Lima tahun setelah aku lahir ibu masih menjadi tulang punggung keluarga, meski ayah telah mendapat pekerjaan tetapi penghasilan yang didapat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Oleh Wulandari
Ditambah saudara yang pertama yang seharusnya menjadi tumpuan harapan keluarga justru mengecewakan kedua orang tuaku. Seharusnya Yuk Sep lebih fokus pada pendidikan SPG-nya kala itu sekolah SPG setara dengan kuliah pendidikan, agar kelak bisa menjadi guru atau pegawai pemerintah tapi karena dibutakan cinta akhirnya yuk Sep menikah dan melupakan cita-citanya menjadi guru.
Nasi sudah menjadi bubur meski kecewa ibu tetap berharap semua anak-anaknya sukses, tidak hidup menderita.
Ketika saudara yang nomor empat memutuskan ingin merantau ke Jogjakarta untuk menimba ilmu ibu hanya bisa menangis, berpikir ke mana harus mencari uang untuk biaya kuliah kakak. Akhirnya Kak Toto memutuskan mencari kerja terlebih dulu untuk meringankan biaya yang harus ditanggung oleh ibu.
Kehidupan kami masihlah serba kekurangan, hasil panen sayur mayur tidak mencukupi sehingga membuat ibu dan ayah beralih profesi menjadi peternak ayam potong. Tempat tinggal kami juga pindah bukan lagi di kebun jauh atau Bukit Hantu tapi pindah ke tempat yang lebih dekat dengan desa.
Di kebun Bukit Hantu benar-benar jauh dari pemukiman sehingga masih banyak binatang liar seperti babi hutan, ular sanca yang panjangnya bisa lima meter dan besarnya mencapai seukuran paha orang dewasa serta Beruk jenis monyet tanpa buntut dan berbulu hitam. Hal itulah yang membuat kedua orang tuaku memutuskan untuk pindah.
Saudara nomor satu dan dua sudah menikah, sedangkan saudara nomor lima dan enam sudah bekerja setelah tamat SMA meski masih serabutan setidaknya mereka bisa membantu meringankan beban ibu.
Setiap akan berangkat ke sekolah maka ibu dan ayah akan membangunkan aku dan saudara nomor enam jam tiga subuh untuk bersiap. Karena jarak ke sekolah dan kebun sangat jauh, jika pulang sekolah kami harus berjalan kaki membantu ibu memberi makan ayam potong atau mengerjakan PR sekolah.
Bagi kami mendapat uang saku setiap hari seperti teman-teman yang lain hanya impian semata.
Kami tak pernah mengeluh karena kami tahu pengorbanan dan perjuangan ibu, asalkan biaya SPP sekolah setiap bulan dibayar kami sudah bersyukur.
Jika musim buah biasanya aku dan Yuk Len memilih mencari buah-buah liar dihutan seperti kemunting, rukam, jambu utan dan jambu monyet atau mete nantinya buah-buah itu akan diikat atau dibungkus untuk dijual. Saat istirahat sekolah tugasku menawarkan pada teman-teman buah-buahan yang kami petik hasilnya lumayan untuk ditabung.
Jika tidak ada buah yang dijual aku akan menawarkan diri untuk membeli jajanan di warung bagi teman-teman yang malas berdesakan, biasanya mereka akan memberi upah beberapa biji dari jajanan yang dibeli atau uang rp.25 perak.
Karena kondisi ekonomi keluarga kami, aku termasuk anak yang sering di risak secara verbal dengan kata-kata yang menyakitkan. Tak jarang mereka mengataiku kondisi tubuhku yang seperti orang busung lapar dengan perut buncit dan mata seperti mau keluar ‘Sri mata cebok’ karena mataku mirip burung hantu. Selain itu mereka juga terkadang mengataiku ‘Sri telinga congek’ karena jika aku sakit atau demam maka telingaku sering keluar darah beserta nanah berbau busuk.
Terkadang aku ingin berhenti sekolah jika sudah mendapat perlakuan seperti itu, setiap aku menangis mengadu pada ibu atas perlakuan teman-teman sekolah maka ibu akan menasihati dan menghiburku.
Kata-katanya yang sampai sekarang masih terus kuingat. ‘Biarkan mereka menghinamu jangan kau balas, ingatlah Tuhan tak pernah tidur dan Ia akan membalas semua perlakuan mereka nanti.’
Karena motivasi dari ibu aku memilih diam jika dihina dan terus belajar agar tidak menyusahkan kedua orang tuaku. Aku percaya Tuhan akan membalas semua perbuatan mereka selama mereka tidak merisak secara fisik tidak mengapa.
TBC
Kisah sebelumnya: Kasih Ibu Sepanjang Masa (1)
Photo by Tanaphong Toochinda on Unsplash