Kepalan Tangan Pisang Ambon

Oleh Dwina

“Meskipun kamu perempuan, tetap harus bisa bela diri, Nduk. suatu saat nanti kamu akan pergi jauh, jauh dari kampungmu, mungkin ke kota besar di mana kamu akan bertemu banyak kepala yang tidak akan dapat kamu prediksi, tempat di mana terdapat orang-orang yang terpaksa sehingga mereka berbuat jahat. Tak ada siapapun yang kamu kenal di sana, sehingga  kamu harus bisa bertahan sendiri.”

Kalimat sakti dari ibu yang membuatku selalu semangat. Di tengah terik matahari jam dua siang, kukayuh sepeda ontelku menuju lapangan tetangga desa, tempat latihan bela diriku. Cukup jauh untuk seorang anak berusia 13 tahun. Sendirian!

Kala itu, masih banyak orang-orang kampungku yang tidak suka dengan apa yang aku dan keluargaku lakukan. Tak jarang, aku mendengar cibiran dari mulut tetangga-tetanggaku. 

“Anak perempuan kok dibiarkan ikut pencak silat, mau jadi apa? Kalau tidak segera dikawinin pasti bikin masalah itu nanti.”

Dalam hatiku, selama orang tuaku mengizinkan maka aku sudah berada di jalan yang benar. Beruntung saat itu aku dibesarkan di tengah keluarga yang open minded, meski terhadap anak perempuan mereka selalu mendukung dengan kegiatan-kegiatan kami. 

Di saat anak-anak tetangga cukup berpendidikan hingga tingkat sekolah dasar, maka keluarga kami bisa sampai SMA. Meski harus ngekos karena jarak sekolah puluhan kilometer jauhnya, tetap saja ibu, bapakku, dan juga kakek nenekku mendukungku.

Hal itu juga berlaku dengan kegiatan ikut seni bela diri, mereka mendukung penuh. Mereka ikut senang jika aku mempunyai teman yang  banyak. 

Bagi keluargaku, tanah luas habis untuk membiayai anak cucu sekolah tidak apa-apa. Menurut mereka, hanya ilmu yang dapat membuat seseorang hidup dengan sejahtera. Generasi penerus harus lebih baik.

Kembali kepada latihan pencak silatku. Ada ciri khas yang membuatku disegani di ranting latihan bela diriku yaitu kepalan tanganku yang besar dan kuat. Siapa yang kena pukul bisa meringis dan meninggalkan bekas berhari-hari.

Aku dianugerahi telapak tangan yang tak biasa. Di mata orang, ini terlihat seperti sebuah kelemahan karena anggapan orang pada umumnya seharusnya tangan seorang perempuan haruslah kecil, panjang-panjang dan lembut gemulai. Berbeda dengan tanganku, menurutku tangan kuat ini adalah ciri tangan pekerja keras. Tangan yang membawa banyak rezeki. Tangan yang siap mengarungi hidup sesulit apapun.

Memang sih, ada juga yang bilang tanganku ini sebesar pisang ambon. Sekilas aku tersinggung, akan tetapi biarlah mereka berceloteh seperti itu, toh niatku tak akan goyah meski mereka ribuan kali mengatakannya. Mereka punya hak untuk berpendapat. Aku tetap bangga dengan tangan-tangan gemukku.

Suatu saat di tempat latihan, setelah pemanasan dengan lari putar lapangan sepak bola sebanyak tiga putaran penuhnya, rol depan dan rol belakang yang bolak-balik kami lakukan hingga kami lupa dengan hitungan. Berbagai macam bentuk tendangan masing-masing dua puluh kali banyaknya, berbagai macam bentuk pukulan masing-masing dua puluh kali. Biasanya, kami akan bersiap untuk sabung. Kami akan diadu, diajarkan bagaimana cara bertarung dengan musuh.

Pelatih yang sedang bertugas menunjukku untuk maju. Seorang anak laki-laki lebih tinggi badannya melebihiku juga maju. Aku terdiam sejenak, berusaha mencerna situasi. Bagaimana bisa aku akan diadu dengan lelaki yang tenaganya bahkan terlihat tiga kali lipat diriku?

Aku diam saja, berharap semua baik-baik saja. Mudah-mudahan aku bisa mengatasinya karena dari sabuknya, sepertinya Ia tak akan sesulit yang kubayangkan karena tingkatannya masih berada di bawahku.

Salam permulaan telah kami lakukan. Pelatih sudah memberi aba-aba. Dengan cepat kami saling serang. Pukulan dan tendangan kadang mengenai dan kadang luput. Sesaat setelah musuhku menendang dengan kaki kanannya, aku punya kesempatan merangsek ke depan, kepalan tanganku kuayunkan ke beberapa titik di dada dan salah satunya tepat mengenai ulu hatinya.

Dia mundur, terhuyung, meringis memegangi dadanya. Ia terlihat kesulitan bernafas. Tepat sebelum dia terjatuh, seorang pelatih dengan sigap menahannya, memapahnya keluar arena. Dia segera diberikan pertolongan pertama. Terlihat berisiko, tapi inilah cara untuk membekali diri dengan keterampilan hidup.

Pelatih memberi aba-aba agar aku mundur dan duduk kembali. Permainan dihentikan. Aku bisa melihat lelaki yang menjadi teman lawanku tadi masih meringis, menahan rasa sakit yang kutimbulkan di ulu hatinya. Aku khawatir dengan kondisinya. Sebenarnya aku tak mau menyakitinya. Akan tetapi permainan tetaplah permainan. Apa yang kami harus lakukan hanya bertahan atau menyerang. Ketika di arena, kami hanya mempunyai dua opsi: menang atau kalah. 


Photo by Raychan on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *