Cerpen Iecha: Bukan Aku

Aku mengerang pelan saat cutter membuat garis tipis di dekat lipatan tangan kiriku. Napasku tidak lagi tersengal seperti tadi, seiring cairan merah yang keluar dari luka tipis itu. Aku menyandarkan tubuh di tembok, menurunkan lagi emosiku yang sempat memuncak.

Kamarku sepi malam ini. Semua penghuninya berada di aula menyaksikan Panggung Gembira. Aku sengaja tidak ikut dengan alasan sakit. Pengurus asrama percaya saja,, dan membiarkan aku tetap di kamar dengan setumpuk obat-obatan. Wajar mereka percaya karena aku pasang tampang memelas sambil bersembunyi di balik selimut.

“Ra!”

Pintu kamarku terbuka seiring teriakan yang sangat akrab di telingaku. Sesosok cewek muncul, mengunci pintu kamar, lalu menghampiriku dengan wajah khawatirnya. Langkahnya terburu-buru menuju tempat tidurku di pojokan.

“Bener kan,  kamu sakit,” katanya.

“Nggak, kok. Jangan bilang-bilang.”

“Kamu sakit!” Dia menarik tanganku, menunjukkan garis yang masih mengalirkan darah. “Kamu kenapa? Kenapa nggak cerita ke aku?”

Ingat Chika, temanku waktu SMP? Ini bukan dia. Namanya Adisha. Dia teman sekelasku yang tinggalnya di kamar seberang. Dulu, aku tidak akrab dengannya. Sejak aku masuk SMA, entah kenapa dia merapat dan menjadi teman dekatku. Sedangkan, Chika memutuskan untuk keluar dari sekolah saat lulus SMP.

“Aku nggak apa,” ucapku pelan.

“Nggak! Kenapa?” Adisha duduk di kasurku.

Aku menarik napas dalam-dalam. Saat melihat air mata Adisha yang tiba-tiba mengalir. Dia memang melankolis, air matanya sangat mudah mengalir. Namun, kemunculannya di sini saat ini—yang aku yakin pasti melarikan diri dari acara panggung gembira—membuktikan kalau dia memang khawatir.

“Aku pegel sama anak kamar,” ungkapku. “Aku ngobrol sama yang satu, dibilang pilih kasih. Aku ajak ngobrol rame-rame nggak dijabanin. Aku bisa gila kalau begini terus!”

Memang begitu warga kamarku. Mereka adalah anak-anak baru, masih kelas tujuh atau kelas percobaan sebelum melanjutkan ke kelas sepuluh. Aku memang agak sulit berkomunikasi. Entah kenapa Dewan Pembimbing menyuruhku menjadi ketua kamar. Dua bulan mereka di sini, aku masih gagap mengenali mereka. Ditambah lagi, aku terserang tipus di awal tahun ajaran.

“Aku ngerti. Aku juga begitu sama anak kamarku. Tapi … kayaknya masalah kamu bukan itu.”

Aku menarik napas dalam-dalam. Haruskah aku ceritakan semua? Aku memendamnya sejak beberapa hari lalu dan membuat sekujur tubuhku sakit dan napasku sesak. Semua berawal dari kerja bakti di kamarku.

“Cerita, Ra. Berbagi sama aku.”

“Aku disidang Dewan Pengawas.”

“Kenapa? Ada anak kamar kamu yang ngadu?”

Aku menggeleng. Masih berat sebenarnya menceritakan hal itu pada orang lain, sekalipun itu Adisha.  Berucap kalau aku dipanggil Dewan Pengawas saja rasanya berat. Dewan pengawas seperti kantor polisi di dunia luar asrama. Siapapun yang disidang di sana berarti memiliki catatan kriminal versi asrama.

Apalagi, kondisi mentalku memang tidak baik-baik saja sejak aku dikejar kakak kelas sembilan sewaktu aku kelas delapan dulu. Waktu itu aku memang selamat, tapi menjelang ujian kenaikan kelas mereka berhasil menangkap dan membawaku ke kamar sembilan Sevilla. Mereka mencaciku habis-habisan, memperbabukanku, menamparku dengan sandal jepit, dan … ah, sudahlah! Aku malas mengingatnya lagi.

“Kamu nggak usah temenan sama aku.”

“Kenapa?” Adisha terisak, membuatku merasa bersalah. “Aku jahat sama kamu?”

“Nggak, Sha. Akunya yang bisa bawa pengaruh buruk.” Aku menarik napas. “Tapi, kalau kamu mau nyontek PR, aku masih terima.”

“Kamu bener-bener nggak mau cerita?”

Tatapan Adisha menghujam mataku. Lengkap dengan lelehan air matanya. Ya sudah, aku menyerah. Kalau dibiarkan bisa sampai besok pagi dia seperti itu.

“Kena kasus pencurian,” kataku pelan.

“Nggak! Nggak mungkin!”

Dia bilang tidak mungkin, tapi tidak begitu dengan Dewan Pengawas. Awalnya aku uga bingung saat menerima jadwal pemanggilan. Hal paling masuk akal yang membuat aku harus menghadap Dewan Pengawas adalah anak-anak kamarku yang merasa aku perlakukan tidak adil. Nyatanya bukan.

Aku sempat tidak mengerti saat Dewan Pengawas menghujaniku dengan pertanyaan seputar tas. Lama kelamaan, otakku mulai tersambung pada kejadian saat kerja bakti pekan lalu. Saat itu, seonggok tas berisi dompet dan uang  tergeletak dalam keranjang di kolong tempat tidur Teta, tanpa ada satu orang pun yang mengaku sebagai pemiliknya.

“Bukannya ini tas kamu?” tanyaku pada Teta.

“Bukan, Kak. Tas aku yang ini.” Teta menunjukkan tasnya yang mirip tas misterius itu.

“Nggak mungkin tasnya jalan sendiri ke sini. Pasti ada yang bawa.” Aku menggeledah lagi tas itu. “Ada kacu—dasi Pramuka—nih. Punya anak perkemahan kayaknya.”

“Aku bener-bener nggak tahu, Kak. Aku nggak ngambil tas itu.”

“Aku nggak nuduh kamu. Cuma, waktu di perkemahan, kamu inget nggak siapa yang pake tas itu?”

Teta menggeleng. “Aku nggak tahu, Kak.”

Ya sudah, permasalahan ditutup. Aku memilih mengabaikan tas gemblok berwarna merah marun itu dan membiarkannya ada di kolong tempat tidur Teta. Perkemahan berlangsung hampir sebulan lalu, tapi aku tidak mendengar berita kehilangan tas. Mungkin tas itu milik utusan sekolah lain.

Saat persidangan, aku baru tahu kalau tas itu milik Dona, anak kelas sembilan. Tas itu dinyatakan hilang usai perkemahan tahunan di lapangan asrama. Satu-satunya anak kamarku yang ikut kemah hanya Teta. Aku? Boro-boro. Melangkah ke perkemahan saja tidak. Aku sibuk latihan paduan suara untuk upacara pembukaan tahun ajaran, yang setelahnya aku terkapar karena tipus.

Entah kenapa, Dewan Pengawas itu seolah-olah punya alasan untuk menuduhku. Mereka seperti memainkan mentalku agar aku mengaku. Ucapanku tentang ketidaktahuanku malah mereka anggap dusta.

“Di kamar saya cuma Teta yang ikut kemah.” Aku membela diri.

“Nggak mungkin Teta! Coba kamu pikir, Teta anak baru. Mana berani dia ambil tas,” kata Bu Nina, bengis.

“Kamu niat ya, ke perkemahan buat ambil tas orang,” sinis Bu Liza.

“Saya nggak pernah ke perkemahan.”

“Kamu punya alibi?”

“Saya latihan padus, Bu.”

“Apa latihan padus dua puluh empat jam?”

Tidak juga. Namun, tidak mungkin juga aku ke perkemahan tengah malam. Sekolahku terkenal seram karena banyak yang memergoki penampakan hantu. Mustahil aku berani keluar tengah malam hanya untuk mencuri tas. Bisa-bisa aku kepergok hantu duluan lalu lari tunggang langgang. Lagipula, aku cukup lelah usai sekolah dan latihan seharian. Energiku tidak cukup untuk melangkah ke lapangan.

Namun, Dewan Pengawas tidak percaya. Benar-benar tidak percaya. Meski mereka hanya memberi peringatan awal padaku—tanpa hukuman—tapi keluar dari ruang sidang kepalaku terasa berputar. Napasku terengah dan tubuhku serasa dipukuli orang sekampung.

“Kenapa kamu nggak panggil aku? Aku bisa bela kamu. Aku tahu semua kegiatan kamu,.”

“Aku berhadapan sama batu.”

Tiba-tiba Adisha merengkuhku dalam pelukannya. Isaknya makin keras. Jangan tanyakan bagaimana perasaanku. Aku bingung, aku yang stres kenapa dia yang terisak. Seperti itu. Namun, aku senang karena ada yang sepeduli ini padaku.

“Mundur, Sha! Kalau ada yang lihat, ntar disangka yang nggak-nggak.”

“Iya juga.” Adisha menjauhkan tubuhnya dariku, lalu mengusap air matanya. “Rencana kamu selanjutnya gimana?”

“Entahlah. Yang pasti, aku mau minta pindah kamar aja. Mau cari kamar yang aku bisa fokus belajar.”

“Jangan. Nanti aku belajarnya sama siapa?”

“Yah, kan kamu bisa ke kamar aku. Daripada aku di sini terus gila?”

Pintu kamarku digedor kasar. Aku melirik jam di dinding. 21.06. Pasti bukan anak kamarku. Panggung Gembira biasanya selesai berbarengan kuntilanak berangkat dinas. Gedoran itu makin kencang, kali ini ditambah dengan usaha mendobrak pintu kamar.

“Keluar! Atau kami dobrak pintunya!”

Suara Bu Liza! Aku dan Adisha saling lempar tatapan. Entah bagaimana dia bisa ada di depan pintu kamarku, yang jelas, aku harus menyelamatkan Adisha dulu. Aku tidak mau dia terkena tuduhan atas hal yang tidak dia perbuat. Kalau aku? Sudahlah, aku tidak memikirkan diriku sendiri. Aku sudah terlanjur buruk di mata Dewan Pengawas.

Langkahku tertuju ke pintu yang semakin genting karena terus didorong dari luar. Bunyinya benar-benar gaduh. Ditambah teriakan penuh ancaman dari Bu Liza yang seolah tanpa jeda. Pun, gedoran kasar masih terdengar. Aku menarik napas dalam, lalu membukanya.

Bu Liza di sana bersama dua orang pengurus asrama. Tatapannya langsung tertuju pada luka iris di tangan kiriku yang masih memerah karena jejak darah. Lewat isyarat mata, dia memintaku mengikutinya. Aku tahu, aku tidak punya jalan lagi.

Cerita sebelumnya: Teror di Asrama


Photo by Sigmund on Unsplash

One Comment on “Cerpen Iecha: Bukan Aku”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *