Caraku mengartikan pulang.
Adalah ruangan kosong itu.
Walaupun tidak dalam arti sebenarnya, karena ruangan yang terlalu kecil untuk disebut ruang tamu itu masih terisi dengan sepasang kursi rotan reyot, meja kayu yang salah satu kakinya digantikan dengan batu bata dan gantungan foto-foto berdebu menempel di dinding semi permanen…..
Kemudian…. Buyar Sudah.
Salah satu hal yang aku takuti setiap kali menaiki bus ekonomi antar kota adalah teriakan para pedagang asongan terutama pedagang makanan yang beroktaf-oktaf itu. sekalipun aku telah puluhan kali menggunakan jasa transportasi ini, aku masih saja belum terbiasa. Untuk pelamun yang suka nostalgia tanpa memandang momen sepertiku.Teriakan mas-mas menawarkan kaca goreng atau genjrengan lagu dangdut secara tiba-tiba lebih menakutkan dari supir bus yang seringkali menjudikan keselamatan demi kejar setoran. Daripada tewas sebagai korban kecelakaan bus karena supir yang ugal-ugalan. Kemungkinan aku meninggal akibat serangan jantung karena teriakan mas-mas menawarkan telur puyuh lebih tinggi.
Seperti kali ini, suara mas-mas ceking yang baru naik dari terminal bayangan di Jalan Kupang itu membuyarkan lamunan yang kubangun tentang kampung halamanku. Padahal dia Cuma menawarkan kacang goreng!. Kutelan kekagetanku sembari mengingatkan diriku sendiri lebih baik tetap fokus dan sadar atau tidur sekalian selama perjalanan bus antar kota terutama kelas ekonomi. Tapi memang sulit untuk tidak memikirkan kampung halamanku, Kediri, di sepanjang perjalanan ini.
Sudah 2 tahun aku menunda pulang kampungku dan semester ini tidak ada yang menghalangi lagi untuk aku pergi. SKS-ku sudah cukup, skripsiku lulus dengan nilai A, predikat cumlaude sudah kudapatkan.Tinggal menunggu momen yang selama ini menjadi dambaanku dan keluargaku yaitu wisuda.Memang ini adalah waktu yang tepat untuk pulang menengok keluarga dan mengabarkan keberhasilanku meraih gelar sarjana di Kota Surabaya.
Bus Antar Kota Kelas Ekonomi itu sudah berjalan dari terminal bungurasih sejak 2 jam lalu. Sehingga saat ini bus tengah melaju di jalanan kota Kediri menuju Terminal Kediri Baru. Sepertinya aku memang sekadar kurang beruntung saja hari ini.Niatku ingin melewatkan perjalanan dengan nyaman dan tenang dengan kelas Bus eksekutif walaupun harus merogoh kocek lebih dalam.Tetapi begitu sampai di Terminal Purabaya, bapak-bapak calo tiket berbicara dengan aksen Madura yang tidak bisa kuikuti kalimatnya.Mencengkram pergelangan tanganku, menarikku melewati koridor terminal.Beberapa menit kemudian aku sudah duduk di salah satu bangku bus ekonomi Rute Kediri. Belum sempat aku melarikan diri dari Bus itu, bus itu sudah melaju duluan.
Belum habis sialku di sana, aku duduk di kursi yang paling sial di bus ekonomi. Aku duduk tepat di atas roda belakang us, pusat segala goncangan dan rasa mual.Ditambah lagi teman sebangku bapak burket dengan ketiaknya yang terlalu semangat memproduksi keringat.Menambahkan sesak nafas dan keracunan udara dalam daftar penyebab kematianku dalam perjalan ini.aku menatap si bapak yang dengan percaya diri mengepul-ngepulkan asap tembakau. Tidak peduli bahwa dua baris di depan seorang ibu membawa bayi yang menangis karena kepanasan. Bisa kurasakan keringat meluncur dengan lancar di punggungku, di antara kulit dan kemeja biruku yang sudah tak ada rupa Aku ingin memanggil rasa kantuk, tapi aku tidak bisa karena kepalaku terasa berputar, dan udara panas siang hari yang terjebak dalam balok metal ini terasa pengap mencekik tenggorokan dan aku lebih memilih pingsan daripada tidur sekarang.
Kurasa setiap penumpang di bus merasakan hal yang kurang lebih sama kecuali si bapak burket. Wajah-wajah lusuh dan lelah, bibir terkatup rapat menahan protes dan sumpah serapah pada situasi.Namun ditahan mereka demi sampai ke tujuan. Si bayi yang menangis sudah mulai tenang, mungkin bayi itu dengan ajaib tertidur. Aku berfokus pada jalan, mengalihkan pikiranku dari rasa mual.
Hatiku bersorak penuh kelegaan saat membaca tulisan Pasar Induk di atas gapura besar. Karena tak lama kemudian bus berbelok ke kanan dan berhenti di salah satu Shelter. Walaupun memandangku sinis tapi Pak Burket tetap berdiri untuk memberiku jalan dan aku pun menjadi penumpang pertama yang turun dari Bus.
Setelah menikmati udara segar dan kebebasanku sejenak. Aku buru-buru mengejar Kol yang tengah memuat penumpang di samping pintu terminal.
Aku mengucap syukur karena di kol keadaannya jauh lebih baik dari pada bus. Aku mendapatkan kursi dekat jendela lagi, membukanya agak lebar demi kesehatan paru-paru dan mentalku yang terkikis di bus.
Dari jendela itu aku menyaksikan. Kediriku masih dan akan selalu sama, walaupun modernitas mencoba merambahnya dan mempreteli tradisinya. Namun Kediri tetap menjadi dirinya, kota para prabu di mana Raja dan Pengkhianat berbagi rahim dan dididik dengan kitab yang sama. Penuh gejolak kuasa, sebagai simbol kegagahan Jawa Timur pada era monarki.
“Duku ne Mas?” tanya ibu-ibu di sampingku mengalihkan perhatianku dari jendela.
“Matur nuwun buk” balasku sembari mengambil 3 butir duku dari kresek yang disodorkannya.
Aku terlibat percakapan yang menyenangkan dengan ibu itu.Lewat sosoknya aku memanggil kenangan tentang ibuku di sepanjang perjalanan.Pada masa di mana aku hanyalah bocah 10 tahun, di butanya pagi duduk berdampingan dengan ibu di dalam kol menuju Pasar Induk Pare. Aku terlelap di Pundak ibu tenggelam dalam aroma tubuhnya yang khas campuran bau asap arang dan embun subuh yang menenangkan bagiku.
Obrolanku dengan ibu duku harus berakhir karena kol sudah sampai di Desa Wates. Sekantong rambutan diberikannya sebagai tanda perpisahan. Aku mengucapkan terimakasih sebelum ia menghampiri anak bujangnya yang sudah menunggu di atas motor. Perjalananku belum berakhir, dengan cepat aku membaur dengan antrian wisatawan yang akan menaiki minibus menuju Desa Sugih Waras.
Desaku merupakan desa terdekat dengan Lereng Kelud.Dan mulai tahun 2000 ketika wisata Gunung Kelud dibuka dan dipugar.Dibangunlah jalan-jalan raya dan rute-rute bus menuju desaku.Sekalipun sektor pariwisata menjadi alternatif mata pencaharian.Namun penduduk Sugih Waras lebih percaya pada tanah mereka ketimbang pada wisatawan.
Seperti bapakku yang sangat percaya dan mencintai sepetak sawahnya.Setiap Petang ketika mengantarku mengaji di Surau bapak tidak melewatkan kesempatan untuk berhenti di sisi sepetak sawahnya itu. Kami berdiri berdampingan memandang sepetak sawahnya yang berada di tengah hamparan petak-petak sawah orang lain. Kemudian bapak berkata.
“Le, kita ini orang tani mau tanah sempit atau luas itu tetaplah tanah. Dari sana lah kita hidup dan berkatnya serta restu dari gusti pangeran yang membuatmu tumbuh”
Kemudian sebagai kalimat penutup Bapak berkata dengan penuh rasa bangga.
“Biar sepetak yang penting milik sendiri toh”
Kebiasaan itu menumbuhkan rasa cinta yang sama dalam hatiku. Aku sangat berterimakasih pada sepetak tanah itu.Karena berkatnya aku dapat tumbuh dengan sehat, berkat kepercayaan bapakku padanya, bapakku memiliki tekad untuk menyekolahkanku setinggi-tingginya. Bahkan pada periode awal aku di Surabaya selain ibu dan bapakku akupun merindukan si Utak, nama yang kuberikan pada sepetak tanah itu.
Aku terhentak kembali pada kenyataan saat penumpang lain memberitahuku sudah waktunya turun. Sesaat setelah turun aku sudah berhadapan dengan gapura tinggi biru dengan tulisan di atasnya “Wisata Gunung Kelud” . Puluhan motor sibuk keluar masuk. Di sisi jalan barisan wisatawan yang akan naik dengan berjalan kaki mulai terbentuk.
Aku mengambil arah sebaliknya menjauh dari gapura dan keramaian itu.berbelok dari jalan aspal, ke jalan yang masih berupa tanah yang dihiasi kerikil dan akar tumbuhan yang timbul tenggelam di permukaannya. Tanah itu bertekstur separuh lumpur mungkin karena hujan semalaman. Alhasil aku harus mengikhlaskan sepatu New Balance kw baruku dihajar lempung.
Tak perlu berjalan lama aku sudah menemukan perkampungan.Kampungku.Desaku.Jalan di antara rumah-rumah sudah diperbaiki dan lebih enak untuk dilewati dibandingkan jalan tanah tadi.Aku bersorak syukur untuk Sepatu New Balance Kwku.
Seperti halnya desa kecil lain, di sini tidak ada orang asing. Setiap orang mengenal siapa tetangganya, siapa ketua RT ketua RW nya, bahkan untuk aku bujang yang sudah dua tahun tidak pulang.Banyak orang, bapak-bapak, ibu-ibu serta pemuda seumuranku menghampiriku di jalan menepuk bahu dan mengucapkan selamat datang.Janji-janji kubuat untuk mengunjungi rumah pada para orang tua dan bermain bersama pemuda-pemuda desa.
Tujuanku yang utama adalah rumahku.
Berjalan nyaris ujung desa berbatasan dengan hutan lindung.Rumahku berdiri.Aku menapak tangga kecilnya menuju pintu dengan perasaan berdebar.
Pintu berkeriyak ketika aku membuka kuucapkan.
“Assalamualaikum Ibu, Bapak”
Caraku mengartikan pulang.
Adalah ruangan kosong itu.
Walaupun tidak dalam arti sebenarnya, karena ruangan yang terlalu kecil untuk disebut ruang tamu itu masih terisi dengan sepasang kursi rotan reyot, meja kayu yang salah satu kakinya digantikan dengan batu mata dan gantungan foto-foto kabur berdebu menempel di dinding semi permanen.
Salamku disambut debu juga sunyi, langkahku separuh terseret menuju salah satu dinding rumah. Lebih tepatnya menuju salah satu potret yang tergantung di sana. Tanganku bergetar mengusap permukaannya, menemukan wajah ibuku kemudian ayahku, kemudian di bagian bawah wajah bocahku.
Caraku mengartikan pulang adalah kenangan.Karena tanpa orang yang menunggumu, rumah takkan menjadi rumah.Salam takkan terdengar hangat tanpa balasan.Hati yang mendingin karena sepi, hidup dalam halusinasi dan memori.Itulah aku, yang lupa menghitung waktu.Karena pada setiap detiknya aku tidak ingin mengingat.Bahwa mereka telah tiada, bahwa aku telah ditinggalkan. Oleh ibu, oleh ayah ke atas sana mereka pergi duluan. Membuat caraku mengartikan pulang pun berubah.
Caraku mengartikan pulang adalah rasa sepi ini, hari ini aku pulang.
Photo by Radu Spătaru on Unsplash