Menuangkan Emosi di Kota Tua

Oleh Delfitria

Orang Jakarta mana yang belum pernah ke Kota Tua? Tempat bersejarah ala kolonialisme, beberapa museum yang tegak berdiri bahkan ornamen-ornamen jaman VOC masih bagus dipandang mata. Bagi mereka yang berada di luar Jakarta, Kota Tua patut menjadi tujuan berkunjung saat liburan mengingat suasana berbeda yang tidak ada di tempat mana pun. Mereka berswafoto, menaiki sepeda ontel, duduk berdua bersama kekasih hingga berkumpul-kumpul ria bersama kawanannya. Banyak sekali variasi kegiatan di tempat ini. Ada juga mereka yang ‘modus’ bertemu dengan gebetannya yang jarang sekali pernah ke Kota Tua. Salah satu dari mereka adalah… aku. Dulu. 

Klarifikasi dulu sebenarnya bukan semata-mata untuk modus, tapi aku sedikit berempati terhadap hidupnya. Hidup sebagai anak pertama yang ditinggal mati ibunya dan memiliki ibu tiri yang bisa dibilang ‘jahat’. Dari setiap Ia bercerita, kejahatan ibu tiri sebenarnya sederhana yakni perihal tidak adanya rasa percaya dari seorang ibu kepada anaknya. Ya, dia tidak pernah dipercaya oleh ibunya dalam melakukan apapun. Mulai dari milih jurusan kuliah, aktivitas di kampus, semua hal. Kata dia, Ibu tiri selalu membahas masa kecil yang nakal sebagai hujatan kebencian pada dirinya ketika melakukan kesalahan kecil. Pertengkaran, perdebatan hingga saling menaikkan suara sudah begitu kebal di telinga. Setiap kali Ia bercerita itu, aku merasa harus membantunya. Setidaknya membantu dirinya untuk bercerita dan mengungkap rasa sedih dan kesal terhadap kehidupannya. Ia tak pernah melakukan itu pada siapapun. 

Kata orang, perasaan sedih atau emosi negatif itu seperti air mengalir dalam sebuah wadah. Wadahnya adalah diri kita sendiri. Ketika emosi negatif itu tidak ‘dituangkan’ ke tempat yang benar, maka saat wadahnya mengalami kepenuhan, emosi tersebut akan mengalir ke tempat-tempat yang tidak diharapkan—tumpah. Oleh karena itu, ku ajak Ia untuk sejenak melepaskan diri dari kesibukannya dengan berjumpa di stasiun dan kami pergi ke Kota Tua. Aku menggaransikan padanya bahwa Kota Tua akan menjadi tempat yang aman untuk kita bercerita sesuatu personal. Ia setuju. 

Minggu yang cerah, Ia datang dengan kemeja dan celana levisnya. Duduk tenang di antara kerumunan stasiun Manggarai dan menungguku datang. Setelah bertemu, kami mengambil arah kereta menuju Kota Tua. Tidak terlalu ramai. Momen yang pas untuk menatap matanya yang penuh cemas. Ia tahu sebentar lagi, kisahnya akan dikuliti olehku. Tenang, aku sudah dapat consent darinya. Ia siap untuk menceritakan masalah dan emosi yang dia rasakan padaku di Kota Tua. Well, Kota Tua berdamailah!

Sampai di Kota Tua, tempat yang aku janjikan tutup. Akhirnya kita memilih kedai kopi yang terlihat kosong. Setelah menentukan kursi tempat duduk, kami memesan kentang dan minumannya masing-masing. Lalu Ia mulai cerita bagaimana kehidupan terasa berat menurutnya. Bagaimana keluarganya menjadi toxic seperti sekarang. Menurutku ini isu yang berat. Aku harus paham bahwa Ibu yang melakukan itu pasti karena sebuah alasan, tapi aku juga harus berempati bahwa perlawanan yang Ia berikan juga wajar jika dilakukan. Kali ini, aku mengandalkan kemampuan intervensi individu yang ku dapatkan di kelas misalnya bertanya, melakukan klarifikasi, mendorong Ia untuk terus percaya dan paling utama tidak menyalahkan sikap yang dipilihnya. Apa ada kesempatan untuk aku memberikan saran? Tentu saja. Tapi aku tidak memilih kesempatan itu. Aku memilih untuk menjadi dirinya dan menahan semua hal yang menurutku seharusnya terjadi. 

Hingga saat pembahasan soal Ayah dan Ibu kandungnya, Ia menangis. Seorang laki-laki yang senang berargumen di forum mahasiswa menangis di hadapanku. Ada rasa cinta yang tak sampai pada orang tuanya. Ada pula rasa kesal yang tak terbendung dari sikap acuh tak acuh terhadap hidupnya. Ah, aku paham sekali soal toxic parenting. Para orang tua yang merasa sangat paham tentang anaknya justru membiarkan sesuatu yang buruk sebagai hal wajar.  Air mata itu ku tandai sebagai bukti emosi yang tertuang selama ini. Ia tidak hanya seorang anak yang marah pada orang tuanya namun juga sedih dan tidak ingin sesuatu buruk terjadi lagi antara Ia, Ayah dan Ibu tiri. Kejujuran inilah yang tidak akan dipahami seseorang ketika ia tidak coba untuk menuangkan emosinya. Ia berhasil menuangkan emosi tersebut, dan kembali menjadi laki-laki yang utuh. 

Perjalanan di Kota Tua tidak berhenti menjadi sesi bercerita saja. Aku dan dia sedikit duduk-duduk di depan museum Fatahilah dan menertawakan orang Jakarta yang ada di hari itu. Ada yang ngamen, bercanda, berswafoto bahkan menirukan gaya menjadi tokoh-tokoh perjuangan. Semua terasa sempurna. Banyak emosi yang tertuang. Tidak hanya sedih, bahagia juga bisa kita rasakan dalam satu waktu yang sama. 


Photo by Michał Franczak on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *