Waktu Ibuk Kecil: Mbah Cekok

Oleh Windu Utami Surya Dewi

Masa kecilku sama seperti anak lain. Nangis,  rebutan,  kerengan dengan teman sepermainan adalah hal biasa.  Bertengkar bahkan ketika kalah dalam sebuah permainan aku seringkali lari pulang dan menangis.

Ibuk selalu bilang, “Nek dolanan kui kalah ki rapopo. Rasah nangis.” 

(Seandainya bermain itu kalah adalah hal biasa,  jadi tak perlu menangis).

Ibuk bercerita bahwa aku adalah anak yang cengeng dan sangat susah makan. Sehingga badanku kecil dan kurus. Simbah uti menggunakan cara tradisional agar memacu nafsu makanku. Jamu empon-emponlah solusinya. Simbah menggunakan ramuan temulak yang diambil sarinya kemudian diminumkan secara paksa namun cara itu ternyata tidak efektif. Aku masih sama,  tetap sulit makan. 

Cara lain adalah dibawa ke tempat Mbah Cekok. Istilah yang kubuat sendiri. Sebuah tempat yang khas. Aroma rempah sudah tercium dari jarak jauh. Banyak anak-anak sepertiku yang datang dengan tujuan berbeda-beda.

Aroma itu berasal dari racikan rempah dan empon-empon.  Diramu sesuai dengan keluhan yang datang. Setiap anak memiliki ramuan berbeda. Ramuanku juga, sosok tua berkonde dan berkebaya itu begitu fasih memilih bahan-bahan yang berbaris rapi di depannya.

Botol-botol yang di mataku terlihat sama namun baginya isinya memiliki fungsi dsn khasiat masing-masing. Dicampur dalam batok kelapa hitam,  kemudian dimasukkan ke dalam kain.Momen itu yang paling tidak kusukai. Karena sesi selanjutnya aku akan dipegang erat-erat kemudian ramuan yang tersimpan dalam kain itu diperaskan ke dalam mulutku sambil hidungku dipencet sehingga mau tak mau cairan itu masuk ke lambungku. 

Ibuk memberikan istilah cekok untuk peristiwa itu. Memaksa memasukkan jamu ke dalam perutku agar nafsu makanku meninggat. Selain penambah nafsu makan cekok juga untuk mengobati batuk, menggilangkan capek dan masuk angin bagi anak-anak bahkan ada cekok yang berkhasiat sebagai penumbuh rambut. 

Simbah punya ide lain agar nafsu makanku bertambah. Ketika pagi hari, aku diajak berkeliling dengan berjalan kaki. Mengamati setiap atap rumah yang sudah berasap. Asap itu sebagai pertanda bahwa yang empu rumah sedang memasak sesuatu di dapurnya. 

Kemudian simbah akan mengetuk pintu dan meminta apa yang sedang dimasak. Yang diketuk pintunyapun dengan senang hati memberikan sedikit. Simbah sengaja meminta kira-kira dua suapan mulutku saja. Lalu berpindah ke rumah yang lain sampai aku kenyang. Ternyata cara simbah sungguh efektif. Dengan lahap aku menghabiskan setiap menu berbeda yang kami dapatkan. 

Jika menjelang siang aku akan ikut makan di rumah teman-teman sepermainanku. Apa yang mereka makan akupun makan. Duduk di atas tikar,  di atas bangku kayu ala kadarnya,  bahkan duduk di atas kulit kelapa yang ditelungkupkan. Aku melakukannya dengan senang hati. 

Menu yang paling kusukai adalah jangan besengek tahu dan kol (sayur santan tahu dan kol) dengan sambal terasi.  Dimakan tanpa lauk sama sekali. 


Photo by Annie Spratt on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *