Oleh. Cicih M Rubii
Dug! Dug! Dug!
Bedug subuh bertalu-talu. Tak lama kemudian suara adzan berkumandang di kegelapan pagi yang berkabut.
Sebagian besar penduduk kampung sudah bangun. Langkah-langkah berat bapak-bapak yang menuju masjid menjadi tanda kehidupan baru dimulai.
Asap tipis mengepul dari atap-atap dapur berdaun nipah
Percakapan ibu-ibu yang pergi ke sungai, dan Bunyi-bunyi alat masak yang sudah dicuci beradu dalam gendongan. Kehidupan pagi yang indah
“Rubii, mana adik dan kakakmu?” ujar Ende membawa obor di tangan.
Api obor meliuk-liuk tertiup angin subuh yang dingin. Wajah Ende menakutkan, terkena cahaya obor dari bawah. Ende adalah nama panggilan kami untuk kakak Abah.
“Siap Ende. Yuk kita berangkat!” ujar kami kompak.
Dalam kegelapan subuh kami menyusuri jalan setapak yang berembun. Kaki-kaki kecil kami mulai basah
Tangan-tangan mungil kami menggenggam erat plastik bekas atau wadah bekas sabun.
Braaak!
Wadduh!
“Awas, hati –hati licin” suara Ende menghardik.
Bukan. Bukan marah. Memang demikian suara ‘kasih sayang’ Ende mengingatkan kami agar tak celaka.
Jalan tanah menanjak ini memang licin. Untuk itu lebih nyaman bertelanjang kaki, dapat mencengkram tanah dengan kuat.
“Ha..Ha..ha! ayo bangun! Yang telat gak kebagian cengkeh loh!” Sahut kakak memotivasi
Kami bukan anak-anak manja, jadi tak ada air mata. Bahkan kami tertawa-tawa.
Memang harus waspada. Kadang saat kami berjalan tiba-tiba daun kelapa sepanjang 3 meter dengan tangkai kayu yang besar jatuh di depan mata.
Perjalanan melalui jalan setapak yang licin dilalui dengan waktu sekitar 15 menit. Di depan mata menghampar pohon-pohon cengkeh. Pohon yang menjulang tinggi sekitar 5-8 meter. Daun-daunnya yang lancip rimbun. Di ujung daun terdapat bunga-bunga cengkeh berwarna hijau kemerahan.
“Eh, pohon ini bagianku! Aku mau mungut cengkeh di sini!” ujarku berebut ‘tempat usaha’ dengan adik.
“Huh, Pelit! Yaudah aku ke pohon yang di sana!” sahut adikku lari.
“Hiiiy, awas lho ada hantunya!” teriak kakak menakuti. Lalu dia tertawa sambil jongkok memunguti cengkeh dengan cekatan.
Butir-butir bunga cengkeh yang rontok ini berwarna kehijauan. Mata harus awas menelisik diantara daun-daun kering. Wadah plastik yang kami bawa digunakan untuk menampung hasil kami memungut.
Ya! kami petani cengkeh. Saat musim cengkeh begini, jalanan menuju hutan ramai. Apalagi harga cengkeh sangat mahal. Bahkan tangkai bunga yang disebut ambrang juga bisa dijual.
Bagi penduduk yang tak punya pohon cengkeh, bisa ikut memungut bunga cengkeh yang rontok. Lumayan untuk membeli beras.
“Ahaaa! Ada cengkeh di ranting bawah. Petik yaaaaa!” teriak kakak laki-laki.
“Awas kau! Kita laporin ke Abah nanti” ujar kami anak-anak perempuan emosi
Kakak hanya tertawa-tawa. Dia hanya menggoda, tak akan berani berbuat curang seperti itu.
Ranting pohon cengkeh yang berbunga banyak juga yang rendah, mudah diraih. Tetapi kami tidak ada yang berani meski tak ada yang mengawasi. Kami hanya boleh memungut butiran cengkeh yang jatuh.
“Wooy, pulang yuuk! Sudah siang. Takut terlambat ke sekolah!” ajak kakak tertua.
“Bentar sih!”
“Tinggalin ya!”
Hari sudah mulai benderang. Kami harus segera pulang karena mau sekolah.
Sesampai di rumah, kami bergegas menggelar karung bekas untuk menjemur hasil memungut pagi itu.
Setelah mandi dan sarapan, kami berangkat ke sekolah.
“Ibuuuu, mang Ujang udah datang belum?” tanyaku sepulang sekolah sore.
“Paling bentar lagi” jawab ibu.
Mang Ujang adalah orang kepercayaan Abah yang diupah untuk memetik bunga cengkeh. Biasanya memetik dari pohon ke pohon menggunakan tangga bambu.
Hasil memetik mang Ujang akan digelar di lantai rumah. Kami duduk melingkari bunga cengkeh yang menggunung. Kami akan ikut kuli ‘metrek’ cengkeh. Diupah setiap liter yang berhasil kami kerjakan.
‘Metrek’ yaitu kegiatan merontokkan bunga cengkeh, memisahkan bunga dan ambrang (tangkai).
“Ibu, besok pagi kita jemur cengkeh di lapangan lagi?” tanyaku sambil tangan sibuk merontokkan cengkeh.
“Iyalah, biar dapat panas matahari penuh. Cepet kering” jawab ibu.
Tanda-tanda cengkeh kering warnanya hitam dan bisa dipatahkan. Jika belum bisa dipatahkan berarti belum kering, sehingga tidak akan tahan disimpan.
Saat musim cengkeh, semua halaman rumah penuh dengan hamparan bunga cengkeh. Aromanya sangat kuat, menguar ke seluruh pelosok kampung.
“Abah…! Abah…!”
“Apa sih bu? Pagi-pagi sudah rebut!”
“Cengkeh kering yang disembunyikan di loteng hilang”
“Apa? Yang bener!”
Abah segera memeriksa. Benar saja, sekarung cengkeh kering yang disimpan hilang. Ceceran cengkeh sepanjang jalan menuju pintu dapur.
“Tak salah lagi, cengkeh ada yang mencuri tadi malam, lewat dapur” sahut Abah gusar
“Padahal tadi malam ronda sampe jam tiga. Lalu Ayah sholat tahajud!” tambahnya sedih.
Abah dan Ibu terduduk lesu. Rencana mendaftar haji batal.
“Sudahlah abah. Ini ujian, semoga kita dapat penggantinya” ujar ibu mencoba menghibur.
“Abah…! Abah…!” kakak laki-lakiku datang dengan tergopoh-gopoh.
“Di…di sana ada cengkeh sekarung!” ujarnya sambil menunjuk ke samping rumah.
Abah yang sedang ngopi terlonjak. Ibu di dapur segera mendekat penasaran dengan apa yang didengar.
“Jangan bercanda! Beneran cengkeh isinya bukan?” tanya ayah ragu.
Lalu kami semua berlari ke arah yang dimaskud. Benar saja, di balik rimbun tanaman perdu ada sekarung cengkeh kering yang disembunyikan.
“Alhamdulillah ya Allah. Masih rezeki kita ya Mbu!” ucap ayah sambil mengangkat tangan
Sepertinya maling kesiangan, jadi tak sempat membawa pergi karung.
(Kisah ini terjadi sekitar tahun 1985-1989. Saat itu harga cengkeh sangat mahal.
Bahkan dengan setangkup tangan cengkeh kering bisa mebeli 1 gram emas.
Kisah ini kuceritakan, untuk mencatat sejarah bahwa Indonesia pernah makmur dengan hasil hutan dan kebun)
Photo by Amitha A R on Unsplash