Ketika Bapak Pergi

Oleh Tyasya

Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, aku memang lebih sering bertemu dengan Ibu dan Bapak. Apalagi jarak usia diantara kami —aku dan saudara— cukup jauh. Jadilah sehari-hari aku menikmati dimanja oleh Ibu dan Bapak. Bapak adalah pensiunan Kepala Sekolah SD —tentu saja bukan sekolah Ibu. Saat aku kecil, kalau Bapak pergi ke mana, pasti diajak. Termasuk ikut kampanye salah satu partai yang pada masanya wajib dipilih oleh PNS.

Sering juga aku diajak menonton karnaval tujuh belasan di Kota Kabupaten. Saat itu biasanya waktunya aku bisa jajan yang tidak biasa. Aku benar-benar menikmati masa itu. Meskipun tentu saja ada kekurangannya, aku tidak dekat dengan Kakak-kakakku. Namun, itulah hidup, bukan? Selalu ada kekurangan diantara kelebihan.

Kenangan terakhirku tentang Bapak adalah saat beliau menjemputku sepulang sekolah. Akan tetapi saat itu aku masih ada ujian praktik, akhirnya Bapak menunggu cukup lama. Beliau menunggu di ruang Kepala Sekolah. Entah kenapa saat itu beliau bisa menunggu di sana. Selesai ujian, aku segera keluar dan menemui Bapak. Aku takut Bapak marah karena lupa bilang kalau pulangnya akan terlambat.

“Pak, maaf ya, Tya lupa bilang kalau hari ini ada ujian. Bapak jadi nunggu lama, deh,” kataku.

“Ndak apa-apa, Nduk. Ayo kita pulang. Kamu belum makan, kan?” jawab Bapak.

Suatu waktu, ada teman lelaki yang mendekatiku. Aku ingat pesan Bapak, tidak boleh pacaran sebelum kerja. Akhirnya aku mencari-cari alasan untuk menghindari temanku itu. Kalian pasti mengerti seberapa dekatnya aku dengan Bapak. Begitu dekat hingga saat beliau pergi duniaku serasa runtuh. Aku masih ingat dengan jelas kejadiannya.

Beberapa waktu setelah Bapak menjemputku, beliau jatuh sakit. Awalnya kami pikir sakit biasa saja. Namun tak kunjung sembuh. Akhirnya Ibu memutuskan membawa Bapak ke rumah sakit. Sepulang sekolah aku akan langsung ke rumah sakit menemui Bapak. Aku berdoa semoga Bapak segera sehat dan bisa pulang ke rumah secepatnya. Saat itu aku berpikir setiap doa akan langsung dikabulkan, maka terus kupanjatkan setiap waktu.

Satu hari Ibu bilang padaku, Bapak akan dibawa ke rumah sakit yang ada di Yogyakarta. Aku diminta meminta maaf kepada Bapak. Aku berpikir, kenapa harus minta maaf, ya? Aku hanya berpamitan saja kepada Bapak, dan berkata semoga lekas sembuh tanpa meminta maaf. Setelah Bapak dirujuk, aku ke sekolah naik sepeda lagi. Hari Jumat itu, biasanya aku tidak pulang karena ada Pramuka di sekolah. Akan tetapi entah kenapa siang itu aku pulang ke rumah.

Aku sedang mencuci saat teman Bapak datang ke rumah. Beliau mengabarkan kalau Bapak sudah meninggalkan dunia ini. Kami sekeluarga belum punya telepon atau handphone saat itu. Jadi infonya dikirim melalui teman Bapak. Mendengar itu aku langsung menangis. Aku sama sekali tidak menduga Bapak akan pergi. Padahal aku sudah berdoa, kenapa tidak dikabulkan?

Bapak, maafkan aku, ya. Al-Fatihah buat Bapak.


Photo by Jason Strull on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *