Aku melangkah keluar dari kamar. Koridor sepi. Hanya ada jemuran yang tergantung di ujung-ujung atap. Seekor kucing oranye tertidur nyaman di sudut. Kelihatannya nyaman, membuatku mengantuk. Namun, ini masih sore, bukan waktu yang baik untuk tidur.
Aku menarik napas dalam-dalam, memasukkan oksigen sebanyak-banyaknya ke paru-paru dan otakku. Kepalaku pening sejak tadi memikirkan hal yang menurutku tidak masuk akal. Benar-benar tidak masuk akal. Bahkan, tidak pernah terlintas dalam pikiranku tentang itu.
Kak Fitri menghampiriku saat jam istirahat tadi. Wajahnya marah. Aku juga bingung kenapa dia seperti itu. Padahal, kami sangat jarang berinteraksi. Dia sudah SMA, dan aku tidak punya urusan dengannya. Meski begitu, aku tetap mengikutinya ke kebun samping kelas.
“Kamu apa-apaan?!”
Apa-apaan? Aku diam, tidak paham maksud kata-katanya.
“Aku nggak nyangka kamu suka sama aku.”
Heh? Suka? Astaga, dari mana dia bisa berkesimpulan begitu? Bisa-bisanya hal seperti itu terlintas di otaknya. Membuat perutku serasa diaduk-aduk saja!
“Maaf, aku masih suka sama cowok.”
Ya, aku juga! Haqqul yaqin aku suka cowok, meskipun satu sekolah ini isinya cewek semua selain beberapa guru. Apa kakak kelasku yang cantik jelita itu tengah terserang demam tinggi sampai otaknya sedikit bergeser?
“Jadi, jangan pernah buat cerita tentang aku lagi!”
Perutku masih terasa diaduk-aduk, tapi kini ada geli-gelinya. Aku ingin tertawa, tapi wajah Kak Fitri benar-benar serius, seakan memintaku melayani kemarahannya. Untuk apa? Dia yang gede rasa kenapa jadi aku yang harus bertanggung jawab?
Sepenuh hati aku yakin sebabnya karena buku tulisku yang berisi cerita tersebar. Sejak diary-ku dibacakan di depan umum saat aku kelas satu dulu, aku memutuskan menulis curhatku dalam bentuk fiksi. Tokohnya bernama Fitri. Awalnya semua baik-baik saja, sampai beberapa hari lalu saat aku tidak menemukan buku itu di rak.
Sekadar informasi, aku sudah naik kelas dan berada di kamar yang berbeda dengan saat aku kelas satu dulu. Teman sekamarku kini bukan lagi teman-teman seangkatan dengan satu ketua kamar, melainkan berasal dari kelas berapa pun. Ketua kamar ditetapkan dengan cara musyawarah, bukan lagi ditunjuk oleh guru. Kehidupan di kamar ini terasa berbeda karena lebih berbaur.
Hal yang sama antara kamarku yang dulu dengan yang sekarang adalah tingkat kekepoan warganya. Kalau dulu buku diary-ku yang menjadi obyek, sekarang buku tulis. Entah dari mana mereka tahu aku menulis kisah di buku itu. Aku selalu menaruhnya di rak bersama buku lain agar tidak mencurigakan.
Dua hari lalu buku itu raib. Berdasarkan pengalaman di kelas satu dulu, aku tahu buku itu tidak mungkin menghilang dengan sendirinya. Aku hanya perlu menunggu sampai ada yang membahas. Benar saja, malamnya, sembilan orang penghuni kamarku membicarakan kisah di buku itu. Tentu dengan bumbu ledekan yang tertuju padaku.
Awalnya, aku tidak ingin ambil pusing. Toh, aku tidak menuliskan secara terang-terangan. Jika ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa, mungkin hanya kebetulan. Aku pikir, teman kamarku juga hanya memuaskan rasa penasarannya pada buku itu. Namun, perkiraanku benar-benar salah.
Kemarin, saat beli jajan di kantin, aku mendengar beberapa orang membahas ceritaku. Obrolan-obrolan usai salat jamaah di masjid juga membahas. Beberapa orang kasak-kusuk saat melihatku. Aku pikir, ya sudahlah jika memang mereka ingin membahas. Lebih baik lagi jika mereka ikut menulis kisah mereka juga supaya tidak sibuk dengan cerita orang lain.
Lalu? Pagi ini aku dilabrak Kak Fitri karena buku itu? Oh My Godness!
“Ini peringatan pertama buat kamu. Kalau kamu masih buat cerita tentang aku, aku lapor ke Dewan Guru,” ucap Kak Fitri sambil menyipit-nyipitkan matanya.
Dia berlalu tanpa bicara lagi atau mendengarkan pembelaan diriku. Gayanya anggun. Di perayaan awal tahun ajaran ini dia dinobatkan sebagai Putri Sekolah. Tapi, hei, secantik dan seanggun apa pun dia, aku tidak mungkin tertarik!
Lagipula, orang bernama Fitri di sekolah ini bukan cuma dia. Dari dua ribu siswi, tiga ratusnya bernama Fitri. Apa ini baru awal? Kemudian, Fitri-Fitri lain akan bergantian melabrakku?
Aku pikir, urusan sudah selesai seiring dia beranjak dari hadapanku. Namun, tidak juga. Desas-desus mulai terdengar kalau aku menyukai Kak Fitri. Ada yang melihat saat kami di kebun samping kelas, lalu menyebar isu kalau aku meminta Kak Fitri jadi pacarku tapi ditolak.
Lagi-lagi, aku menghirup udara dalam-dalam. Huh, aroma sabun cuci! Tatapanku mengedar ke lapangan kecil antara asramaku dengan asrama sebelah yang sebenarnya masih dalam satu atap. Rombongan teman kamarku melintas, membawa tentangan berisi bakso. Mereka menghilang di belokan tangga.
Bruk! Bruk! Bruk!
“Woy, naik tangganya biasa aja!” teriakku, sekadar menggoda.
Sosok orang yang naik tangga sambil menghentak-hentak kaki itu muncul. Membuatku terdiam dan merasa terancam secara fisik dan mental. Itu bukan teman kamarku! Itu Kak Ayi dan Kak Nurul, kakak kelas sembilan yang terkenal senang membully siswi kelas delapan. Tubuh mereka kecil, tapi tatapan mereka saat ini setajam silet. Teman-teman kamarku yang muncul semeter di belakangnya menatapku horor.
“Ra, gak usah balik ke kamar. Kamu dicariin Kak Ayi,” ucap Hanifa, yang menemuiku di masjid usai salat Isya.
Lingkungan masjid nyaris sepi. Semua murid sudah kembali ke asrama masing-masing. Hanya sedikit yang masih berada di sini. Umumnya, mereka yang menyandang status murid pintar. Di atas sajadah, mereka asyik membaca buku pelajaran dan tidak akan terusik oleh bising apa pun. Obrolan Hanifa denganku tentu tidak akan mereka gubris.
“Seriusan?”
“Iya, kayaknya gegara kejadian tadi sore sama tadi pagi.”
Tadi pagi? Masalah sama Kak Fitri, maksudnya? Kenapa jadi Kak Ayi yang ribet?
“Nginep di kamarku aja,” tawar Chika, teman akrabku. Aku biasa ke masjid bersamanya dan sering menghabiskan waktu usai salat Isya untuk berbincang sampai diusir pengurus masjid.
Aku tidak langsung menjawab. Asrama Chika berada di gedung Sevilla lantai dua. Di sudut lantai dua itu ada kamar nomor sembilan yang seluruh penghuninya kelas sembilan. Bukan rahasia lagi kalau kamar itu terkenal sebagai ruang penyiksaan anak kelas delapan. Tidak ada yang berani mencegah, pun tidak ada yang berani melaporkan pada Dewan Pengawas Asrama. Padahal, korbannya sudah banyak.
“Kamu takut ketauan? Gampang, biar jadi urusanku,” tambah Chika.
Oke, aku sepakat menginap di kamar Chika. Hanifa berjanji akan membawakan peralatan sekolah dan seragamku besok pagi saat salat Subuh, sehingga aku tidak perlu kembali ke kamar dulu.
Aku merasakan suasana yang mencekam. Selama ini aku hanya mendengar dari teman-temanku yang lebih dulu dikejar-kejar kakak kelas sembilan dan dibawa ke kamar sembilan. Bukan hanya mental yang mereka serang, tapi juga fisik. Hanifa dibawa ke situ bulan lalu. Dia cerita kalau di kamar itu dia dipperbabukan. Esok harinya dia demam tinggi sampai harus dijemput pulang ke rumah oleh keluarganya.
Angin malam terasa makin dingin saat aku menuju kamar Chika. Kawasan asrama masih ramai. Kantin masih dipenuhi murid yang ingin menghabiskan uang mereka. Bangku-bangku taman pun ramai dengan murid-murid yang masih ngobrol sambil makan jajanan.
“Chika, kan dia belok,” ucap Marni, teman seasrama Chika. Matanya melirik ke arahku.
“Aku balik ke kamar aja deh, Ka!” ucapku, tidak nyaman dengan situasi ini. Aku tahu makna ‘belok’ yang Marni ucapkan.
“Jangan! Ntar malah ditangkap Kak Ayi.” Chika menarikku masuk ke gedung asramanya.
“Ntar malah kamu ikutan dituduh belok.”
“Yang penting aku nggak kayak begitu.”
Malam itu terasa panjang. Mataku sulit terpejam, begitu juga Chika. Bukan karena kami berbagi kasur yang sempit, tapi karena kakak kelas sembilan berkali-kali mengetuk pintu kamar Chika. Beruntung Chika memiliki ketua kamar sebaik Kak Nova. Meski Kak Nova juga kelas sembilan, dia tidak memberitahukan keberadaanku.
“Kok nyari ke sini?”
Ucapan Kak Nova di pintu terdengar jelas di telingaku, sejelas aku mendengar degup jantungku sendiri. Tempat tidur Chika di sisi atas ranjang tingkat di pojok kamar ini cukup menguntungkan. Chika menggantung selimut, dan baju di pagarnya untuk menyembunyikanku. Meski begitu, dia tidak bisa menyembunyikan teriakan, caci maki, dan bunyi pukulan yang datang dari kamar sembilan.
“Di kamarnya nggak ada.”
“Kok nyari ke sini?” ulang Kak Nova.
“Ada yang liat dia sama Chika di masjid.”
“Chika nggak ke masjid, lagi nggak salat.”
“Aku cari di mana, dong? Si Ayi udah marah-marah mulu. Kesel banget kayaknya.”
“Masalah apaan, sih? Dari tadi ada aja yang bolak-balik nyari ke sini.”
“Yang gosip dia nembak Kak Fitri.”
Aku saling lempar tatapan dengan Chika. Kami sama-sama bingung kenapa masalah itu dipermasalahkan oleh Kak Ayi. Otakku berusaha berpikir lurus. Kakak kelas sembilan itu memang suka mengurusi apa pun meski bukan urusan mereka. Namun, tidak aku pungkiri juga otakku berpikir negatif.
“Orangnya nggak ke sini. Bilangin juga deh ke temen-temen, jangan ketok-ketok lagi. Anak kamarku udah pada tidur. Kasian kalo kebangun karena kalian.”
Telingaku menangkap suara pintu ditutup dan dikunci. Lapu kamar memang tidak dimatikan karena tidak ada yang suka tidur gelap-gelapan. Suara Kak Ayi dari kamar sembilan masih terdengar menggelegar. Namun, setidaknya, untuk malam ini aku aman. Besok, aku akan menelepon ke rumah dan minta jemput. Mentalku sedang tidak baik-baik saja.