Brakkk!
Aku mengunci diri kasur—memeluk guling sambil bersembunyi di balik selimut—saat mendengar suara benda jatuh. Berdasarkan hitungan, beberapa detik lagi orang kamarku akan terbangun dan melihat sumber suara. Aku bukannya tidak tertarik. Aku tahu—sangat tahu—dari mana bunyi itu berasal.
“Gelasku pecah! Itu gelas kesayangan aku!”
Suara itu muncul dari Kak Zulfa, orang yang tidurnya di bawahku. Dia pasti terbangun karena mendengar suara keras tepat di samping telinganya. Biar aku beri tahu, di samping tempat tidurnya—yang juga tempat tidurku—dia menaruh meja sekolah lengkap dengan bangkunya untuk belajar. Di situ juga dia menaruh buku, mug bergambar bendera Italia, dan aneka perabot lainnya. Dia tidur dengan posisi kepala sejajar dengan meja. Lalu, terdengar suara keras dari meja belajarnya. Mustahil dia tidak terbangun.
Aku menajamkan pendengaran. Terdengar bunyi ranjang tingkat yang berderit, menandakan orang yang berada di sisi atas sedang turun. Kemudian muncul suara-suara menanyakan apa yang terjadi. Aku bisa simpulkan semua penghuni kamarku kini berada di sisi ranjang Zulfa.
“Udah, nggak usah ikut-ikutan,” ucapnya. “Tidur aja.”
Aku mengangguk, membiarkan sosok itu merengkuhku dalam pelukannya. Mataku masih belum ingin terpejam akibat kejadian tadi. Namun, jika aku bergerak, penghuni kamarku pasti akan menambah keributan malam ini. Satu-satunya cara adalah menurutinya untuk tidur.
Tadi, aku sudah nyenyak. Kantukku datang usai aku menjalankan ritual malam: menulis cerita khayalanku. Aku tertidur masih dengan bayang-bayang cerita yang terkadang seolah nyata di hadapanku. Tidurku lelap, hingga kesadaranku kembali utuh, lewat tengah malam.
Dia ada di sebelahku saat itu. Tangannya meraih papan kecil di atas tempat tidurku yang biasa aku gunakan sebagai meja belajar. Aku menatapnya heran. Dia hanya memberi isyarat padaku untuk diam. Selang beberapa detik, bunyi menggelegar itu terdengar. Papan kecil itu mendarat tepat ke atas meja Kak Zulfa, dam mungkin saja memporak-porandakan isinya.
Keramaian itu masih ada. Suara beberapa orang terdengar persis dari bawah tempat tidurku, yang menandakan mereka duduk di atas ranjang Kak Zulfa. Aku mendengar suara buku-buku yang berbenturan dengan meja, suara pecahan yang disapu di lantai, juga suara air yang dituang ke dalam gelas.
Aku mencoba memejamkan mata. Sebisa mungkin aku berusaha untuk tetap tenang. Sambil mengatur napas, aku membiarkan pikiranku kembali pada percakapan beberapa hari lalu, saat dia menemaniku bolos.
“Aku tahu kamu sebel sama Kak Zulfa,” bukanya, usai asyik mengamatiku menulis.
Aku menganggukkan kepala sambil bersandar di dinding. Kamarku sepi karena semua penghuninya sedang sekolah. Lagi-lagi aku memberi alasan sakit saat teman-teman menanyaiku kenapa tidak ikut siap-siap ke sekolah. Aku sedang malas. Benar-benar malas. Sekolah menjadi tidak menarik saat aku menemukan keseruan baru: menulis. Bolos seakan menjadi rutinitasku sekarang.
Aku jenuh. Sekolah di kelas bintang lima itu membosankan. Aku bisa mengerti pelajaran jika hanya sekali diterangkan. Dua kali diterangkan, aku malah bingung. Lalu, urusan dengan lingkungan sosial, khususnya kamarku. Aku pernah cerita ‘kan, kalau aku benci kakak kelas sembilan saat aku kelas delapan dulu? Kini mereka sekamar denganku. Meski sudah berlalu dua tahun, karakter mereka masih saja seperti dulu.
Menulis bisa mengobati jenuhku yang menggunung. Saat aku punya masalah dan tidak mampu aku ceritakan pada siapa pun, aku memilih mengungkapkannya dengan menulis. Entah sudah berapa buku yang aku penuhi dengan cerita-cerita khayalanku. Aku menikmatinya betul-betul. Pikiranku seakan telempar pada situasi yang membahagiakan. Lebih dari cukup untuk mengalihkanku dari kehidupan sebagai anak asrama yang tidak menyenangkan.
Di situ juga aku bertemu dengannya.
“Songong banget dia, Cha.” Aku sebut nama panggilannya. “Ya emang sih, anak orang kaya, bapaknya tentara, tapi nggak usah belagu juga, sih.”
“Aku juga nggak suka sama dia. Kamu nggak tahu kan, kalau dia sering ngomongin kamu?”
Aku menggeleng. “Kapan?”
“Pokoknya pas kamu lagi nggak ngeh.”
“Rame-rame?”
“Ya ada aja yang dengerin. Adisha jadi nggak deket sama kamu ‘kan juga gara-gara dia.”
Eh, iya. Adisha. Aku lupa menceritakan teman yang pernah akrab denganku beberapa bulan lalu. Pernah, karena sekarang tidak lagi. Setelah aku memutuskan pindah kamar, kami masih akrab. Kemudian, aku dipindahkan lagi ke kamar ini, kamar pengurus. Aku perhatikan dia mulai berjarak dengaku. Aku sempat melihat dia bersama Nisa—teman kamarku—tapi aku malas menduga-duga.
“Apa maksudnya sih, Kak Zulfa kayak gitu?”
Dia mengedikkan bahu, lalu menjulurkan kepalanya ke bawah ranjang. “Biar aku aja yang urus.”
“Kamu mau ngapain?”
“Belum tau juga. Yang jelas sih, aku kasih pelajaran karena udah bikin kamu tekanan batin terus-terusan.”
Malam ini, dia betul-betul melaksanakan ucapannya. Dia melempar papan kecil itu ke meja belajar Kak Zulfa. Cukup untuk membuat lelapnya terusik. Tentu saja aku berharap Kak Zulfa sedikit terkena mental akibat kejadian tadi. Entahlah, apa harapanku akan terwujud.
Namun, yang pasti, aku mulai membayangkan tuduhan yang akan dialamatkan teman-teman padaku., lengkap dengan caci maki khas kakak kelas sembilan, pun konsekuensi dari perbuatan Cha tadi. Jika hanya disuruh mengganti mug Italia itu, aku tidak masalah, meski aku tahu mug itu mahal. Namun, bagaimana jika lebih dari itu seperti harus membuat permintaan maaf pdaa Kak Zulfa dan dipasang di mading asrama? Pasti akan sangat menyebalkan.
“Nggak usah dipikirin. Biar aku aja yang urus. Tidur,” katanya lagi.
Aku mulai mengisi pikiranku dengan hal-hal yang membahagiakan lagi. Untuk malam ini, aku tidak ingin memikirkan apa pun dulu. Entah bagaimana nanti dia akan menyelesaikan urusanku dengan Kak Zulfa, dan mungkin teman-teman kamar. Satu yang pasti, aku adalah tersangka utama, sebab hanya aku yang bisa melihat Cha, tidak dengan teman-temanku.
Kisah sebelumnya: Bukan Aku