Bapak, Aku Rindu

Oleh Sri Rita Astuti

Lembayung Senja

Aku terlahir bukan dari keluarga berada. Kedua orang tuaku hanyalah buruh pabrik. Bapak bekerja sebagai buruh di Pabrik pengolahan karet dan ibu bekerja di pabrik kayu lapis. Kedua orang tuaku tak pernah melimpahiku dengan materi, tetapi mereka selalu mencurahi kami.

Aku dan adik adikku dengan kasih sayang yang tak ada habisnya. kami di ajarkan untuk hidup berhemat dan selalu mensyukuri apapun yang kami punya.

Bapak adalah lelaki sederhana yang tak pernah neko neko. Ringan tangan, penyayang dan bertanggung jawab. Bapak orang yang memegang teguh ajaran agama, tak pernah sekalipun pernah kulihat  meninggalkan kewajiban sholat lima waktu.

Beliau akan mengingatkan kami  dengan lemah lembut untuk segera melaksanakan sholat bila waktu sholat telah tiba. Bila waktunya mengaji bapak akan mengantarku ke rumah guru mengaji yang lumayan jauh. Bapak mungkin tak sehebat bapak dari teman temanku yang kerja di kantor, berbaju bagus dan menggunakan kendaraan pribadi. Tapi bapak selalu ada untukku. Tak pernah sekalipun bapak bersikap kasar kepada kami apa lagi memukul . Beliau sangat penyabar.

Banyak hal baik yang di ajarkannya tanpa menggurui. Seperti menyingkirkan paku , batu, duri ataupun kulit pisang dari jalan. Beliau tak pernah mendikte kami untuk melakukan itu, tapi bila berjalan bersamanya kita kadang harus bersabar menunggunya yang sering berhenti berjalan hanya untuk membuang benda benda yang membahayakan bagi pengguna jalan yang lain.

Dulu di dekat rumah orang tuaku ada tempat sabung ayam. Ramai sekali orang berdatangan ke gang kami terutama pada hari hari libur. Pada saat itu bapak banyak memelihara ayam. Bukan untuk di sabung tentunya, tapi  hanya untuk membantu perekonomian keluarga .

Ayam dan telurnya kadang di jual. Kadang juga kami konsumsi sendiri. Bapak memiliki beberapa ayam jago yang bagus, besar dan sehat. Beberapa  orang yang gemar sabung ayam telah menyatakan niatnya untuk membeli ayam ayam jago bapak. Tapi bapak tak pernah mau menjualnya walaupun dibayar dengan harga mahal. 

Ketika kutanya apa alasannya tak mau menjual ayam ayam jago itu, bapak menjawab bahwa ia tak akan menjual ayam jago itu karena tahu pasti nantinya ayam ayam itu akan di jadikan hewan aduan.

“Bapak takut dosa,” ujarnya pelan.

Tapi dua hari kemudian ayam ayam jago itu raib dari kandangnya. Sudah bukan hal aneh ayam jago di gang kami pasti akan hilang bila yang punya menolak menjualnya.

“Padahal mereka tak perlu membeli ayam itu, bapak akan berikan dengan cuma cuma asal tujuannya bukan untuk disabung,” kata bapak saat berdiri di depan pintu kandang ayam yang telah terbuka lebar.

Itu dua hal baik di antara banyak hal baik lainnya yang bapak tanamkan tanpa mendikte kepada kami anak anaknya.  Bapak jarang sekali mengeluh. Bapak bekerja di pabrik karet bagian menggiling karet. Karena setiap hari bersentuhan dengan karet yang basah dan telah di campur dengan bahan kimia  semua kuku jari tangan dan kaki bapak menghitam rusak. Kulit di sekitar kuku bengkak memerah. Belum lagi kutu air di sela tiap jari.

Bapak tak pernah mengeluh di depan kami. Tapi tak jarang aku menangkap basah bapak meringis menahan sakit dan perih. Biasanya tiap malam beliau akan merendam kuku kaki dan tangan ke dalam cairan pk yang berwarna biru, lalu mengolesi kutu airnya dengan salep untuk jamur.

Aku tak bisa membayangkan nyeri yang bapak rasakan, kadang di tengah malam  saat aku terbangun dari tidur untuk buang air kecil kulihat bapak duduk memijat  bagian yang bengkak sendiri. Mungkin saat itu sakitnya membuatnya tak bisa tidur.

Hingga suatu hari bapak mengalami kecelakaan di pabrik saat bekerja. Jari jari tangannya dari teluncuk hingga jari tengah sebelah kanan hancur tergilas mesin penggiling karet. Bapak dibawa ke rumah sakit untuk amputansi jari jarinya yang hancur.

Sekali lagi aku melihat bagaimana bapak menahan sakit tapi tak pernah mengeluh di deoan kami. Bapak hanya lulusan SD sehingga sulit mencari pekerjaan mungkin itu sebabnya beliau tetap bertahan bekerja di pabrik karet. Sejak saat itu melihat betapa kerasnya usaha bapak dan bagaimana beliau gigih berjuang menafkahi kami  tanpa hirau akan sakit yang menimpanya.

Aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku  akan sekolah tinggi agar mendapat pekerjaan dan bisa membuat hidupnya senang di kemudian hari. Aku tak pernah main main dalam bersekolah. Berusaha untuk mendapat nilai nilau bagus. Bahkan setamat SMP aku rela mengikuti satu keluarga agar aku bisa melanjutkan sekolah hingga jenjang universitas.

Tapi sayang Allah memiliki kehendak yang berbeda, di saat aku mulai bekerja beliau berpulang karena sakit. Menyisakan sedikit penyesalan karena baktiku barulah setitik kepada bapak. Sejak saat itu hingga jiwaku terlepas dari raga hanya lewat doa kuuntaikan baktiku pada beliau. Bapak aku rindu.

Sungai Raya, 09072021


Photo by Aaron Andrew Ang on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *