OLeh: Cicih M Rubii
Melihat rumah bedengan, sederet kenangan indah bertaburan.
“Lapar, Mas!”
“Iya…”
“Aku Ingin makan sesuatu…”
“Kita punya apa?”
“Enggak ada, Mas”
“Hmm…”
Percakapan siang saat kami berdua rebahan di kamar sambil memperbaiki draft skripsi.
Cuaca di luar sangat panas
“Maaf ya De, kamu lapar?” tanya mas Wahyu pelan.
Mas Wahyu mengelus-elus perutku. Aku mengikuti gerakannya.
Bau masakan tetangga menusuk. Mengaduk-aduk asam lambung. Mengirim kabar ke otak bahwa tubuh lapar. Jujur aku berharap, ada tetangga yang mengantarkan sepotong makanan buatku. Wanita muda yang sedang hamil muda.
Sedari pagi kami berdua belum makan. Tadi pagi aku hanya makan sepotong roti sisa tadi malam. Mas Wahyu hanya minum segelas kopi.
Mas Wahyu membuka-buka dompet, sepertinya mencari–cari sesuatu. Tapi nihil
Lalu dia membuka-buka laci, mengaduk-aduk isinya.
‘Ini ada uang dua ribu. Beli apalah dulu,” sahut Mas Wahyu sambil menutup kembali laci lemari kayu.
“Iya. Pepaya beku enak siang-siang begini,” ujarku sumringah.
Segera aku beranjak menuju warung depan rumah. Mencungkil potongan buah warna oren yang sudah beku. Buah favoritku, setidaknya sejak aku dinyatakan hamil
“Mas pergi dulu ya. Tidur saja, semoga nanti sore Mas dapat uang!”ujar Mas Wahyu gamang.
“Eh, Mas mau kemana? Aku gak mau sendirian,” ujarku menahannya pergi.
“Lah, katanya lapar. Mas mau cari uang,” bujuknya lembut.
Aku mengantar Mas Wahyu ke pintu pagar. Ada rasa berat ditinggalkan. Tapi ya bagaimana lagi, kami benar-benar tak punya uang. Kiriman beasiswa belum datang.
Kami pasangan mahasiswa yang baru menikah sekitar 6 bulan lalu. Kami tinggal di rumah bedeng, bangunan super sederhana bagi keluarga muda. Rumah tanpa kamar, hanya 1 ruangan yang kami jadikan kamar, dapur kecil di depan kamar mandi yang mungil.
***
Hari mulai beranjak sore. Anak-anak kecil ramai bermain di depan rumah bedeng. Pedagang bolak-balik menawarkan makanan. Sedangkan mas Wahyu belum juga pulang. Aku benar-benar kelaparan.
“Duh, kemana ya Mas Wahyu. Lama amat!” ucapku meringis.
Rasa perih di lambung, semakin menguat. Kuusap perutku perlahan. Teringat kedua orang tuaku. Mereka mungkin pernah mengalami ini dulu. Berumah tangga harus siap mental, seperti yang ibu ceritakan.
“Ya Allah, tolong jaga Mas Wahyu untukku. Beri rezeki yang banyak” harapku memohon pada sang Kuasa.
Jangan nangis. Jangan nangis. Nanti Mas Wahyu khawatir, ucapku memotivasi diri.
Azan Magrib berkumandang. Mas Wahyu belum juga pulang. Kutahan sekuat tenaga agar air mata ini tidak tumpah.
“Assalamu’alaikum!” suara mas Wahyu ceria.
Aku yang sedang mengaji segera bangkit membukakan pintu. Di hadapanku berdiri lelaki yang kucintai. Kuraih tangannya, lalu kucium dengan takzim.
“Ini nasi Padang. Makanlah!” ucapnya bersemangat.
“Alhamdulillah. Makasih, Mas!”seruku gembira.
Segera kuambil 2 sendok di dapur, membuka bungkusan tersebut. Nasi dengan lauk rendang dan lalap daun singkong dilengkapi sambal ijo sangat menggugah selera.
“Yuk Mas, makan bareng!” tawarku sambil menarik tangannya. Kusodorkan sendok untuknya.
“Enggak, buat kamu aja,” tolaknya cepat.
Nasi padang ini sangat nikmat. Sudah lama memang aku tak menikmatinya. Sejak menikah, seringnya masak nasi dengan lauk seadanya. Tapi kami berdua tak pernah mempermasalahkannya. Yang penting kami selalu bersama.
Dia mengamatiku makan sambil tersenyum senang.
“Mas Wahyu tadi kuliah? Dapat uang dari mana?”tanyaku sambil menggigit potongan rendang.
“Tadi mas kuliah di pasar!” jawabnya enteng .
“Nasi tadi jatah Mas makan siang. Inget kamu, jadi dibawa pulang,” lanjutnya sambil tersenyum.
“Kuliah kok di pasar? Belum makan ya?”tanyaku keheranan
“Kuliah. Kuli manggul sayur!”jawabnya tertawa.
“Ha… ?”
Segera kuletakkan sendok. Lalu aku memeluknya dan menangis.