Kantuk dan Terantuk

Oleh Dwina

Mengendarai vespa jadul itu susah. Tangan kiri sibuk dengan kopling dan persneling, sementara tangan kanan sibuk gas dan rem depan, terakhir kaki kanan untuk rem belakang. Belum lagi tubuh bagian belakang motor yang besar sehingga membuatnya terasa makin berat. Selain itu, kendaraan istimewa ini tidak pakai double starter, alias ngongklek pakai kaki untuk nyalakan mesinnya.  

Banyak orang berkata seperti itu. Bagaimana aku tahu itu susah? Aku bahkan belum pernah mencoba naik jenis motor yang lain.  

Pagi itu, aku diajak oleh paklikku pergi ke kota sebelah. Perjalanan ditempuh dalam waktu tiga jam dengan kecepatan sedang. Aku bersenandung kecil, menikmati sejuknya semilir angin di pagi hari, mengagumi pemandangan yang tersuguh sepanjang perjalanan.

Kami pun tiba. Paklik segera menuju kantor mengurusi surat-surat berkaitan dengan kerjanya, sedangkan aku duduk sambil makan cemilan bekalku dari rumah, mengayun-ayunkan kaki dengan gembira.

Matahari mulai menempatkan dirinya tepat di atas kepala kami, urusan paklik telah selesai, dan kami pun pulang. 

Setengah jam perjalanan, rasa kantuk mulai menyerangku. Aku berusaha menahannya dengan bernyanyi keras. Tapi sedetik kemudian hilang keseimbanganku. Tubuhku limbung, oleng menghantam punggung paklik. Seketika, mataku terjaga dibuatnya.

“Ngantuk, Nduk?” tanya Paklik.

“Enggak, nggak ngantuk kok,” kilahku sembari mengangkat kedua alisku dengan mata yang susah sekali untuk dibuka, berusaha melawan kantuk yang menyerang. 

Perjalanan pun dilanjutkan. Selang lima menit bertahan, kantuk mulai kembali menyerang. Sesaat hilang keseimbangan, helmku menghantam punggung paklik lagi. Kali ini lebih keras dari yang pertama. Mataku membelalak, terkejut karena kembali hilang kesadaran.  

Berat sekali rasanya mata untuk dibuka. Seandainya aku berkaca di kaca spion pasti amburadul sudah wajahku. Mata yang memerah, lengket, dan berat sekali untuk dibuka.

“Ngantuk, Genduuuuk?” kali ini dengan nada yang lebih tinggi.

“Enggak, nggak ngantuk!” sangkalku. Padahal jelas sekali beberapa kali helmku membentur punggungnya. Perasaan takut dan cemas menghampiriku, berharap paklik tidak memarahi.

Paklik menepikan vespanya. Aku turun. Aku buka bekal minumku dan minum seteguk agar kantukku menghilang. Biasanya, kantuk menyerang di saat badanku lelah dan butuh makan. 

Lima menit sudah berlalu. Vespa dinyalakan lagi. Kali ini beliau duduk di kursi belakang. Aku kaget karena disuruh duduk di depan. Beliau menjelaskan sekilas bagaimana cara mengemudikannya.

Tangan kanan gas dan kalau mau mengerem roda depan. Kaki kanan siap di atas rem belakang. Kaki kiri di sebelahnya. Tekan kopling di tangan kiri dengan kencang. Tarik ke belakang untuk mengaktifkan gigi satu. Lepas pelan-pelan kopling sambil tarik pelan-pelan gas. 

Tarantang tang tang tang tang tang tang tang tang tang

Aku berteriak kegirangan dalam hati karena telah berhasil menyalakan kendaraan istimewa ini. Adrenalinku terpacu, mengalir ke seluruh tubuh. Hilang sudah rasa kantukku

Setelah berjalan kira-kira seratus lima puluh meter, paklik memberi aba-aba. “Sekarang kurangi gasnya. Pencet kopling dan gerakkan ke depan dua langkah.” 

Aku mulai melakukannya. Akan tetapi, tangan kiriku ternyata berhenti di langkah pertama.  Knalpot vespa kami melengking, namun vespa tidak bergerak lebih cepat meski gas telah kutambah. 

Panik nggak? Panik nggak? Ya paniklah, Masa nggak?

Pertolongan pertama datang. Dengan sigap, tangan kiri paklik mengambil alih. Tangan dan kakinya dengan cekatan memindahkan kopling ke gigi dua. Vespa melaju lebih cepat, dan makin bertambah cepat lagi. Proses yang sama untuk memindah ke gigi tiga bisa aku lakukan dengan mulus. 

Setengah jam mengendarai vespa, rasa kantuk mulai menyerangku lagi. Kalau aku pikir- pikir kembali, aku adalah pengendara yang tidak bertanggung jawab. Masa’ menjadi pengendara ngantuk? Begitulah diriku saat masih duduk di bangku kelas V SD. 

Vespa dengan kecepatan sedang mulai oleng. Paklik berkomentar, “Lho, lho, lhooo… ngantuk maneh, Ndhuk?”  

Mboten, Paklik,” bantahku

Bahaya sekali sebenarnya, tetapi aku masih belum paham dengan risiko tersebut. Rasa takut dan segan saja yang ada dalam pikiran, sehingga muncul kata bantahan. 

Vespa terus melaju. Jalanan mulai ramai. Khawatir dengan keselamatan kami, paklik akhirnya mengambil alih setir. Aku dibonceng dengan mendekap erat pinggangnya, agar bisa menyandarkan kepala di punggungnya untuk menghindari badan limbung atau kepala oleng. 

Syukur alhamdulillah, kami tiba di rumah kembali dengan aman. Anehnya, rasa kantuk itu hilang layaknya uap. Menghilang tak bersisa.


Photo by Simon Roth on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *