Oleh: Lia Nathalia
Karena pada setiap pertemuan akan ada pula sebuah perpisahan. Pada tiap kelahiran akan ada kematian. Hiduplah dengan bahagia untuk hari ini, saat masih ada pertemuan dan belum ada perpisahan. Saat masih ada kelahiran dan belum berujung pada kematian.
Bougenville, Kembang Sepatu, berwarna-warni tertata rapi dalam satu harmoni. Yang unik, jejeran Nanas juga ikut menyemarakkan pekarangan rumah tua atau yang biasa disebut orang kampung rumah batu putih. Pohon buah dan bunga-bunga ditata menyata dan seirama, jadi tak terasa bedanya.
Ada beberapa drum air bersih tak jauh dari pohon Kembang Sepatu merah dan disampingnya tumbuh subur anggrek hutan dan benalu yang mengisap inangnya pohon jambu air. Selain nanas dan jambu air, pohon buah-buahan juga cukup lengkap di pekarangan rumah tua. Ada pohon jambu air, jambu bol, dukuh, rambutan, coklat, srikaya, dan lain-lain termasuk pohon durian.
Tanaman obat juga beragam. Ada daun kumis kucing, jahe, sereh dan lain-lain. Semua dirawat dengan baik dan tertata rapih.
Hewan ternak dan hewan peliharaan juga ada, mulai dari burung nuri sampai burung hantu.
“Jangan main di luar rumah. Jangan lupa belajar,” ujar ibu mengucap mantra-matra larangan ini dan itu, sambil meninggalkan rumah. Masih kuamati tubuh mungilnya yang kian mengecil, sampai punggungnya hilang di tikungan gang.
Rumah tua bercat putih dan hijau pada bagian lis bangunan, pada masanya adalah rumah terbaik di kampung kami. Sepeninggal ibu, rumah kembali senyap.
Kami anak-anak yang tinggal di rumah tua, tak diperbolehkan main bersama kawan sebaya di luar rumah. Mereka juga tak bisa berkunjung atau bermain di rumah kami. Setelah sekolah usah, anak-anak dari rumah tua, harus segera pulang. Rutinitas yang harus dijalani setelah tiba di rumah sudah jelas. Setelah makan siang, tidur siang, membersihkan pekarangan dan bagian dalam rumah, mandi sore, kemudian membuat pekerjaan rumah sambil menunggu waktu makan malam. Setelah makan malam boleh menonton televisi, tapi hanya program berita atau edukasi lainnya.
Ada dispensasi soal nonton televise bagi anak-anak di rumah tua model jaman kolonial itu, yaitu pada musim Piala Dunia, Piala Eropa, pertandingan Tinju dan Badminton.
Tak pernah terdengar lagu-lagu dangdut dari rumah tua. Muski keroncong atau lagu-lagu Barat lebih sering terdengar. Semua penghuni rumah tua setiap pagi membaca koran, mendengar siaran berita di radio dan menonton berita di televise.
“Tapi kami tak pernah kurang akal untuk bergembira, walau kami tak boleh bermain dengan kawan sebaya di kampung ini. Kami menghabiskan waktu dengan belajar, membuat prakarya yang bisa dijual kalau mau,” jelas Prameswari, gadis kecil berkuncir dua, berumur kira-kira delapan tahun ketika ditanya salah satu anak kerabatnya.
Ya kehidupan di rumah tua itu tenang. Saat Kenanga berbunga dan angina berhembus dari Utara ke Selatan, wangi Kenanga akan semerbak tercium di rumah cat putih itu. Demikian pula ketika Cengkeh berbunga.
Anak-anak di rumah tua punya kebiasaan duduk menikmati matahari terbenam dari teras rumah sambil menikmati cantiknya bunga-bunga di halaman.
Hari ini, rumah tua itu sudah berganti beberapa rumah kekinian dan jalan raya. Tak ada lagi wangi Kenanga dan Cengkeh. Tak ada lagi cantiknya Boungenvile warna-warna atau pohon buah-buahan yang musim panennya beragam. Tanah lokasi rumah itu jadi lahan sengketa.
Terima kasih pada keserakahan oknum penegak hukum penerima suap kala itu, yang membuat rumah tua diruntuhkan oleh alat-alat berat dalam sebuah proses eksekusi lahan.
Photo by Rafaela Biazi on Unsplash