebih lama.

“Udah dari tadi, Kak?” tanyaku, sambil meletakkan buku yang aku bawa di atas meja.

Tidak ada jawaban dari Kak Rahma. Kakak kelasku itu asyik menunduk, meski tidak ada satu buku pun di atas mejanya. Aku menghampiri. Mungkin dia mengantuk dan tertidur selagi menungguku.

“Kak Rahma?”

Dia menegakkan kepala. Beberapa saat aku tertegun saat melihat wajahnya yang pucat.

“Kakak sakit? Pulang aja, yuk. Nggak usah belajar.”

Kak Rahma mengangguk. Dia beranjak dari bangku dan menghampiriku. Aku gamit tangannya. Terasa dingin. Pasti dia sakit. Dalam hati, aku merasa beruntung karena tadi aku memutuskan untuk ke kelas. Jika tidak, kasihan dia menungguku dalam kondisi seperti itu.

“Eh, kamu nggak belajar?” tanya Hanifa, yang baru mau masuk kelas. Setiap malam, dia berada di kelas yang sama denganku dan Kak Rahma, hanya saja dia belajar sendiri.

“Nggak. Kak Rahma sakit.”

“Oh …. Semoga cepet sembuh!”

Sepanjang jalan, aku memilih diam. Kak Rahma juga sepertinya enggan aku ajak berbincang. Namun, aku tetap memegang tangannya yang sedingin es. Sampai di kamarnya nanti, aku akan membuatkan teh hangat supaya besok bisa ikut ulangan. Sengaja aku ambil jalur belakang asrama supaya lebih cepat sampai.

Tiba di belakang asrama B, aku menyadari tidak ada tangan dingin dalam genggamanku. Aku celingak-celinguk mencari, tetap tidak ada Kak Rahma. Pikiranku tertuju pada bangunan toilet di sepanjang belakang asrama B. Aku segera masuk, berharap Kak Rahma ada di situ. Sayangnya, aku mendapati seluruh pintu toilet terbuka, menandakan tidak ada seorang pun di dalamnya.

Aku keluar lagi, menyusuri jalan yang tadi aku pijak. Kekhawatiranku memuncak, membayangkan dia pingsan tanpa sepengetahuanku. Kepalaku menoleh ke kiri-kanan, mencari sosoknya. Sampai aku tiba kembali di kelas, tidak ada Kak Rahma di manapun.

“Nyari siapa, Sha?” tanya Hanifa.

“Kak Rahma.”

“Kata kamu Kak Rahma sakit?”

“Iya, tadi aku lagi mau anter ke kamarnya, tau-tau hilang gitu aja.”

“Sha, tadi kamu cuma sendirian. Nggak ada Kak Rahma.”

Aku bengong beberapa detik. “Yang bener?”

“Bener. Aku pikir kamu mau jenguk Kak Rahma.”

“Nif, temenin aku!”

Bersama Hanifa, aku menuju ke kamar Kak Rahma di asrama D, selisih dua gedung dari asrama dari asrama B. Jalur yang aku tempuh sama seperti tadi: lewat belakang asrama. Aku masih berharap Hanifa salah lihat, dan Kak Rahma sedang menungguku di depan toilet. Nyatanya, jalan itu kosong.

“Rahma …! Ada yang nyariin, nih!”

Teriakan itu singgah di telingaku waktu aku menginjakkan kaki di kamar Kak Rahma. Aku menunggu di depan pintu dengan jantung berdebar. Tidak sampai satu menit kemudian, Kak Rahma muncul, menyambutku dan Hanifa dengan senyum khasnya.

“Wah, sampe disamperin. Maaf ya Sha, Kakak telat. Tadi abis dari luar.”

Aku dan Hanifa saling lempar tatapan.

“Kak, nggak usah belajar di kelas, deh,” kataku.

“Eh? Kenapa? Kamu sakit, ya? Pucat banget. Sini, masuk.”

Bersama Hanifa, aku masuk ke kamar Kak Rahma. Kami duduk di atas tikar. Setelah meminum segelas teh yang disuguhkan Kak Rahma, aku mulai menceritakan apa yang aku alami barusan. Beberapa temannya ikut duduk di tikar dan mendengarkan.

Besok, cerita nenek-nenek di kamar Kak Nana tidak lagi menarik. Berganti dengan ceritaku bertemu duplikat Kak Rahma di kelas.


Photo by Syd Wachs on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *