Aku sedang sakit. Aku terkena virus corona. Aku tidak tahu dengan jelas apa itu virus dan apa artinya corona tapi kata suster. Karena virus corona ini aku tidak boleh keluar dari kamar perawatan. Kalau aku tetap di Kamar dan menurut aku bisa menyelamatkan orang lain dan menjadi pahlawan. Aku tidak tahu bagaimana tepatnya diam di Kamar bisa menjadikanmu pahlawan apalagi menyelamatkan orang lain.
“Rino, Sekarang di tubuh Rino sedang ada virus. Virus ini bisa berpindah ke tubuh orang lain dan membuat orang lain sakit. Makanya agar Rino cepat sembuh dan tidak membuat orang lain sakit. Rino harus tetap di kamar,” ujar suster yang sering mengunjungiku. Suaranya terdengar samar dari balik benda putih yang menutupi mulutnya.
Suster itu selalu berpakaian aneh. Yang paling sering ia kenakan adalah pakaian plastik berwarna putih seperti jas hujan tebal. Kadang dia benar-benar mengenakan jas hujan yang warna-warni, yang pernah kulihat dijual di pinggir jalan. Harganya 5000 ketika tidak hujan dan 10.000 ketika hujan turun. Dokter-dokter dan suster-suster lain juga berpakaian serupa. Aku menanyakan padanya mengapa para suster, dokter-dokter dan orang-orang di sini banyak yang berpakaian aneh seperti itu. Padahal di dalam Rumah Sakit tidak akan turun hujan. Suster baik itu menjelaskan dengan lembut, pakaian ini mencegah virus corona masuk ke tubuh mereka agar mereka tetap sehat dan tetap bisa merawat mereka.
Aku tidak mengerti sepenuhnya, aku tidak tahu apa memang virus corona itu memang sejahat itu atau orang-orang cuma salah paham padanya. Yang bisa kupastikan adalah suster itu baik dan aku senang sekali dengan kunjungannya di hari-hariku yang membosankan di kamar perawatan. Aku ingin sekali bisa melihat wajahnya agar aku bisa mengenalinya ketika aku keluar dari Rumah Sakit. Namun hampir mustahil untuk aku mendeteksi wajah di balik lapisan-lapisan plastik itu. Hanya suaranya yang samar terdengar yang menjadi tanda pengenalnya bagiku.
Aku pun menuruti perintahnya untuk diam di Kamar. Setiap hari selain datang utnuk mengecek kondisiku. Suster baik itu dan dokter-dokter datang untuk mendengar ocehan panjangku tentang rasa bosanku harus diam di Kamar. Namun sekarang aku tidak bisa. Aku sudah kehilangan hitungan, berapa lama waktu yang kuhabiskan di Rumah Sakit. Selang panjang di tenggorokanku mencegahku untuk mengoceh seperti biasanya. Sakit. Rasanya sakit luar biasa. Tetapi aku tidak bisa menggerakan tubuhku, tidak bisa melarikan diri bahkan mungkin badanku bukan punyaku lagi. Samar-samar lebih samar dari biasanya, aku mendengar suara suster baik itu mengobrol dengan suster-suster lainnya. Kesadaranku yang tipis-tipis ini tidak bisa mencerna kata-kata mereka.
Biasanya ketika aku membuka mataku, aku akan melihat langit-langit putih atap Rumah Sakit yang membosankan itu. Apalagi ketika aku tidak bisa menggerakan tubuhku lagi, warna putih menjadi satu-satunya yang terlihat dalam pandangan buramku. Namun hari ini berbeda, bahkan sangat berbeda. Aku masih memakai piyama rumah sakitku tapi aku tidak lagi melihat warna putih yang memuakkan itu. Tidak ada bau antiseptik yang menyengat atau tit-tit-tit tanda jantungku masih berdetak Tidak ada selang di tenggorokan, tidak ada jarum-jarum menusuk tanganku. Aku tidak berbaring tidak berdaya di Rumah Sakit. Aku sedang berdiri dan bisa bergerak dengan bebas.
Di hadapanku padang rumput luas membuatku kegirangan, aku berlari dan melompat seperti tidak pernah melakukan hal-hal itu sebelumnya. Tubuhku menikmati kebebasannya untuk bergerak, aku bernafas sedalam-dalamnya, sebanyak-banyaknya. Aku berlari sampai di ujung padang rumput itu yang merupakan sebuah jurang tegak yang dalam. Aku tidak bisa memastikan apa yang ada di seberang jurang itu. Karena kabut putih tebal menyelimuti tempat itu, hanya bayangan-bayangan dan siluet-siluet yang tak dapat kutangkap bentuknya yang dapat aku lihat.
Dua sisi jurang itu dihubungkan oleh sebuah jembatan kayu. Jembatan Kayu yang sering aku lihat di Desa. Dengan tonggak kayu rapuh yang diikat dengan tali tampar kasar. Jembatan yang akan tetap bergoyang-goyang walaupun kamu sudah berjalan sepelan mungkin. Yang akan membuat orang-orang takut dan merinding ketika melewatinya.
Ah, benar juga! Aku harus segera kembali ke kamar. Aku tidak boleh berada di luar karena aku bisa membuat orang sakit sepertiku. Aku pun bertanya-tanya apa jembatan ini bisa membawaku kembali ke Kamar perawatanku sebelum ada suster yang masuk untuk memeriksa keadaanku. Di tengah kebingunganku itu, aku menyadari aku tidak sendirian berdiri di sisi jurang itu. Di sampingku berdiri seorang mas-mas yang aku tidak tahu sejak kapan dia ada di sana. Karena dia tidak menggunakan baju plastik. Aku bisa yakin dia bukan suster, dokter atau orang dari Rumah Sakit. Ia berpakaian seperti aktor-aktor drama Korea yang sering ditonton ibu. Mantel panjang, baju dengan kerah tinggi sampai menutup leher dan celana panjang hangat. Namun dia lebih tampan dari aktor-aktor pujaan ibu. Kulitnya cerah, hidungnya mancung dan tinggi kemudian ketika ia tersenyum. Ia mengingatkanku pada guru mudaku di SD. Senyum yang ramah dan pengertian.
“Halo adik, kamu mau ke mana?” tanyanya. Ia tersenyum melihat ke arahku.
“Kakak, jangan dekat-dekat sama aku!” ucapku memperingatkan. “Aku punya virus! Virusnya bisa pindah ke kakak dan bikin kakak sakit!”
“Jangan khawatir,” jawabnya ringan. “Kakak bukan orang kok. Kakak tidak bisa sakit.”
Jawaban kakak ini membuatku merasa aneh. Jelas-jelas dia adalah orang dan terlihat seperti orang bagiku tapi dia bilang dia bukan orang. Jadi sebenarnya dia itu apa? Orang dewasa itu memang aneh.
“Jadi kamu mau ke mana, adik?” tanyanya lagi.
“Saya mau balik ke kamar Kak. Rumah Sakit itu ke arah mana ya, Kak kalau dari sini?” tanyaku.
“Oh, kakak paham sekarang. Kakak bisa antar kamu,” jawabnya. Aku ingat nasihat ibu, kalau aku tidak boleh berbicara dan mengikuti orang asing. Karena bisa saja orang itu adalah orang jahat. Tapi kakak ini bukan orang kan? Walaupun aku tidak mengerti apa maksudnya. Kukira dia bisa jadi pengecualian.
“Kakak, di sana ada apa?” tanyaku menunjuk kabut putih tebal di sisi lain jembatan itu.
“Di sana?” ulangnya menunjuk arah yang sama. “Di sana sedang ada perang.”
“Perang? Perang sama siapa?” tanyaku lagi benar-benar merasa penasaran.
“Lihat baik-baik di sana!” ucap si kakak lagi. Dia menunjuk sisi lain jembatan.
Aku menyipitkan mataku memperhatikan baik-baik apa yang si Kakak itu tunjuk. Setelah mengerjap beberapa kali aku menyadari. Di sisi lain jembatan itu ada dua ekor beruang, Beruang itu tidak terlihat menakutkan malahan mereka terlihat seperti boneka teddy raksasa yang bisa bergerak. Satu ekor beruang berbulu seputih salju seperti beruang kutub sedangkan yang satunya berbulu kekuningan. Ini pertama kalinya aku melihat beruang bulu kuning.
“Mereka sedang berperang dengan musuh yang ada di dalam kabut. Agar musuh itu tidak menyeberang jembatan dan merusak tempatmu hidup,” lanjut si Kakak menjelaskan. “Mereka sedang berjuang untuk kamu dan untuk orang-orang lain juga.”
Setelah si Kakak mengakhir kalimatnya, aku melihat seseorang muncul dari balik kabut. Seorang bapak-bapak dengan nafas terengah-engah terseok-seok keluar dari kabut. Dengan sigap beruang putih menghampiri bapak itu. menggendongnya dan berlari kembali ke jembatan. Kedua beruang itu dengan tambahan seorang bapak digendongan beruang beruang putih menitih jembatan kayu itu. Seperti yang kuduga jembatan itu bergoyang-goyang dan berkemeletak, melihat orang lain yang melewatinya saja membuatku merinding. Namun kerasnya goncangan jembatan itu bukan karena angin. Di kejauhan dari kedua sisi samping jembatan, aku bisa melihat gerombolan hitam dengan bentuk seperti bola-bola terbang melesat ke arah jembatan. Suara ocehan mereka yang tidak henti-hentinya saling bersahutan, menciptakan dengung-dengung di udara. Bola-bola hitam itu mendekat lebih cepat, kedua beruang pun mempercepat langkahmereka. namun tidak sempat. Bola-bola hitam itu sudah menyerang mereka bahkan sebelum mereka mencapai sisi jembatan yang lain.
Si Beruang putih memeluk si bapak dengan erat melindungi bapak dari tabrakan-tabrakan bola hitam. sedangkan si beruang kuning mengeluarkan tongkat panjang secara ajaib di tangannya. Ia mulai memukul bola-bola hitam yang mendekat membuat makhluk itu terpental jauh. Aku tegang melihatnya, selain serangan-serangan bola hitam itu jembatan berguncang dengan hebat. Rasanya mereka bisa jatuh kapan saja. Kedua beruang itu tetap berusaha bergerak. Mereka maju sedikit demi sedikit.
Pada saat itu, Beruang kuning menginjak bilah kayu yang salah. Bilah kayu itu retak karena diguncang dan dihentak terlalu keras. Sedikit kemudian bilah kayu itu membuat beruang kuning terjerembab kemudian jatuh ke dalam jurang,
Teriakanku tertahan di tenggorokan, mataku melebar melihat sosok kuning itu yang dilahap bola-bola hitam. Menghilang ke dalam jurang. Raut beruang putih menjadi sedih, namun dia tidak punya banyak waktu untuk itu. Dia bergerak secepat yang dia mampu dan akhirnya dapat membawa bapak itu ke sisi jembatan. Beruang putih menurunkan si bapak dari gendongannya. Tidak seperti tadi wajah bapak itu terlihat lebih cerah dan lebih sehat. Setelah saling mengucapkan terimakasih. Bapak itu dengan girang berlarian di Padang Rumput seperti yang kulakukan tadi.
“Tunggu di sini sebentar ya, kakak ada tugas, setelah ini kakak antarkan kamu kembali,” ucap kakak itu. Aku mengangguk mengiyakan. Bersama Beruang Putih aku melihat si kakak terjun ke dalam jurang tanpa ragu. Beberapa detik kemudian ia terbang melesat dari dalam jurang dengan menggandeng si Beruang Kuning. Kukira si kakak berusaha menyelamatkan Beruang Kuning. Namun ia terbang semakin tinggi ke langit yang biru, ke balik awan yang bergumpal-gumpal tanpa tanda akan mendarat di sini.
Aku dan Beruang Putih yang masih di darat berdiri berhadapan dalam diam. Aku membungkuk dalam-dalam padanya berterimakasih atas keberaniannya dan rasa maafku karena dia harus kehilangan temannya.
“Jangan khawatir,” ucapku. “Kakak itu sepertinya orang baik. Tadi dia bilang dia bukan orang sih. Tapi dia baik kok sama Rino dia juga pasti akan baik ke teman kamu,” hiburku. Sepertinya dia mengerti ucapanku dan raut sedihnya berkurang. Dia tersenyum kecil di mulutnya yang berupa garis. Tangan besarnya itu mengelus puncak kepalaku. Sebelum akhirnya ia kembali menyebrangi jembatan. Kembali ke medan pertempurannya.
Kakak tampan itu sudah kembali ke sampingku, dia sendirian. “Tugas kakak sudah selesai nih. Kakak bisa antar kamu kembali. Kamu mau terbang atau jalan kaki saja?” tanyanya.
Aku mendengar pertanyaan kakak itu tapi saat itu perhatianku terfokus pada beruang putih yang saat ini berdiri sendirian di sisi lain jembatan ini. Aku merasa sedih untuknya dan juga bersalah. Jika aku tidak sakit mungkin saja dia tidak perlu berdiri di sana, tidak perlu kehilangan temannya. Fokusku buyar ketika aku merasakan si Kakak mengenggam tanganku. Tanpa bicara apa-apa dia tersenyum padaku, aku menunduk karena rasa ragu. Kemudian kami mulai berjalan menjauhi jembatan itu. Dalam hati aku berjanji pada diriku sendiri agar tidak mengeluh dan menuruti semua perintah dokter dan suster di Rumah Sakit walaupun rasanya tidak enak dan menyakitkan.
Dari balik maskernya seorang suster muda mengulas senyum. Ventilator untuk Rino sudah bisa dilepas dan kondisi bocah laki-laki berusia 10 tahun itu semakin membaik. Dia merasakan butir-butir teringat turun mulus di kulit punggungnya. Hal yang biasa karena dia menggunakan APD yang berlapis-lapis. Namun ia merasakan tubuhnya menghangat, sensasi tercekat di tenggorokan dan frekuensi batuknya yang meningkat membuat lembab maskernya.
“Sepertinya aku harus ikut Rapid Test hari ini,” gumam suster itu namun hanya dalam benaknya saja.