Hidayah

Oleh: Denik

Lantunan ayat-ayat suci yang dibaca oleh seorang kawan membuat mataku mengantuk. Suaranya yang lembut dan suasana ruangan yang hening benar-benar membuatku terbuai.

Jika tidak segera bertindak, bisa-bisa aku segera masuk ke alam mimpi nih. Maka dengan gerakan hati-hati aku bangkit dari tempat duduk dan segera melipir keluar.

“Mau kemana?” tanya kawan di sebelahku.

“Kamar mandi. Cuci muka. Gue ngantuk berat.”

Tiba di luar aku segera minta ijin pada kakak kelas yang bertugas di depan aula. Begitu mendapat ijin aku bergegas menuju kamar mandi.

“Huaaah. Lega,” ujarku sambil membuka jilbab.

“Weh, ternyata rambut Lo berondol ye?”

Aku kaget bukan kepalang. Ternyata ada orang lain juga di dalam kamar mandi. Kupikir hanya aku sendiri. Makanya aku segera melepas jilbab. Dengan segera aku bersiap mengenakan kembali jilbab yang baru saja kulepas.

“Cuek aja sama gue mah. Rambut gue juga bondol kok,” ujar si kawan yang tadi duduk bersebelahan saat di aula.

Aku pun mencoba bersikap biasa.

“Elo aslinya berjilbab atau enggak?” tanyanya lagi.

“Enggak.”

“Kok bisa ikut pesantren kilat ini?”

“Ditunjuk sama guru agama gue buat mewakili sekolah. Jadi mana bisa nolak. Makanya gue ngantuk banget waktu di dalam. Gue juga gerah sepanjang hari pakai jilbab.”

Si kawan tertawa geli mendengar penjelasanku.

“Ya, ampun kocak banget sih Lo. Kirain gue aslinya Elo berjilbab. Karena pantes banget kok pakai jilbab. Udah gitu Elo juga serius banget kalo lagi dengerin materi di kelas.”

“Gue bawa nama sekolah. Jadi harus seriuslah. Usai acara ini gue mesti presentasi tentang hasil yang gue dapat selama mengikuti pesantren kilat di sini. Kalo gue ngikuti kata hati, penginnya tidur. Lha, jam 3 pagi udah dibangunin untuk salat tahajud. Seharian lanjut dengerin materi. Aslinya gue udah melayang tuh.”

Lagi-lagi si kawan yang baru kukenal di acara ini tertawa geli.

“Elo sendiri gimana? Aslinya jilbaban?”

“Iya. Apalagi sekolah gue kan sekolah Islam. Jadi tiap hari memang berjilbab. Kalo urusan ngantuk sih sama aja. Gue juga ngantuk.”

“Elo enggak kepengin pakai jilbab?Kan hukumnya wajib tuh buat seorang muslimat.”

Sekarang gantian aku yang tertawa mendengar ucapannya.

“Belum kepengin. Mau memperbaiki akhlak dulu. Percuma juga kalo pakai jilbab rapat tapi kelakuan bejat. Pacaran bebas hambatan sampai tekdung tralala.”

“Itu sih tergantung orangnya.”

“Lha, enggak bisa gitu. Dengan memutuskan untuk mengenakan jilbab, artinya harus bisa mengerem diri. Jadikan jilbab pengendali diri dalam berperilaku.”

“Makanya gue belum mau pakai jilbab. Gue merasa belum bener. Yang penting ibadah gue rajin. Gue baik sama orang lain dan gue enggak nyusahin  orang lain. Udah.”

Ya, sudah. Sebatas itulah kepahaman yang dimiliki jika belum menemukan hidayah. Namun ketika sudah menemukan hidayah. Maka kita akan menangis menyesali diri atas keterlambatan menemukan hidayah.

Oleh karenanya kita tidak boleh menghukumi orang lain seenak perut. Terutama mereka yang belum menemukan hidayah. Sebab aku pernah di posisi mereka sebelum mengenakan jilbab. (EP)


Photo by Austin Neill on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *