Aku yakin tidak akan ada yang lupa dengan peristiwa yang terjadi pada 12 Mei 1998 yaitu tragedi Trisakti. Tragedi berdarah yang mencoreng nama Negara Indonesia.
Pergerakan reformasi yang dilakukan untuk menggulingkan kepemimpinan Presiden Soeharto dari kursi pemerintahan.
Para buruh, mahasiswa dan sejumlah aktivis kemanusiaan turut turun ke jalan menyuarakan gerakan mereka. Hal itu berimbas dengan adanya demo besar-besaran di beberapa kota besar. Banyak korban jiwa berjatuhan, bahkan kudengar banyak aktivis yang ditangkap dan beberapa keberadaannya sampai sekarang tidak diketahui.
Tentu saja hal ini juga menjadi berita hangat di Belinyu, banyak para tetangga dan kenalan ibu yang merupakan etnis China yang merantau di Jakarta memilih pulang ke kampung halaman untuk menyelamatkan diri dari serangan anarkis.
Mendengar bagaimana mencekamnya kondisi ibukota dan beberapa kota besar membuat ibu menangis tersedu-sedu, kami sekeluarga sampai panik mengapa ibu tiba-tiba menangis. Karena selama ini ibu tidak pernah menangis seperti itu.
Ada apa? Mengapa? Pertanyaan itu sering kudengar dari kerabat yang melihat ibu menangis.
‘Anakku ada di tempat kericuhan,’ ucapan ibu membuat kami semua yang mendengarnya terdiam. Mengerti betapa cemas dan sayang ia pada anak-anaknya. Ibu bahkan enggan makan sebelum mendapat kabar pasti dari saudara-saudaraku di Jakarta dan Jogjakarta.
Ditambah saat Kak Toto menelepon ke rumah Paman Sidi untuk berbicara pada ibu, dia justru membawa kabar yang membuat ibu semakin cemas, bagaimana tidak dia dengan santai mengatakan bahwa ia diminta atasannya menjaga salah satu rumah mewah milik atasan agar tidak dijarah oleh masyarakat setempat. Sedangkan pemiliknya malah pergi ke luar Negeri mencari perlindungan di tempat kerabatnya.
Aku masih ingat ucapan ibu ‘bagaimana kalau kediaman itu diserang? Apa atasannya mau bertanggung jawab jika Kamu cedera? Meski ada satpam yang juga ikut menjaga rumah itu, tapi tetap saja hal itu tak bisa menjamin keselamatan kamu, Nak.’ Sambil menangis ibu meminta dia pulang ke Belinyu.
Kak Toto hanya tertawa dan berusaha menenangkan ibu. Benar-benar ingin kupukuli kepalanya saat itu, ibu kok dibuat jantungan. Meski akhirnya ibu mengalah dan meminta Kak Toto berhati-hati tetap saja diam-diam setiap malam ibu masih menangis.
Setiap ada kerabat yang berkunjung ke kebun yang ditanya ibu adalah apakah ada kabar dari Kak Toto? Apa orang-orang masih demo? Begitu terus sampai ibu mendapat kabar keadaan ibukota membaik.
Keluarga kami tidak pernah peduli dengan hal berbau politik dan pemerintahan, yang kami pikirkan adalah apakah besok bisa makan? Apa masih ada sisa uang untuk membayar biaya sekolah?
Bagi kami siapa pun yang memimpin Indonesia tidak akan memikirkan perut rakyat kecil seperti kami, bagi ibu harapan terbesarnya adalah semua anak-anaknya selalu diberi kesehatan dan tidak kelaparan.
TBC
Kisah sebelumnya: Kasih Ibu Sepanjang Masa (2)
One Comment on “Kasih Ibu Sepanjang Masa (3)”