Doa Seorang Guru

Oleh Denik

Guru adalah orang yang memberi pendidikan dan mengajar kita di sekolah. Guru merupakan orang tua kita di sekolah. Oleh karenanya harus dihormati. Jangan membantah apalagi melawan guru. Begitu nasihat orang tua. Namun sebagai seorang murid yang masih berstatus remaja dengan gejolak jiwa mudanya, ada nasihat guru yang menurutku tak sesuai. Maksudnya bertentangan dengan kata hati. Sehingga aku kerap berdebat dengan guru di sekolah yang bertindak sebagai wali kelas atau dengar guru piket.

Sebenarnya bukan bermaksud melawan, tapi lebih mengungkapkan pendapat dan menyatakan apa yang kuanggap benar. Sayangnya hal semacam itu tidak umum dilakukan oleh seorang murid pada masa itu. Mungkin juga sampai sekarang. Rata-rata lebih memilih diam dan memendam semua dalam hati. Kemudian menggerutu di belakang. Sementara aku bukan seperti mereka. Sehingga dianggap murid yang kerap membangkang.

“Saya tidak mau keliling lapangan, Pak,” sahutku saat menghadap guru piket akibat terlambat masuk sekolah.

“Tapi hukuman bagi murid yang terlambat adalah lari keliling lapangan.”

“Bisa diganti toh, Pak? Yang penting dihukum. Saya push up saja atau squat jump.”

“Memang kamu bisa?” tanya guru piket.

“Bisa, Pak.”

“Ya, sudah. Squat jump dua puluh kali. Kamu ini nawar saja.”

Aku tertawa. Judulnya aku terima hukuman tersebut. Hanya saja dalam bentuk lain. Apakah ini disebut membangkang? 

Lain waktu aku kembali menghadap guru piket. Kali ini bukan oleh sebab kesalahan yang kubuat atau peraturan yang kulanggar. Tapi karena sebuah hobi yang menurut wali kelas tidak pas. 

“Tidak pantas ke sekolah mengenakan gelang semacam ini. Banyak pula. Kamu di sekolah untuk belajar. Bukan untuk bergaya.”

“Saya memakai gelang ini bukan untuk gaya-gayaan kok, Pak. Tapi karena senang dan gelangnya istimewa. Hadiah dari orang tua dan orang-orang yang istimewa.”

“Tapi ada aturan kalau ke sekolah tidak boleh mengenakan gelang,” ujar guru piket.

“Dalam aturan yang dibuat, gelang yang dimaksud adalah gelang emas, Pak. Sementara gelang yang saya kenakan bukan gelang emas.”

“Tetap saja tidak boleh.”

“Mana bisa. Aturannya tidak seperti itu kok, Pak.”

Aku dan guru piket terus saja beradu argumentasi. Aku kekeuh mempertahankan pendapat yang kuanggap benar. Hingga akhirnya aku diserahkan kepada wali kelas untuk ditatar atau diberi arahan.

“Kamu ini kalau diberitahu melawan terus,” ujar wali kelas.

“Saya tidak melawan Bu. Hanya menyatakan pendapat yang saya anggap benar. Kenyataannya memang, kok. Yang tidak boleh dipakai ke sekolah adalah gelang emas. Sedangkan gelang yang saya pakai  bukan emas.”

“Memang. Tapi apa salahnya menuruti kata guru piket. Biar tidak panjang urusannya.”

“Ya, tidak bisa, Bu. Wong saya merasa benar kok. Lagipula tidak ada hubungannya dengan pelajaran. Yang penting prestasi saya bagus. Nilai-nilai saya juga bagus.”

“Kamu ini. Sekolah itu tidak hanya soal pelajaran dan nilai bagus. Tapi…” Bla, bla, bla. Wali kelas memberi penjelasan panjang lebar. Yang ujungnya.

“Ibu doakan suatu saat kamu berada di posisi ibu. Jadi guru dan menghadapi anak-anak dengan aneka karakter. Biar kamu bisa merasakan situasi seperti ini. Menghadapi murid yang ngeyelan.”

Iiih, siapa juga yang pengin jadi guru. Jangan sampai deh. Puyeng, sahutku dalam hati. Ya, dalam hati. Sebab kalau kukatakan lagi bisa tak selesai urusanku di kantor guru. 

Perdebatan yang membuatku senyum-senyum kala mengingatnya. Sebab jalan hidupku selanjutnya sama persis dengan yang diucapkan oleh wali kelas. Akhirnya aku merasakan jadi guru hingga 17 tahun lamanya. Gila ya? Benar sekali bahwa ucapan orang tua adalah doa. Guru adalah orang tua kita di sekolah. Jadi ucapannya adalah doa juga. Aku korban doa seorang guru. Doa baik tentu saja. (EP) 


Photo by National Cancer Institute on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *