Perpisahan Panas

Oleh Cicih M Rubii

Aku kelas 3 SMP. Beberapa bulan lagi kami akan lulus. 

Masa-masa indah di SMP akan segera berlalu, dan kami akan terpisah jarak dan waktu.

“Sebentar lagi kita perpisahan. Gimana kalau kita ‘bacakan’ ke Curug Cigumawang?” ajak Husein suatu siang. 

“Yuk, kapan?” tanya Neneng semangat. 

“Iya, kita tak ada waktu lagi lho, untuk bersama-sama,” ujar Aini dengan wajah melow. 

“Iya juga, ya! Sebentar lagi ujian. Setelah ujian kita tidak bisa kumpul-kumpul lagi,”tambah Ria, menimpali. 

“Tapi aku gak bisa main kemana-mana kalau libur,” kata Aini cemberut.

“Yaudah yuk, jadiin aja. Gimana kalau hari Sabtu?” usul Ayu.

“Jadi kita gak sekolah?” tanyaku heran.

Mereka hanya mengangguk-angguk. Semangat sekali. 


Sabtu pagi aku memakai seragam sekolah seperti biasa. Berpamitan kepada ibu untuk berangkat ke tempat wisata, Curug Cigumawang. Ibu tak bertanya aneh-aneh. Melihat aku berseragam, pasti ibu pikir acaraku adalah acara sekolah.

“Hati-hati di sana. Jangan main air ya, kamu ‘kan tidak bisa berenang,” pesan ibu sambil mengulurkan tangan. 

Aku mengangguk dan menyalaminya. 

Pagi itu arahku bukan ke sekolah, tapi kami berkumpul di rumah Ayu. Bercanda ria di halaman rumah, saling menunggu agar formasi lengkap baru berangkat. 

“Nah, itu Aini. Yuk kita berangkat!”ujar Neneng semangat. 

Aini datang terakhir, diantar kakaknya. 

Bersepuluh kami berjalan kaki  menuju lokasi. 5 perempuan dan 5 laki-laki.  Sebenarnya kami bukan berpasangan. Kebetulan saja kami memang bersahabat dekat. 

Perjalanan ke curug sejauh 3 Km sangat indah. Suasana alam yang asri dengan pepohonan di kanan kiri memanjakan mata kami. 

Sampai di lokasi,  dari kejauhan sudah terpampang air terjun yang indah. Meluncur dari ketinggian sekitar 30 meter. Suaranya menderu-deru. Percikan air membasahi pakaian kami. 

“Waaah, air terjunnya bagus sekali” teriak Neneng kegirangan. 

“Iyaaa, betul! Yuk kita berenang,” ujar Ria bersiap-siap menceburkan diri ke air yang adem. 

Beberapa dari kami memilih berenang. Sebagian lagi ‘ngeliwet’ dengan menggunakan kayu bakar. 

Sambil bercanda dan ngobrol, kami menikmati acara. 

“Woooy, nasinya matang! Yuk, kita makan dulu!” teriakku memanggil teman-teman yang sedang berenang. 

Daun pisang kami gelar. Nasi liwet disebarkan di atasnya. Sambal terasi dan ikan asin bakar dibagi menyebar. Daun kemangi dan terong mentah untuk lalap sudah siap. 

“Waaah, aroma ikannya menggugah selera. Aku lapar sekali,” ujar Husein bergegas mengambil posisi. 

“Awas sambalnya pedas, lho!” Aku mengingatkan. 

Kami duduk melingkar di tanah, menyantap nasi yang mengepul di atas daun pisang. Tak berapa lama, semua hidangan alakadarnya itu habis. 

“Alhamdulillah kenyang. Sedapnyaa!” seru Ria sambil membersihkan sisa-sisa nasi yang berserakan. 

Hari yang menyenangkan. Kami mengobrol kesana kemari, bercanda ria dengan gembira. Setiap moment kami abadikan dengan kamera. 

Jika tak ingat hari sudah beranjak sore, kami enggan pulang. Menikmati kebersamaan yang mungkin tak akan bisa terulang. Menjelang ashar, kami pulang ke rumah masing-masing. Meski capek, bahagia tampak dari wajah-wajah kami yang sumringah. 


Senin pagi aku ke sekolah seperti biasa. Tak ada sedikitpun rasa bersalah di hati. Bahkan aku senyum-senyum sendiri mengingat tingkah polah teman-teman saat di curug kemarin. 

Selama ini aku tak pernah ijin bolos sekolah. Apa salahnya sekali saja aku bolos, batinku tanpa sesal sedikitpun. 

“Rubi, kata Anita kemaren Pak Guru marah!” ujar Aini tergopoh-gopoh menyambutku di pintu gerbang sekolah.

“Loh, marah gimana, sih?” tanyaku heran.

“Iyaaa, marah karena kemaren kita bolos rame-rame. Piknik pula,” jawab Aini ketakutan.

“Waduh. Masa sih?” tanyaku mulai gentar.

Aku masuk kelas berusaha setenang mungkin. Beberapa teman yang kemarin tidak ikut kasak-kusuk di pojok kelas. Sesekali mereka melirik ke arah aku dan Aini.

Aku baru sadar, mungkin langkah aku dan teman-teman kemarin salah. 

Tapi salahku di mana? Sama saja ‘kan aku bolos biasa. Mereka bahkan sering melakukannya, ujarku dalam hati,  tak habis pikir. 

Meski tak mengerti, rasa sesal sedikit demi sedikit menguasai hati. Selama menunggu bel berbunyi, aku tak berhenti berdoa. semoga isyu bahwa pak Guru marah itu tidak benar.

Bobi si ketua kelas masuk kelas. Masih berdiri di pintu dia memandang kami.  

“Rubii, Aini, Neneng, Ria, Husein dan semua yang kemarin bolos. Dipanggil Pak Arya ke kantor sekarang!” ujarnya lantang. 

Aku terhenyak. Kami saling pandang. Ayu menangis ketakutan. Dengan berbagai perasaan, kami berjalan beriringan menuju kantor. 

Pak Arya mengajak kami bicara panjang lebar. Nasehat beliau membuat kami sadar bahwa apa yang kami lakukan kemarin adalah salah.  

“Sekarang, sebagai konsekuensi atas kesalahan kalian kemaren. Kalian semua dijemur di halaman upacara sampai istirahat!” titah pak Arya tegas. 

Aku meringis menahan malu. Dalam hati aku berjanji, peristiwa ini tak akan terulang kembali. 

 TAMAT


Photo by Jannik Skorna on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *