Oleh Lia Nathalia
Edelweiss lebih menyengat ketika matahari mulai merayap pelan meninggalkan peraduannya. Hawa dingin pun masih menembus tulang, kalau tubuh tak diselimuti jaket tebal.
Dari tenda warna-warna yang menghampar di tengah-tengah lading Edelweiss, tampak asap putih mulai membumbung satu-satu, pertanda penghuninya mulai menggeliat dari peraduan.
Sarapan apapun rasanya nikmat di saat seperti ini. Kopi tubruk yang jauh dari sajian ciamik café-café di kota, sudah cukup memuaskan rasa. Beruntung kalau ada singkong atau jagung rebus atau bakar. Paduan yang klop.
“Bagaimana Andi? Sudah mendingan dia?” tanya Totok. Yanto mengiyakan sambil menangguk.
“Tapi masih lemas katanya,” sambar Dimas.
Wajah-wajah kurang tidur, Edi yang paling ceking di antara kami, masih bersarung.
Saat kami mulai memasuki alam mimpi satu per satu semalam, tiba-tiba badan Andi menggigil hebat. Suhu tubuhnya turun drastis dan kesadarannya perlahan-lahan hilang.
Kami coba memakaikan jaket berlapis-lapis, menyelimutinya seperti lemper, tetap saja tak mengurangi gigilan Andi.
Api unggun kami tambah kayu agar api makin besar, dan suhu sekitar tenda kami makin hangat, bahkan sudah cukup membuat beberapa di antara kami yang berkeringat.
Andi mengalami gejala hipotermia. Beruntung kami masih belum pulas benar. Mudah untuk diusik dari upaya menuju mode mendengkur. Setidaknya malam itu satu nyawa selamat.
Pagi itu rencananya setelah sarapan, mengemas tenda, bersih-bersih lokasi dan menuju ke kawah belerang sekalian melakukan perjalan turun gunung.
Lumayan, beban di punggung kami masing-masing sudah ringan, karena bekal sudah kami habiskan sebagian besar di perkemahan.
Sambil sarapan, Edi dengan gitarnya dan suaranya yang kalah keren dari Iwan Fals, menjadi backsound kami.
“Pras, jangan lupa matikan apinya. Jangan sampai ada bara yang tertinggal,” kata Edi mengingatkan.
Permadani Edelweiss menghampar di hadapan kami dan masing-masing kami terpaku dalam hening tiap-tiap, berkelana entah ke mana sambil tiap orang menghirup wanginya Edelweiss sebanyak-banyak. Takut nggak kebagian.
Papandayan memang menyenangkan. Mendakinya tak terlalu melelahkan karena cenderung landai dan panjang. Hanya satu dua lokasi, yang menanjak. Yang menyenangkan, padang Edelweiss ada di mana-mana.
“Ingat, kita akan turun gunung. Jangan ada yang terpisah. Sweeper, pastikan jangan ada yang tertinggal, baik barang-barang dan orang,” Edi memberi briefing singkat.
“Satu lagi, jangan ada yang memetik atau menyelundupkan Edelweiss untuk dibawa pulang. Secara acak dan di tempat tak terduga akan ada yang razia,” tegasnya. Ya dia ketua rombongan pada pendakian kali ini.
Ketika tiba di Pos I, kami memutuskan untuk menggunakan fasilitas MCK yang ada, sekalian makan siang. Kira-kira sekitar jam tiga sore, kami dapat kendaraan ke terminal Garut, untuk lanjut ke Jakarta.
Foto-foto kami yang masih di simpan Edi dengan lengkap. Sayang, Fauzi sudah mendahului kami. Hari ini sudah sulit kami buat bisa berkumpul seperti ini di rumah Edi. Setidaknya kami pulang ke rumah masing-masing dengan kenangan indah landing Edelweiss di Papandayan.
Photo by photo nic on Unsplash