Oleh Sri Rita Astuti (Lembayung Senja)
Sungai kapuas telah begitu akrab dengan kehidupanku sejak kecil, satu episode kehidupan masa kecilku kuhabiskan di tepiannya. Walaupun terlahir sebagai anak perempuan tetapi aku lebih suka bermain dengan teman lelaki. Sifat menjelajah yang mendarah daging sejak kecil membuatku seperti Si Bolang tempo dulu. Bermain di tepiannya, berenang dari ujung rakit hingga ke seberangnya. Loncat dari gertak rumah ataupun perahu motor yang banyak tertambat di tepian kapuas bukan hal yang aneh. Bercanda dengan teman-teman di atas sampan sambil saling menyiram air hingga sampan oleng lalu berakhir dengan terbaliknya sampan dan kami semua tercebur ke dalam sungai yang kami sambut dengan tawa riang khas bocah yang seakan tiada habisnya.
Sifat tomboyku tak hanya sampai di situ, tak jarang kuikuti teman lelakiku berburu ikan dengan joran joran dari bambu yang berumpankan belalang ataupun cacing yang ditempatkan dalam wadah plastik bekas sabun colek merk B 29 almarhumah ibu. Tak sedikitpun ada rasa jijik ataupun geli melihat cacing saling bercumbu di dalam wadah (jangan tanya kalau melihatnya di masa sekarang😬😬).
Kuikuti kemanapun teman teman lelakiku berburu ikan, memancing dari atas gertak, di sela sela hamparan rakit batang pohon milik perusahaan kayu lapis yang biasanya berjajar di tepuan sungai Kapuas, Di atas sampan yang terkadang bocor maupun di atas titian dari sebatang pohon hingga nangkring di cabang pohon yang menjorok ke arah sungai kapuas😀😀
Tak hanya ikan udang-udang Kecil yang biasanya bersembunyi di bawah rumpun tumbuhan air pun selalu menjadi incaranku dan teman teman. Biasanya kami lakukan pada saat air surut. Di parit depan rumah. Saat itu di gang tempat tinggalku ada sekitar 10 rumah berdiri di sepanjang tepian parit. Dan rumahku terletak paling ujung di tepian kapuas. Parit merupakan tempat untuk mandi dan mencuci warga satu gang. Bisa dibayangkan air parit menjadi keruh karena kegiatan kami mencari udang. Efeknya para ibu yang ingin beraktifitas di parit marah marah sambil menunjuk ke arahku dan teman teman.
Biasanya kami hanya akan tertawa dan menanggapinya. Tetapi bila pak Ali seorang lelaki yang dituakan di gang marah karena tidak bisa mandi. Kami akan segera berlarian Ke tepuan keluar dari parit. Karena pak Ali suka membawa sebatang rotan dan tak segan mengejar lalu menyembatkannya ke kaki kami. Alhamdulillah aku tak pernah merasakan pedasnya rotan menyentuh tubuh kecilku.
Pengalaman yang paling seru pengalaman pertama menyeberangi sungai kapuas dari tepian yang satu ke tepian yang lain di kelas 5 SD. Berlomba dengan beberapa teman bahkan beberapa orang yang usianya jauh di atas kami. Tak ada rasa takut ketika itu. Tapi mala petaka justru datang ketika pulang ke rumah dan dengan bangganya menceritakan kepada Ibu bagaimana putri sulungnya ini telah begitu kuat dan berani berhasil berenang menyeberangi kapuas bolak balik dengan baik baik saja.
Alih alih bangga ibu malah marah besar, beberapa cubitannya yang sakitnya melebihi sakitnya capitan kepiting singgah di pahaku. Bahkan ibu mengikat kaki dan tanganku dengan tali dari sobekan kain panjang dan mengancamku tidak akan melepaskan ikatan hingga malam, sedari kecil aku lebih takut kepada ibu daripada kepada Bapak. Bapak jarang sekali marah dan tak pernah memukul atau mencubitku. Berharap pujian malah hukuman yang kudapat dari ibu.
Semua itu jadi kenangan indah dari lembaran cerita masa kecilku. Kapuas is my waterboom.
Sungai Raya, 07072021
Photo by Csongor Schmutc on Unsplash