Bagi yang tinggal di Jakarta, tawuran bukan barang baru. Utamanya di masa saya duduk di SLTP. Kalau sekarang mungkin tawuran sudah terjadi di daerah-daerah luar Jakarta.
Saya bercerita tentang tawuran bukan berbicara tentang berita tawuran. Karena saya pernah terlibat tawuran. Ya, terlibat tawuran. Kok bangga ya? Tidak, saya tidak bangga. Cuma karena pernah mengalami, jadi bisa cerita.
Saya bersekolah di SLTP 8 di jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Teman-teman yang tinggal di Cikini, jalan Surabaya, daerah Manggarai, Matraman, tentu tahu dengan SLTP 8 ini.
SLTP 8 ini dekat dengan bioskop Metropole yang dulu bernama Megaria. Sekolah ini bertetangga (tepatnya satu komplek) dengan SLTP 9. Kenapa saya tidak langsung menulis satu komplek? Tahulah…. buat nambah-nambah kata yang kurang. Hehehe.
Kami sering tawuran dengan SLTP 9. Suasana terasa mencekam pada saat itu. Setiap murid –terutama yang laki-laki- akan berada dalam keadaan waspada bercampur rasa khawatir. Khawatir menjadi korban. Baju atau berbagai atribut yang menunjukkan asal sekolah semuanya dihilangkan. Karena bila baju sekolah masih beratribut, maka itu merupakan ancaman bagi yang mengenakannya.
Parang, balok kayu, rantai, batu dan segala sesuatu dapat dijadikan senjata. Kepala, tubuh dan kaki yang jadi sasaran. Muka jadi memar, kepala bocor, darah akan merubah beberapa bagian warna baju putih jadi merah. Itu yang biasa terjadi.
Sewaktu tawuran terjadi, maka salah satu sekolah dipulangkan terlebih dahulu. Biasanya sekolah kami yang dipulangkan terlebih dahulu. Karena SLTP 8 berada di lantai 1 dan 2, sedangkan lawan kami SLTP 9 berada di lantai 2 dan lantai 3. Sehingga tidak mungkin mereka yang berada di lantai 2 dan 3 dipulangkan terlebih dahulu. Sebab pasti mereka melewati lokasi kelas kami.
Pada saat di luar, maka aksi lempar batupun terjadi. Batu diarahkan ke jendela kelas-kelas SLTP 9. Biasanya batu yang digunakan paling kecil sebesar genggaman tangan. Tahu-tahu… Prang!! Kaca jendela kelas pecah.
Guru-guru dan para aparat akan sibuk saat itu. Gerombolan kami akan dibubarkan oleh mereka dan diperintahkan untuk segera pulang. Tapi biasanya kami tidak mau pulang. Kami akan membubarkan diri sesaat dan bergerombol kembali.
Setelah dewasa, terkadang teringat masa tawuran dulu dan membandingkan intifadah di Gaza.
Tekad dan keteguhan para pejuang di Palestina, sudah teruji. Walau dengan senjata seadanya, mereka terus mengadakan perlawanan. Dengan batu mereka menantang Israel.
Demikian pula ketika para siswa tawuran. Persenjataan yang ada di tangan adalah persenjataan yang seadanya. Mulai dari batu, ikat pinggang, balok kayu siap di tangan.
Begitulah kondisi tawuran pada umumnya. Tidak jauh berbeda dengan intifadah. Sama-sama mengadakan perlawanan dengan batu.
Suatu tindakan yang tidak dapat dianggap kecil. Sebab semangat dan sikap perlawanan terhadap penjajah harus tetap berkobar, walau hanya dengan sebongkah batu.
Tapi, apakah mungkin mereka yang terlibat tawuran dapat bersikap sama dengan para pemuda muslim Palestina? Semangat berkobar-kobar terhadap penjajah dan bukan terhadap lawan tawuran yang mungkin mereka juga muslim.
Saya pernah melempar pihak lawan dengan sebuah batu besar. Alhamdulillahnya batu itu tidak kena sasaran. Batu itu mengenai sebuah tiang. Coba bayangkan bila batu itu mengenai kepala lawan! Tentu kepalanya akan bocor. Bagaimana kalau lawan saya itu juga seorang muslim? Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh peserta tawuran dan perlu ditimbang-timbang oleh mereka yang ingin melakukan tawuran.
Biasanya yang ikut tawuran adalah mereka yang tidak tahu duduk permasalahannya. Bila ditanya, mengapa ikut tawuran? Apakah saudara dirugikan, sehingga saudara harus ikut tawuran?
Mereka akan menjawab, “Itu cuma karena rasa solidaritas saja. Saya sebenarnya tidak tahu permasalahan.”
Rasa solidaritas yang muncul ketika melihat teman terluka akibat tawuran akan lain ceritanya bila muncul ketika mengetahui saudara-saudaranya sesama muslim ditindas oleh orang-orang kafir.
Mereka marah, meradang dan ikut merasakan kepedihan yang dirasakan saudara-saudaranya. Bukankah rasa solidaritas dapat bernilai ibadah, bila ditunjukkan dengan rasa simpati terhadap nasib mengenaskan yang dialami oleh saudara-saudara kita sesama muslim?
Semoga jadi renungan.
Photo by Pawel Janiak on Unsplash