Kuliah Di mana?

Oleh: Tyasya

Apa cita-cita kalian? Atau jangan-jangan belum terpikirkan? Dulu, sewaktu kecil setiap kali ditanya apa cita-citaku, selalu kujawab mau jadi guru. Kenapa? Pengen seperti Ibu. As simple as that. Meskipun terkadang melihat Dokter, ah pengen jadi Dokter. Lain hari melihat polisi, ah kayaknya jadi polisi aja deh. Yah, walau nggak mungkin juga. Secara aku pendekar, pendek dan kekar. He-he-he.

Jangan kaget, ya. Begitulah yang namanya anak kecil, cita-cita bisa berubah sewaktu-waktu. Nah, begitu dewasa apakah cita-citaku berubah beneran? Jawabannya iya dan tidak. Lho kok bisa? Masalah cita-cita ini adalah hal yang cukup menyita perhatian saat aku menjalani masa SMA. Ada dua hal yang membuatku ragu. Mau jadi dokter atau guru? Saat aku mengutamakan niatku ingin masuk jurusan kedokteran, Ibu mendukungku. Bahkan ketika aku bilang hafalanku jelek, beliau mendoakan semoga ingatanku panjang. Wah, udah dapat persetujuan nih.

Dari beberapa jalur masuk perguruan tinggi negeri, aku melewatkan UM UGM. Kenapa? Karena waktu pembayaran bertepatan dengan kakak masuk rumah sakit. Aku tidak tega meminta uang pada Ibu. Setelah tahu biayanya, aku malah jadi bersyukur tidak berkesempatan ikut. Targetku saat itu adalah lolos PMDK atau bisa masuk STAN. Yang kedua kayaknya impian banyak orang ya? PMDK saat itu berbeda sistemnya dengan SNMPTN saat ini. Dulu hanya bisa memilih satu jurusan di satu universitas saja. Jadi kalau sudah daftar di universitas A tidak bisa lagi ikut di universitas B. Jelas bedanya ya?

Aku memilih UNS sebagai universitas pilihanku. Alasannya sederhana, tahun sebelumnya banyak yang diterima dan ada kakakku yang bekerja di sana. Maklum, aku memang tidak pernah jauh dari orang tua. Jadi cenderung suka takut-takut gitu deh. Bismillah aku menuju ruang BK untuk mendaftar.

“Siang Pak. Saya mau daftar PMDK,” kataku kepada Pak Imron —guru BK yang sedang bertugas.

“Masuk Tya. Mau daftar di universitas mana?” tanya beliau.

“Pengennya UNS, Pak. Udah banyak yang daftar, ya, Pak?” tanyaku.

Pak Imron menunjukkan daftar siswa yang sudah mengisi. Saat menelusuri daftar itu, aku melihat satu nama. Temanku itu ambil kedokteran juga dan nilainya aku tahu lebih bagus. Hmm.. Aku jadi galau kan.

“Gimana, mau ambil jurusan apa?” tanya Pak Imron.

“Saya bingung, Pak. Tadinya mau ambil kedokteran tapi sudah ada yang daftar. Nilainya juga lebih bagus dari saya,” jawabku.

Pak Imron menyarankan ambil matematika saja, karena aku suka. Akhirnya hari itu aku belum jadi daftar. Kubawa kegalauan itu pulang. Di rumah, aku bilang kepada Ibu kalau sudah ada yang daftar kedokteran.

“ Ya udah, ambil Pendidikan matematika aja, Nduk.  Katanya kamu mau jadi guru,” jawab Ibu.

“Ambil yang murni aja gimana Bu? Jadi kan lapangan kerjanya luas,” jawabku.

Ibu menyetujui pilihanku. Besoknya aku langsung mendaftar ke ruang BK.

“Sudah tidak galau?” gurau Pak Imron.

Aku hanya tertawa. “Bismillah aja Pak. Doain, ya, Pak,” kataku.

Hari demi hari berlalu menjadi bulan. Siang itu aku diberitahu teman kalau hasil seleksi PMDK sudah ada. Aku bergegas ke ruang BK.

“Pak.. Pak.. Apa benar hasil PMDK UNS udah ada?” tanyaku kepada Pak Imron.

“Sabar. Nafas dulu yang benar,” ucap Pak Imron.

Aku mendesak beliau segera mengatakannya, karena aku udah nggak sabar. Namun beliau tetap diam dan malah menyodorkan sebuah kertas padaku. Kertas bertuliskan namaku dan menyatakan aku diterima di UNS.

Alhamdulillah,  Ya Allah tidak nyangka Pak. Ini beneran saya aja yang diterima di sana?” tanyaku.

Melihat Pak Imron mengangguk membuatku sujud syukur. Akhirnya aku kuliah juga!


Photo by Jasmine Coro on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *