Jugijag Gijuk Kereta

Oleh Siti Atikah (Atik)

Kereta Api. Itu dulu ketika bahan bakarnya masih menggunakan bahan bakar batu bara dan di atap lokomotifnya mengeluarkan asap yang mengepul. Kini namanya berganti menjadi Commuter Line dan bahkan ada model terbaru yang baru saja melintasi Lebak Bulus – Sudirman sejak Maret 2019 lalu, MRT (Moda Raya Terpadu), karena kereta ini dijalankan dengan energi listrik. 

Dulu, setiap naik kereta api banyak kehidupan beragam ada di dalamnya. Mulai dari penumpangnya yang mengandalkan transportasi ini untuk mencapai tempat kerja hingga beraneka pedagang yang menjajakan dagangannya kepada para penumpang. Ada juga pengamen tunggal, dynamic duo, bahkan band dengan berbagai genre musik dan kualitas vokal yang mengiringi perjalanan di atas kereta. Hadir juga para peminta sumbangan, baik yang murni maupun yang ala-ala, kita tak mampu untuk membedakannya. Belum lagi muncul pengemis dari yang anak-anak sampai yang renta. Semua menumpuk dan memenuhi gerbong kereta api pada masa kecilku dulu. 

Ada beberapa hal yang kuingat tentang menaiki kereta api. Pertama, aku kecil yang sering kali naik kereta ke rumah Nenek dan Mbah dari Stasiun Bekasi – Stasiun Jatinegara bersama Buya, ayahku, seringkali gerimis turun saat kami baru saja sampai di stasiun. Tak ayal, yang saat itu jarak dari turun gerbong ke area untuk menaiki angkot sekitar 5 – 7  menit jalan kaki, Buya pasti mengikatkan sapu tangan lebarnya di kepalaku. Supaya nggak pusing terkena air hujan katanya. Padahal setelah kupikir-pikir sekarang, nggak ngaruh juga, ya, karena tetap saja basah. Tapi, itulah bentuk perlindungan seorang ayah terhadap anaknya. Aku terharu. Lain halnya jika naik kereta dengan Umi, ibuku. Umi pasti membeli permen asem dan jahe yang penjualnya sering ada di atas gerbong kereta yang kami tumpangi. Jajanan sederhana itu selalu membuatku dan adikku kegirangan. Bahagia buat kami sesederhana itu dulu.

Kini, Commuter Line dan MRT tak seperti kereta api, hanya berisi penumpang meskipun masih dari beragam jenjang ekonomi. Meski sudah tak lagi dipenuhi dengan penjual, pengamen, maupun pengemis, transportasi massal ini selalu saja disesaki oleh para penumpangnya pada jam-jam sibuk. Meskipun sudah ada gerbong khusus perempuan dan tercetak tulisan di sepanjang gerbong tentang kesediaan hati untuk memberikan tempat duduk bagi yang lebih membutuhkan (wanita hamil, lansia, wanita membawa anak kecil, difabel, dan… ada lagi nggak ya, yang saya missed di sini?), sayangnya tingkat kepedulian dan kesadaran dari setiap individu hadirnya berbeda-beda. 

Pernah suatu kali saat baru memiliki si sulung, aku sekeluarga naik Commuter Line dari Bekasi ke Jatinegara saat lebaran. Saat itu gerbong sudah penuh karena banyak yang sudah naik sebelumnya dari Stasiun Kranji. Hanya tersisa 2 tempat duduk yang dapat kuberikan untuk kedua orangtuaku dan si sulung yang dipangku oleh ibuku. Di dalam gerbong banyak berdiri penumpang lainnya yang menggandeng atau menggendong anak, padahal di sekeliling banyak penumpang muda yang asyik duduk bercengkrama satu sama lain. Tak terlihat di antara mereka berkenan memberikan kursinya bagi mereka yang menggandeng atau menggendong anak-anak kecil itu.

Seorang rekan kerjaku di sekolah yang harus menempuh jarak Bogor – Jakarta dengan Commuter Line pun sering mengatakan bahwa sangat jarang ia menemukan kepedulian memberikan tempat duduk bagi yang membutuhkan. Bahkan saat ia hamil pun, di gerbong khusus wanita, jarang sekali ia ditawari tempat duduk oleh penumpang lainnya. Hhhhh… sedih rasanya melihat dan mengetahui fakta ini.

Bangsa Indonesia padahal lahir dengan semangat kebersamaan dan persatuan. Dalam mencapai kemerdekaan dulu pun rasa kebersamaan inilah yang menjadi tumpuan perjuangan bangsa. Kini, jika melihat dari segi kondisi transportasi umum saja, rasa kepedulian terhadap sesama mulai luntur, maka tak aneh jika ribut-ribut antara dua kubu dalam setiap pesta demokrasi kerap kali terjadi. Semua seperti memiliki arogansi dan pembenarannya masing-masing, padahal kita masih satu bangsa. Apakah modernisasi serta kemajuan teknologi begitu membawa pengaruhnya terhadap perubahan rasa kebersamaan dalam diri bangsa ini? Entahlah…. Meskipun aku percaya masih banyak juga di antara kita yang memiliki rasa kepedulian dan kebersamaan yang abadi terhadap sesama, seperti yang kini dalam kondisi pandemi terjadi. Bahu membahu saling menolong kebutuhan sesama yang terdampak Covid-19 adalah salah satu cara agar kita bisa melalui badai pandemi yang entah kapan akan berakhir. Semoga saja.

7 Juli 2021

Hari ke-2, Lock Down Writing Challenge, Books4care, Kinaraya.com

#atikberbagikisah

IG : atikcantik07


Photo by Thomas Evans on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *