Mengingat Ternyata Pekerjaan Berat

Oleh Lisvy Nael

“Mudah saja, kau turuti mauKu dan mau ibumu. Jangan buat Aku maupun ibumu marah,” senyum-Nya semakin mengembang selagi mejelaskan dua kalimat yang masih tak bisa kupahami.

“Tapi surga ini cukup untukku. Ada Kamu saja, hanya kita. Katanya, tak ada nikmat lebih baik di surga dari melihat wajahMu. Aku tak perlu surga lain. Di sini sudah cukup,” bujukku.

“Yakinlah, surga yang kau mau itu adalah alasan kau di sini saat ini,” kata-Mu lagi.

“Yakinlah, percakapan ini saja sudah cukup dari dunia dan surga yang tak kukenali wujudnya,” sambil kupasang raut wajah serius, meyakinkan bahwa aku tak bisa dibujuk.

“Kau lucu sekali. Mau kuberi tahu sesuatu? Di dunia, ada banyak hal indah bisa kau lihat. Ada rasa manis yang takkan pernah habis dan mudah kau dapat. Kau bahkan bisa menangis.”

“Menangis? Aku tak mengerti.”

“Hm… kau cuma taunya tersenyum.” Dan aku tersenyum tanpa diminta. Senyum yang menyembunyikan mata, menggeser kedua telinga.

“Jelaskan lagi, siapa tau aku mau ke surga dunia,” tantangku.

“Di dunia, segalanya ada. Kau takkan menyesal, seharunya. Satu saja syaratnya, berbakti pada ibumu dan padaKu.”

“Baik, aku mengerti. Aku mengalah dan mau menuruti-Mu. Kupastikan takkan sedetikpun aku melupakanmu.”

Dan begitulah hingga aku terlahir dari garba mama. Kucari Dia, “Di mana… di mana…, “ namun yang kudengar suara berbeda.

Sejak saat itu, aku memulai hidup di surga baru, dunia. Sejak saat itu pula, tak ada percakapan dan jani yang kuingat pada-Nya. Hanya beberapa ayat yang mengingatkanku, bahwa Ia menunggu. Menunggu dengan sabar tak terhingga sampai aku mengingat-Nya, berbakti kepada-Nya.

Kuyakin mama mengetahuinya. Mengingat adalah pekerjaan berat. Sehingga sedari dini aku diajarkannya cara berbakti, cara mengingat-Nya.

Tetapi, waktu tidak memberiku waktu.

Sudah kulalui jalanan berdebu, yang becek dan membuatku terpeleset. Beberapa diantaranya berkerikil tajam. Belum lagi asap dari kendaraan yang membuangnya cuma-cuma tak pikir panjang.

Lantas malam-malam sunyi ataupun yang penuh gemintang, semuanya hirap bagai uap. Tak menyisakan ingatan tentang-Mu. Sesulit itu membuka kenangan yang tak pernah kuingat membuatnya.

Saat itu aku tersadar, bahkan dalam hari-hari pelayaran ini, aku sudah terlalu lama merenung. Mencoba dengan keras menyisir masa lalu. Berusaha mati-matian mencapai masa depan. Yang kupunya ternyata hanya rasa rindu dan kesepian. Alih-alih membicarakan harapan, aku lebih sering berbicara tentang kematian. Namun waktu tak memberiku waktu.

Alih-alih memainkan layar untuk memerangkap angin yang mungkin bisa mendorong kapalku, aku memilih bergeming. Di geladak yang tenang, aku meneroboskan pandangan jauh ke depan. Tidak ada apa-apa, tidak ada siapa-siapa. Bahkan juga burung laut. Langit bersih. Tidak juga ikan-ikan, laut jernih.

Aku masih berlayar. Aku masih mencoba mengingat.


Photo by Benjamin Davies on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *