Ganepo: Permainan Favorit di Masa Kecil

Oleh Etika Aisya Avicenna

Masa kecil adalah masa di mana keceriaan menjadi rona keseharian. Ada tawa, canda, kenakalan, meski terkadang diwarnai tangis meski tak lama bertahan. Masa kecil identik dengan masa bermain. Banyak permainan di masa kecil dulu yang masih terkenang hingga sekarang. Sayangnya, permainan-permainan masa kecil itu sudah mulai ditinggalkan, terkalahkan oleh permainan modern termasuk game online yang memang lebih disukai di era digital saat ini.

Semasa kecil, aku dan saudari kembarku sering bermain dengan kakakku dan kawan-kawannya yang sebagian besar laki-laki. Bisa dibilang si kembar kecil dulu memang agak tomboy. Ada satu permainan unik yang masih aku ingat sampai sekarang. Permainan itu bernama ganepo.

Ganepo adalah permainan tradisional yang biasa dimainkan oleh 3-7 orang. Inti dari permainan ini adalah setiap orang berusaha untuk merobohkan tumpukan pecahan genteng yang terbuat dari tanah liat dengan menggunakan senjata berupa lempengan batu. Sebelum memulai permainan, kami membuat dua garis pembatas. Pertama, garis pembatas yang berbentuk melingkar yang melingkupi tumpukan pecahan genteng. Garis lingkaran ini sebagai batasan tidak diperbolehkannya senjata pemain masuk ke daerah sasaran. Biasanya lingkaran yang dibuat berdiameter 30-50 cm. Kedua, garis pembatas sebagai titik awal pemain melempar senjata mereka. Biasanya sepanjang dua meter dari tumpukan pecahan genteng yang akan dijadikan sasaran tersebut. Semua pemain berdiri di belakang garis. 

Permainan dimulai ketika salah seorang pemain memberi aba-aba, “satu… dua… tiga…” kemudian semua pemain melemparkan senjatanya ke arena permainan. Kalau sampai ada pemain yang senjatanya masuk ke dalam garis lingkaran, maka lemparannya diulang karena itu berarti jarak tembakannya terlalu dekat dengan sasaran. Saat semua senjata sudah berada di arena permainan, pemain yang senjatanya jatuh paling dekat dengan sasaran bisa mengawali permainan dengan melemparkan senjatanya ke arah sasaran.

Orang yang berhasil merobohkan tumpukan pecahan genteng tersebut, berarti ia mengalahkan pemain berikutnya. Pemain yang kalah harus menata tumpukan pecahan genteng tadi. Saat menata tumpukan, pemain yang kalah menghitung dari satu sampai sepuluh sedang pemain yang lain bersembunyi. Seperti halnya petak umpet, pemain yang kalah harus mencari pemain yang bersembunyi. Sedang pemain yang bersembunyi berjaga-jaga agar tempat persembunyiannya tidak diketahui oleh pemain yang kalah. Saat pemain yang kalah berhasil menemukan pemain yang tengah bersembunyi, maka ia harus berlari menuju tumpukan genteng yang sudah disusunnya. Ia harus menyentuh tumpukan itu sambil menyebutkan nama pemain yang ia temukan persembunyiannya dan berteriak “ganepo”. Begitu seterusnya, berlaku pula untuk pemain yang lain.  

Nah, saat pemain yang kalah dan berjaga itu tengah berusaha menemukan salah satu pemain, pemain yang bersembunyi dapat menjadi penyerang. Saat menyerang, mereka berusaha menjatuhkan kembali tumpukan genteng yang sudah disusun pemain yang kalah. Jika ia berhasil menjatuhkan kembali tumpukan genteng itu, misal dengan menggunakan kakinya, maka pemain yang kalah tadi kembali menata ulang tumpukan genteng tersebut dan mulai menghitung dari satu sampai sepuluh. Pemain yang lain bersembunyi kembali. Begitu seterusnya. 

Akan tetapi, saat keluar dan bermaksud merobohkan tumpukan pecahan genteng tersebut tetapi ternyata lebih dahulu diketahui oleh pemain yang kalah, maka pemain yang keluar itu menjadi kalah dan ganti berjaga, menghitung sampai sepuluh, dan pemain yang lain bersembunyi kembali. Saat semuanya sudah ditemukan, maka permainan dimulai lagi dari awal.

Demikianlah sekelumit cerita tentang permainan ganepo. Sayang sekali, permainan ini sudah jarang dijumpai. Anak-anak sudah dilenakan dengan munculnya beragam permainan modern yang beberapa di antaranya ternyata membahayakan bagi mereka, tak hanya secara fisik, tapi juga secara psikologis. Oleh sebab itu, hendaknya orang tua harus ekstra hati-hati dalam memilihkan sarana permainan bagi anak-anak dan meningkatkan pengawasan saat buah hati bermain dengan teman-temannya.  


Etika Aisya Avicenna

Terlahir kembar pada 2 Februari. Saat ini berprofesi sebagai statistisi (ASN). Senang membaca, menulis, jualan online di @supertwinshop, dan jalan-jalan. Ada puluhan karya anggota FLP DKI Jakarta ini yang sudah diterbitkan baik solo, duet, maupun antologi, seperti: “The Secret of Shalihah”, “Diary Ramadhan”, “Dongeng Nyentrik Alesha”, dan lainnya. IG:  @aisyaavicenna 


Photo by MI PHAM on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *