Aku memutar layarku, mengubah haluan. Kini aku tidak lagi menjuju masa depan, melainkan masa lalu. Ya, aku telah bersepakat dengan si lumba-lumba, bahwa tidak ada masa depan, yang ada hanya masa lalu yang belum terlampaui.
Di tengah samudera biru bulan Oktober, hampir musykil sebenarnya menemukan arakan angin yang bisa membawamu dengan cepat. Jadi, gerak lambat ini benar kunikmati. Meski lebih sering aku mengeluh tentang terik matahari yang justru sangat silau karena pantulannya ada di mana-mana. Di laut Utara kutengok Ia ada. Di belakang, arah Selatan, pantulannya pun silau sekali.
Terik matahari tidak mengubah laut menguning, melainkan perak yang amat tenang tapi mudah saja buat orang tenggelam. Baik dalam lamunan-lamunan panjang, maupun upaya membunuh waktu yang tak pernah ditemui siapa-siapa selain kebencian yang terus bertumbuh. Sehingga Ia berpikir waktu adalah musuh.
Lantas, entah bagaimana serekah senyum terlihat dari bulatnya bayang matahari di arah Tenggara. Mungkin kau ingat matahari di Teletubbies yang tersenyum-senyum ceria? Sedikit mirip dengannya. Dari senyuman itu, pikiranku lebih jauh dan cepat berlayar daripada kapalku. Melesat jauh ke batas dunia: rahim ibuku.
Sesampainya aku di dalam rahim, tidak ada ingatan yang kumiliki. Tidak pula aromanya kuingat. Namun, sebuah hikayat yang Allah sendiri menceritakan, tempat itu dulu adalah surga. Tempat segala kenikmatan bermula dan bermuara. Ah… wajar saja, katanya surga ada di telapak kaki ibu. Meski yang sebenarya, surga berada di dalam rahimnya.
Tentu yang pernah belajar agama mendengar, cerita percakapan Allah dan calon manusia di dalam garba ibunya.
“Di mana aku Kekasihku?” tanyaku sepertinya, setelah kucoba dengan keras mengingat apa yang terjadi dalam surga bernama garba.
“Kau ada di surga,” ucap-Nya.
“Kenapa kita hanya berdua Kekasihku?” dengan tatapan kebingungan aku kembali bertanya.
“Karena ini adalah kuil yang hanya ada kita. Surga ini istimewa.” Jawab-Nya lembut.
“Kenapa aku terpilih untuk menghuni surga ini? Bukankah ada lebih banyak yang lebih baik, yang penuh kasih, dan saleh?” aku semakin penasaran.
“Hm… kenapa ya. Sepertinya karena kau benar-benar menginginkan dunia, makanya kamu singgah di surga pertama.” Aku tak melihat keraguan pada suaranya. Dia begitu meyakinkan.
“Dunia? Apa itu? Aku bahkan tidak tahu, kenapa aku menginginkannya?” aku tidak ingat tentang dunia, sama sekali.
“Iya, dunia adalah surga lain yang hanya bisa kamu rasakan ketika berbakti pada ibumu dan Aku.” Jawabnya dengan senyum paling tulus yang pernah kuingat di mana pun.
“Bagaimana aku berbakti pada ibu dan kepadamu?” aku belum mengerti juga.
Photo by Frank Park on Unsplash