Siapa Tersangka Apa

Oleh Cicih M Rubii

Matahari tak bersinar. Hujan juga tidak turun. Udara dingin. 

Aku memandang keluar melalui jendela kayu.  Bau goreng ikan asin menyeruak. Mengaduk-aduk perutku. Lapar. 

Bergegas kurapikan seragam  yang kukenakan. Atasan putih tulang, hampir mendekati krem. Bawahan rok merah pudar. Tampak kebesaran.

Baju ini milik kakak pertamaku, dipakai kakak keduaku, dan sekarang dipakai olehku. Oleh karena itu warnanya tidak putih cemerlang. Demikian juga dengan rok merah. Digunakan turun temurun.

“Ibu, aku berangkat ke sekolah” pamitku dari pintu kayu sambil memakai sepatu.

“Eh, masih pagi. Makan dulu! Ibu sudah bikin nasi goreng di tungku” jawab ibu sambil melanjutkan cuci piring.

Aku mengangguk, dan memang aku lapar. Bergegas mengambil nasi goreng buatan ibu. Nasi goreng warna putih, hanya berbumbu bawang merah. Tanpa lauk. 

Aku menikmati nasi goreng dengan duduk di atas bale-bale depan rumah. Tak boleh ada sisa nasi sebutir di piring. Aku melahap sampai bersih. 

“Ibu, aku  sudah habis makannya. Berangkat ya!” ujarku sambil mencium tangan ibu yang dingin.. 

Temanku, Saodah sudah menunggu di bawah pohon mangga. Lalu kami berangkat dengan berjalan kaki bersama-sama.

Meski mendung, di jalan ramai anak-anak berseragam sekolah. Ada yang merah putih, biru putih dan ada beberapa yang seragam abu putih. Bersenda gurau dengan riang. 

 “Main engklek yuk!” ajak Yuniah menyambut kedatangan kami di gerbang sekolah. 

“Boleh! Aku simpan tas dulu,” ujarku segera berlari ke kelas. Saodah membuntutiku dari belakang. 

Tak lama, kami kembali bergabung bersama teman-teman di halaman. Di sana anak-anak lain juga sedang bermain. Ada yang lompat tali, engklek, gobak sodor, bola sepak dan lain-lain.  Riuh rendah suara di pagi itu.

Teng…! Teng…! Teng…!

Bel berbunyi. Serempak anak-anak berlarian menuju kelas masing-masing. Duduk tertib di bangku kayu yang penuh banyak coretan. 

Tak lama kemudian ibu guru masuk, pembelajaran dimulai. Kami duduk mendengarkan. 

*** 

Bel istirahat, aku dan Saodah langsung menuju perpustakaan untuk mengembalikan buku. Jarak perpustakaan ke kelas tak terlalu jauh. Setelah buku diserahkan, aku dan Saodah beriringan kembali ke kelas. 

“Jajan cilok, yuk!” ajak Saodah sambil merapikan alat tulis yang masih berserakan di meja.

“ Euu… sebentar. Uangku kok gak ada, ya?” tanyaku gugup sambil mencari-cari. 

Dengan penasaran ku periksa kembali setiap saku baju, juga seluruh kantong tas. Kulongok loker meja,  juga tak ada. 

Kutatap Rudi dengan curiga. Anak yang terkenal nakal ini sedang membuat kapal-kapalan sendirian di kelas. Saodah membaca pikiranku, ikut melirik Rudi. Kami bertatapan. 

Apa jangan-jangan diambil Rudi? batinku kesal. 

“Rudi! Kamu ambil uang Rubi?” tanya Saodah mendekat sambil menggebrak meja Rudi. 

“Eh, uang apaan? Mana aku tau!” jawab Rudi marah. 

“Alah, ngaku aja! Kamu kan satu-satunya yang ada di kelas ini,” sahut Saodah sambil menarik kapal-kapalan yang sedang dipegang Rudi. 

Rudi berang. Dicengkramnya krah baju Saodah.Wajahnya merah padam. 

“Sudah… sudah! Yuk kita main ke halaman,” ujarku ngeri. 

Aku tarik tangan Saodah sekuat tenaga dan menyeretnya meninggalkan kelas. Aku takut mereka berkelahi. 

 “Paling juga diambil Rudi. Siapa lagi?” ujar Saodah sambil ngos-ngosan. 

 “Sudahlah. Yuk kita minta minum ke Bi Sopiah. Aku haus!” ajakku mencoba melupakan kejadian tadi. 

Kami tak pernah ada yang membawa bekal minum. Jika haus, kami minta minum ke rumah-rumah yang ada di sekitar sekolah. 

Suasana  istirahat sangat ramai. Hampir semua anak bermain di halaman. Aku dan Saodah memilih duduk-duduk di taman sambil mengingat-ingat uang jajan yang hilang. 

“Kalau kamu mau jajan, pergilah. Aku di sini saja,” ujarku mempersilahkan Saodah. 

“Rubii, sini!” Tiba-tiba Ibu Guru melambaikan tangan memanggilku. 

Aku dan Saodah mendekat. Kulihat ayah duduk di motor vespa biru. Di sebelahnya ada Ibu Guru. 

Melihat Ayah di sekolah, hatiku berbunga-bunga. Senang bukan kepalang. 

 “Rubii, ini uang jajannya. Tadi  buru-buru, jadi tertinggal ya?” tanya Ayah tertawa. 

Aku dan Saodah saling pandang. Terbayang wajah Rudi yang tadi sangat marah.  

TAMAT


Photo by Allef Vinicius on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *