Oleh Hendra Desdyanto
Plakkk…
Sebuah tamparan mendarat tepat di pipiku. Tidak ada rasa marah waktu itu. Malah mataku berkaca-kaca dan merasa iba. Sambil kutatap wajahnya. Aku tahu, apa yang dia lakukan bukan karena keinginannya. Mungkin dia ingin menyapa, namun belum bisa mengontrol tenaganya.
Itulah pengalaman pertama ketika aku jadi guru. Mendapat “tanda sayang” yang tak terlupakan.
“Kalau mau menyapa seperti ini,” kataku sambil kuelus-eluskan tangannya di pipiku. Ya, Dia adalah muridku dengan hambatan autis. Sebuah hambatan akibat ada gangguan pada bagian otaknya.
Juli 2013. Itu adalah waktu pertama perjalananku menjadi guru. Guru luar biasa untuk murid luar biasa. Pintar saja tidak cukup karena dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan untuk mengajar mereka.
Awalnya, aku tidak mengira bakal mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Karena waktu itu, info dari temanku membutuhkan guru bimbingan belajar atau guru les. Setelah aku melamar, ternyata membutuhkan guru kelas.
“Silakan melihat dulu, kalau berminat besok bisa datang untuk observasi,” kata Kepala Sekolah dengan ramah.
Sambil melihat mereka, dalam hatiku berkata, Ternyata di kotaku ada anak-anak seperti ini.
Hambatan bicara, hambatan pendengaran, hambatan penglihatan, hambatan intelektual, dan ada pula anak dengan hambatan gerak anggota tubuh. Sedih sudah pasti. Tapi yang diperlukan mereka bukan hanya rasa kasihan melainkan perhatian dan kasih sayang.
Dua minggu berjalan aku mulai menyerah. Aku bingung, bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka. Aku tidak telaten saat mengajari mereka makan. Belum selesai, makanan sudah dilempar berserakan. Aku takut, karena tidak tahu cara menangani saat mereka kejang.
“Maaf Bu, sepertinya saya tidak dapat melanjutkan mengajar di sini,” kataku kepada sambil menunduk lesu. Padahal dalam hatiku aku ingin tetap melanjutkan.
“Tidak apa-apa, mengajar anak seperti ini tidak bisa dipaksa. Ketika hati kita ada masalah saja mereka juga bisa merasakan,” kata Kepala Sekolah.
Tapi dalam hatiku aku tetap ingin mengajar di sini Bu. Terjadi perang dalam batinku.
Setelah mendengarkan penjelasanku, Beliau menyerahkan keputusan sepenuhnya kepadaku. Keputusan kuambil, besoknya aku tetap melanjutkan untuk mengajar di sana. Yang tadinya dari dua minggu mau menyerah, akhirnya keterusan sampai aku mengajar di sana kurang lebih tujuh tahun.
Dalam perjalananku di sana, banyak sekali ilmu dan pengalaman yang aku dapatkan. Betapa kita harus bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan. Betapa bangganya ketika apa yang aku ajarkan mereka bisa mempraktekkan. Anak bisa menghubungkan dua titik menjadi garis lurus saja banggaku luar biasa. Anak bisa mengikat tali sepatu, anak bisa mengancingkan baju. Ada kepuasan dan kebahagian tersendiri yang tidak dapat terganti. Bagi orang lain mungkin hal ini biasa. Tapi bagiku ini sangat luar biasa.
Terkadang aku merenung. Merasa kasihan dengan anak yang dituntut orang tuanya untuk selalu jadi yang terbaik. Juara kelas, didaftarkan bimbingan belajar supaya bisa juara tingkat kecamatan, belum puas ingin anaknya juara tingkat kabupaten. Bahkan, anaknya diikutkan bimbingan belajar siang dan malam supaya bisa juara tingkat provinsi bahkan nasional. Tidak ada puas-puasnya sampai anaknya stres tidak mau belajar lagi.
“Kelak di sana, tolong jangan lupakan Pak Hendra, ya! Tolong angkat tangan Pak Hendra kalau ada di neraka!” kataku kepada Mustofa sambil memangku, mengusap wajah, dan tangannya sewaktu membantu dia berwudu untuk salat Duha.
Photo by Sandy Millar on Unsplash