Oleh Windu Utami Surya Dewi
Rumah simbah adalah sebuah rumah tua jaman dulu. Jadi saksi bisu beberapa peristiwa sejarah. Seandainya ditanya usianya, akupun tak tahu berapa usianya.
Masa kecilku dihabiskan di sana saat kami belum punya rumah sendiri. Rumah luas yang sangat luas. Kata Ibuk dulu, ada empat keluarga atau lima keluarga yang tinggal di sana. Ada Mbah Sanggup, Mbok Canthuk dengan suaminya Kang Iran dengan kedua anak mereka, lalu ada lagi Mbah Dul. Mereka semua masih berada di sana ketika aku kecil. Ada kisah tersendiri mengapa mereka sampai tinggal bersama simbah hingga puluhan tahun lamanya.
Istilah regol, pendopo, pringgitan, emperan, dalem, senthong, gandok, pawon telah familiar di telingaku.
Regol merupakan sebuah pintu gerbang atau gapura menuju rumah. Ketika memasuki regol, akan menemui halaman luas simbah sebelum akhirnya sampai ke bangunan pertama yaitu pendopo.
Pendoponya simbah berbentuk persegi dengan atap model limas. Posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan bagian rumah yang lain. Dengan empat tiang kayu jati sebagai intinya yang disebut saka guru. Untuk menopang kayu tersebut digunakan kayu yang ukurannya lebih kecil yang disebut blandar. Seandainya blandar disusun dengan ukuran tertentu menambah keindahan pendopo itu.
Dulu di tengah-tengah pendopo terdapat sebuah lampu klasik yang dipasang di bagian atas. Lampu dengan penutup putih yang akan membuat cahaya memenuhi seluruh ruangan. Aku sering melihat simbah kakung membersihkannya menjelang sore hari. Mengelap bagiannya satu per satu dengan lembut dan sangat teliti. Melepaskan bagian-bagian yang memiliki ukiran yang sama sekali tak kupahami maknanya sampai sekarang.
Di antara blandar, terdapat burung cawu yang bersarang di situ. Sarang yang terbuat dari lumpur sawah bercampur dengan damen. Sarang cawu itu mengotori pendopo simbah, meskipun demikian simbah membiarkannya.
Pringgitan berasal dari kata ringgit yang artinya bermain wayang. Kata Ibuk, dulu memang tempat untuk menggelar pertunjukkan wayang boleh ditonton semua orang. Pringgitan berfungsi sebagai penghubung antara pendopo dengan omah ndalem (rumah utama) berupa sebuah lorong untuk masuk ke dalam rumah.
Emperan jika jaman sekarang mirip dengan teras depan. Sebuah tempat untuk menerima tamu, simbah menggunakan meja dan kursi klasik dan antik yang ditelakkan di sana. Emperan merupakan penghubung antara pringgitan dengan omah ndalem.
Bagian utama rumah simbah adalah omah. Di tempat itu biasa kami berkumpul dan bercengkrama. Simbah menempelkan foto simbah pernikahan buyutku dan keempat anaknya yang mengenakan toga termasuk Ibukku.
Sedangkan tempat istirahat atau tempat untuk tidur dinamakan Dalem. Tempatnya memang berada di dalam. Inti dari rumah. Simbah buyut tidur di ruangan itu.
Bagian belakang Dalem adalah Senthong. Sebuah tempat sakral dengan gebyok ukiran kayu jati asli. Aku masih ingat tempatnya. Nuansa mistis sangat kentara ketika memasuki ruangan itu. Apalagi aroma kemenyan dan bunga beraneka macam rupa yang selalu disiapkan.
Aku selalu takut memasuki senthong sendirian. Hampir tidak pernah dalam ingatanku memasukinya tanpa ditemani simbah uti atau ibuk. Namun sepuluh tahun lalu, Senthong begitu akrab denganku. Kujadikan tempat untuk menyelesaikan tesis ku yang tertinggal selama satu semester. Tempat yang nyaman bagiku untuk menulis dan berjibaku dengan beragam teori.
Hal mistik yang terjadi?
Beberapa kali mendapatinya.
Pernah untuk menghalau kantuk aku membawa secangkir kopi panas dan kusimpan di atas meja yang penuh buku. Saat hendak kuminum ternyata sisa setengahnya saja. Padahal gelas tidak bocor dan aku sama sekali belum meminumnya. Lain kali saat Sholat Dhuhur, takbir pertama tiba-tiba tercium bau melati yang sangat harum. Takut? Tidak, aku bukan sosok penakut yang lari saat terjadi hal-hal berbau mistik. Kejadian lain lebih nyata saat aku sedang berjibaku dengan analisis data yang tidak lazim digunakan. Tiba-tiba sosok berblangkon lengkap dengan beskap dan jarik melintas di sebelah kananku tanpa menoleh. Nafasku terasa tercekat namun tanganku tetap mengetuk huruf-huruf di keyboard.
Gandok sebuah ruangan yang menempel di kiri dan akan rumah. Gandok Kiwo (kiri) dan Gandong Tengen (kanan). Simbah menggunakan ruangan ini untuk menyimpan persediaan gabah. Aku suka sekali berseluncur dari atas tumpukan gabah. Hasilnya jelas-jelas sukses gatal-gatal.
Ibuk pernah bercerita saat Ibuk lulus masuk ke UGM simbah buyut begitu gembira, mengingat Ibuk adalah cucu pertamanya yang mengenyam bangku kuliah. Lantaran gembiranya, simbah menjual segandok gabah untuk membelikan sepeda motor untuk Ibuk. Aku masih ingat motornya. Berwarna biru dan pasti paling keren di jamannya.
Bagian terakhir adalah pawon. Pawonnya uti sangat lapang dan luas. Beraneka dandang dan tunggu tradisional berada di sana. Masa itu kami masih menggunakan kayu bakar untuk memasak makanan.
Aku baru sadar ternyata rumah simbah menunjukkan strata sosialnya di masyarakat. Kusadari saat SMA kelas dua saat belajar sosiologi dengan materi stratifikasi sosial.
Kisah Sebelumnya: Waktu Ibuk Kecil: Kebon
Photo by Ant Rozetsky on Unsplash