Oleh Windu Utami Surya Dewi
Kala itu usiaku sekitar lima atau enam tahun usia memasuki TK. Memori di kelapaku tinggal sepotong-sepotong yang tersisa. Kutuliskan supaya anak-anakku membacanya.
Ini kisah tentang kebonnya simbah. Di kepalaku kebun dan kebon berbeda. Kalau kebun isinya tanaman tahunan yang menghasilkan buah-buahan. Sedangkan kebon sekaligus dengan rumput sampai ilalangnya ada juga di sana.
Kebonnya simbah ditanami banyak tanaman. Kelapa, pisang, salam, belinjo, nangka, murbei, mangga, sukun
Simbah utiku bercerita jika bunga nangka (disebut angkup) saat menjelang maghrib dia bernyanyi. Benarkan demikian? Aku mempercayainya saja. Aku sering berusaha mendengarkan suara itu. Nyanyian angkup yang terkadang seperti sebuah tangisan pilu. Membuat hati terasa pedih. Namun terkadang aku seperti mendengar bukan sebuah tangisan melainkan nyanyian riang, tak jarang pula aku tak kuasa untuk menantinya bernyanyi lantaran rasa kantuk yang tiada tara.
Jika masih mentah buah nangka bisa disayur santan atau digudeg. Dua hal yang berbeda. Nangka muda biasa disayur santan dengan bumbu lengkap. Sedangkan gudeg lebih istimewa karena di dalamnya ada ayam, telur bahkan thethelan sapi. Dan rasa dan aromanya begitu mantab apalagi seandainya lebih banyak dipanasi, di lidahku terasa lebih enak saat ditambahkan dengan sambal krecek pedas.
Memiliki kebon di depan rumah yang luasnya nyaris seperti lapangan bola itu tentu saja melelahkan . Pekerjaan paling berat stas konsekuensi memilikinya adalah cabut rumput dan menyapu dedaunan yang gugur. Zaman dulu belum ada yang namanya obat semprot yang membuat rumput mati mengering.
Untuk menyapunya saja dibutuhkan waktu. Biasanya simbah mulai pagi sampai menjelang waktu matahari mulai terik. Dengan sapu lidi yang dibuat sendiri. Dipasangkan tongkat panjang agar tidak cepat lelah.
Hal yang membuatku terkagum adalah jejak yang ditinggalkannya. Bekas sapuan lidi dan jejak kaki tanpa alas yang mengikuti arah sapu lidi. Membentuk mozaik. Seperti sebuah mahakarya indah. Kala itu aku selalu ingin menirunya hanya saja aku tak pernah sanggup menyamai bekas kaki dan lidi simbah.
Jelas kebon simbah banyak nyamuknya. Seandainya masuk sama, simbah melumuri tangan dan kaki dengan minyak tanah atau membawa onthel yang dibakar. Ternyata cara tradisional itu efektif menghalau nyamuk, sebelum ditemukan obat nyamuk, lotion anti nyamuk dengan beraneka macam aroma.
Aku ingat, beberapa orang yang masuk kebonnya simbah mereka keluar membawa bahan yang bisa dimasak, sampai-sampai mereka bawa kayunya sekalian. Jadi di hari itu mereka bisa memasak untuk makan siang. Dan simbah dengan senang hati berbagi.
Bersandar di bawah pohon itu sangat nyaman. Angin semilir, suara ranting bergesek, hingga kepakan sayap serangga membuat terkantuk-kantuk. Hiburan yang ada adalah radio tua yang menyiarkan rri dengan musik khasnya menjelang berita. Sampai hari ini jika mendengar musik itu, terasa aku melompat ke tahun delapan puluhan. Saat HP, NB, internet belum ada.
Kisah sebelumnya: Ketika Ibuk Kecil: Sumur
Photo by Sandra Seitamaa on Unsplash