Oleh Lisvy Nael
Di masa depan, aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu hanya dengan diriku. Tanpa pikiran-pikiran yang susah diajak diam. Melepaskan pikiran-pikiran yang terus berkelana tak bisa diam. Lebih banyak menghabiskan waktu seperti dulu, membolak-balikkan buku, dan membolak-balikkan tubuhku saat membaca buku.
Katanya, membaca buku akan membantuku meningkatkan daya ingat. Barangkali, termasuk mengingat-ngingat kenangan yang tidak pernah kubuat? Sebagaimana masa lalu yang kuhabiskan untuk tidak membuat atau sekadar terlibat. Ya, masa lalu adalah tempatku bergeming hanya melihat. Dipenuhi ketakutan untuk mencoba dan membebaskan diri. Dari prasangka-prasangka yang kuternak di dalam kepala. Kuberi makan dengan berikat-ikat keraguan. Yang bertumbuh menjadi kepandiran.
Seperti kataku kemarin, masa depan adalah masa lalu yang terlampaui. Sementara masa kini tak lebih dari masa lalu terdekat. Sedangkan kenangan, bisa jadi antara kenangan terdekat dan paling berjarak. Jadi, bisakah aku menciptakan masa lalu baru dengan masa lalu lampau yang sudah terlewat?
Di tengah lamunanku, seekor lumba-lumba mendekat. Dengan bahasa yang tak kumengerti selain sebagai pekikkan, Ia tersenyum ke arahku. Mencipratkan air agar aku tak mengabaikannya. Karena dengan panggilan-panggilannya, aku masih sibuk dalam pusaran pekiranku.
“Apa yang sedang kau lakukan?” Ia bertanya dengan wajah ceria.
“Hm… mungkin aku sedikit tersesat,” jawabku.
“Ah… ke mana arah yang hendak kau tuju?” tanyanya sambil berenang berputar-putar pelan.
“Aku menuju masa depan, tapi aku tak pernah menjumpainya. Lagi-lagi aku berhenti di masa lalu,” kataku dengan nada rendah. Tampaknya, aku terlalu bingung berada di tengah samudera sementara kompasku rusak, bintang pun tak bisa kuandalkan untuk menavigasi. Bukan mereka tak bisa, aku yang tak mampu membaca tandaya.
“Kalau begitu, kau sudah benar. Masa depan adalah mitos yang diciptakan para pendahulumu. Mereka menciptakan sebuah tanah harapan, sebuah pulau yang penuh dengan keindahan dan hal-hal manis, tetapi tempat itu sebenarnya tidak pernah ada. Setidaknya, tempat bernama masa depan itu tidak adak.” Ah… kenapa cerewet sekali lumba-lumba ini.
“Terus kenapa kau bilang arahku sudah benar padahal pulau masa depan katamu hanyalah omong kosong belaka?” Aku mulai terlihat antusias dan sedikit kesal. Bagaimana mungkin lumba-lumba berparuh putih itu mengatakan dua jawaban yang bertolak belakang sekaligus.
“Iya, masa depan memang tidak ada. Tapi kalau kau bilang tersesat di masa lalu, artinya kau berada di jalur yang tepat.” Jawaban si lumba-lumba belum memuaskanku. Aku masih tidak tahu maksudnya.
“Hm… mungkin aku dulu terlalu banyak meninggalkan kelas bahasa, tetapi sepertinya aku tidak terlalu bodoh untuk memahami sebuah kalimat. Namun, tak ada satupun ucapanmu yang kupahami. Aku curiga kau sedang menipuku,
“Sederhana saja. Apa yang kau lalui akan menjadi masa lalu, bahkan masa depan itu sendiri. Kau perhatikan, sekarang sekitar tengah hari. Padahal tadi pagi, siang ini masih menjadi masa depan. Aku adalah masa depan yang kini bersiap menjadi masa lalu.”
“Itulah yang kumaksud! Aku tersesat! Sudah kucoba menyusuri samudera luas ini menuju masa depan, tetapi aku berhenti di masa lalu.” Kali ini aku tampak bodoh, dan lumba-lumba itu tetap tersenyum dengan matanya yang semakin terlihat sipit karena semakin lebar tawanya.
“Mungkin kau perlu melanjutkan perjalananmu supaya kau mengerti apa yang kumaksud.” Setelah mengatakannya, si lumba-lumba pun berenang ke arah kebalikanku. Ia melambaikan sirip dan ekornya seperti kucing yang sedang kegirangan. Mungkin juga dia kegirangan? Ah, sudahlah.
Pembicaraanku dengan lumba-lumba tampak bodoh. Aku menyadari sejak awal aku sudah menyimpulkan, tetapi Ia datang mengacaukan kesimpulanku sendiri. Masa depan adalah ciptaan masa lalu. Ketika kita membuat dan melakukan sesuatu, itu akan mengantarkan kita pada titik di depan. Aku berlayar sejauh 500 kilometer, maka aku telah mencapai jarak masa depan yang sama dengan masa lalu yang kulewati.
Lantas, jika aku ingin menghabiskan masa tuaku dengan hanya membaca buku supaya ingatanku terpelihara, aku harus sudah memulainya sejak saat ini juga. Tapi, jika sekarang aku hanya membaca buku, kenangan apa yang akan aku ingat selain kisah-kisah yang kubaca dari buku-buku itu. Tidak bisakah aku melakukan keduanya, membaca sekaligus berlayar menuju masa depanku?
Ah… lagi-lagi perihal waktu membuatku tampak bodoh. Aku sepertinya harus belajar pada seseorang tentang bagaimana membaca waktu. Karena jika kuhabiskan waktu untuk membaca, barangkali aku tidak akan sampai ke mana-mana, bahkan masa lalu.
Photo by Ben White on Unsplash