Oleh Siti Atikah (Atik)
“Bu…. Kenapa sih aku masih nggak boleh main keluar?” tanya si kecil lima tahunku sambil manyun.
“Iya, Bu…. Kenapa, sih? Bosen tauuuu, udah setahun lebih nggak boleh main keluar. Aku benci Corona!!!” sambung abangnya dengan nada kesal tak tertahankan.
Duuuh, Gusti…. Sungguh kondisi pandemi ini telah membuat anak–anakku mundur keterampilan bersosialisasinya. Mereka hanya menghabiskan waktu bermain berdua atau bersama encingnya, adikku sejak wabah Covid-19 merundung Indonesia. Pastinya banyak anak–anak lain pun mengalami hal serupa. Meskipun anak–anak di lingkungan tempat tinggal saya masih ada yang bebas bermain karena barangkali orang tuanya lebih santai menyikapi pandemi ini, namun saya masih belum percaya diri untuk melepas kedua putraku bermain dengan teman–temannya di luar. Tak kubiarkan main saja, beberapa waktu lalu Buya, ayahku, sempat terdeteksi terpapar Covid-19 saat masuk rumah sakit hendak operasi tangannya yang patah akibat jatuh di masjid hingga harus masuk ruang isolasi. Imbasnya ibu, adik, dan kedua putraku harus isolasi mandiri di rumah selama 14 hari, sementara saya standby di rumah adiknya Buya yang tak jauh dari rumah sakit untuk mengurus keperluan Buya selama dirawat.
Yaa Allah…. Kapan, ya, anak–anak ini bisa kembali ke dunia bermain di luar tanpa ada lagi rasa khawatir tentang virus yang katanya penularannya sangat cepat dan mematikan bagi mereka yang rentan kondisi kesehatannya? Kapan….
Niscayanya bermain bersama teman adalah kebutuhan dan hak anak–anak karena memang itulah dunia mereka. Dengan bermain bersama teman, mereka dapat belajar bagaimana membangun komunikasi dan hubungan antar sesama yang bukan anggota keluarganya. Saya jadi teringat masa–masa kecil saya hingga lulus SD yang terbilang beruntung karena bisa bermain tanpa rasa khawatir akan adanya virus yang menyerang.
Teman bermain saya tak banyak kala itu. Maklum, kami dulu tinggal di perumahan yang saat itu seingat saya, beberapa yang seusia justru tak mau bermain dengan saya karena mereka menganggap saya cupu dan introvert. Akhirnya, teman bermain saya yang satu perumahan justru yang usianya terpaut 2–5 tahun di bawah saya. Untung juga, sih, karena saya jadi dianggap “Kakak” yang mengayomi mereka saat bermain. Ini pun terjadi di tempat saya bekerja sebagai guru selama 12 tahun terakhir, hehehehehe.
Meskipun demikian, saya punya sahabat dekat seusia semasa SD. Hanya dua orang. Yang pertama adalah Iing, tinggal di perkampungan seberang perumahanku. Yang kedua adalah Tita, tetangga baru yang pindah ke sebelah rumahku menjelang naik kelas 4 SD. Bersama merekalah saya menghabiskan masa bermain yang indah dan tak terlupakan hingga kini. Tak jarang, kami pun bermain dengan mengikutsertakan adik-adik kami. Mulai dari belajar bersepeda, berangkat sekolah bersama, hingga bergantian bermain di rumah kami.
Saya ingat waktu diajari bersepada oleh Tita. Ia yang sudah mahir lebih dulu, tak pernah lelah memegangi bagian belakang sepedaku yang seharusnya untuk orang dewasa, sampai kami terjatuh berdua dan tertawa-tawa. Hingga akhirnya ketika saya sudah lancar mengendarainya, sesekali kami pun bersepeda ke sekolah.
Saya dan Tita paling sering menghabiskan waktu bermain di rumah atau di area depan rumah kami yang merupakan pagar pembatas antara perumahan dan perkampungan warga keturunan Tionghoa. Di sekitar pagar tersebut terdapat berbagai jenis tumbuhan. Ada pohon daun mangkokan, bunga sepatu, bunga bougenville, pohon biji saga, pohon jambu, pohon mangga, dan entah tumbuhan apa lagi namanya. Yang jelas saat itu, kami nakal, loh, karena suka memetiknya diam-diam untuk dijadikan bahan main masak–masakan. Seperti bunga sepatu yang bagian putiknya mengeluarkan cairan yang kami anggap sebagai minyak sayur.
Kalau matahari terlalu terik, maka kami main masak-masakan di rumah dengan urunan uang jajan demi membeli bahan makanannya, yaitu berupa mie kremes Anak Mas, biskuit Gem Rose yang seringnya kami hanya makan bagian gula warna merah jambu, hijau, dan putihnya saja, dan Chiki Balls. Beberapa kali saya pun nakal diam-diam mengambil seraup dua raup pilus tegal jualan ibuku dari dapurnya. Hehehhehe. Di otak kami yang penting saat itu kami bisa main dan kenyang.
Sayangnya, Tita pindah rumah puluhan kilometer jauhnya dari rumahku. Namun, persahabatan kami tidak berhenti. Kami rutin saling mengirim surat dan bergantian saling menginap ketika waktu libur tiba. Bahkan satu tahun sebelum kelulusan SMA, Tita tinggal di rumahku agar bisa fokus ujian karena rumahku dekat dengan SMA, tempat ia bersekolah. Kami dan orangtua kami sudah layaknya saudara. Saling mengasihi, saling berbagi hingga kini, meskipun hanya bisa sesekali saling bertandang atau menyapa via telepon maupun media sosial, demi mengukuhkan persaudaraan dan persahabatan kami. Aaaah, rindu….
Lain halnya dengan Iing. Bersamanya, saya mengenal betapa menyenangkannya berpetualang sepulang sekolah. Kami teman satu kelas selama 5 tahun di SD dan 3 tahun di Tsanawiyah (setingkat SMP). Hanya ketika kelas 5 saja kami tidak satu kelas. Bahkan kami pun selalu satu bangku di kelas Madrasah Diniyah, sekolah agama kalau kata orang dulu, hingga lulus. Pulang sekolah hujan-hujanan sampai kadang tak tahan pipis di celana pernah saya alami bersamanya. Bersepeda bertandang ke rumah teman lain yang jaraknya sekitar 3–5 km kami lakukan demi mengerjakan tugas kelompok dari sekolah. Menyusuri bangunan-bangunan setengah jadi demi mencari serpihan keramik untuk main petak gunung sepulang dari Madrasah Diniyah menjadi rutinitas setiap sore. Bahkan saya pun dapat menikmati enaknya buah ciplukan karena Iing selalu semangat mencari buah tersebut di semak-semak sepanjang perjalanan pulang sekolah dengan risiko ada ular. Hiiiiiy. Namun, itu semua sungguh sangat seru.
Persahabatan saya dengan Iing terus berjalan meskipun kami berbeda sekolah saat SMA hingga perguruan tinggi. Namun, kami selalu menyempatkan waktu untuk saling bertandang, curhat segala cerita yang kami alami masing–masing saat berjauhan. Hingga akhirnya persahabatan kami dipisahkan oleh maut. Yaa, awal 2011 Iing meninggal karena pendarahan otak, beberapa minggu melahirkan putra pertamanya. 3 hari sebelum ia koma, ia sempat menelepon saya yang baru saja terbangun pasca operasi ganglion, tumor jinak, di punggung tangan saya. Masih jelas terdengar suaranya yang lemah saat itu mengabarkan bahwa ia baru saja sehari melahirkan putranya. Ia bilang ia merasa lemas dan pusing. Ia masih sempat mendoakan kepulihan saya setelah operasi. Aaah Iing, sungguh saya merindukanmu…. Allahummaghfirlahaa warhamhaa wa ‘afihaa wa’fu anhaa.
Yaah, persahabatan masa kecil dengan merekalah yang melekat abadi di ingatan saya hingga kini. Meskipun kini ada ruang-ruang lain di hati saya bagi sahabat-sahabat baru, mereka selalu menempati ruangnya sendiri, tak tergantikan.
Kembali ke kondisi anak–anak di masa pandemi ini. Aiiih sungguh mirisnya jika masa penuh rasa khawatir dan tak bebas menghirup oksigen dari Sang pencipta ini akan berlangsung lebih dari 2 tahun lamanya. Belum terbayang bagaimana saya harus mengambil sikap agar anak – anak saya tak kehilangan kenangan bermain bersama teman-temannya semasa kecilnya. Tahun ini Si Abang naik kelas 4 SD dan Si Ade masuk TK B. Yaa Allah, hanya Engkaulah yang dapat membuat situasi ini kembali pulih. Lindungilah kami, mampukanlah kami bersabar atas segala kondisi, bantu kami agar tetap bersyukur atas segala ketetapan-Mu, dan ampunilah segala kekhilafan kami. Aamiin Yaa Rabbal ‘aalamiin.
“Hai orang – orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (Q.S. Al-Imran : 200)
8 Juli 2021
Hari ke-3, Lock Down Writing Challenge, Books4care, Kinaraya.com
#atikberbagikisah
IG : atikcantik07
Photo by Charlein Gracia on Unsplash