Cerpen Virgin Tirta Putri: Darius

Suara kencang itu menukik menusuk telingaku, seperti suara sinyal telepon yang terbelah dan melengking. Aku tahu hanya aku yang mendengarnya. Karena orang-orang di sekelilingku masih nampak nyaman mengobrol dan bertukar kabar. Aku tahu suara itu hanya berputar-putar di indera pendengaranku. Aku mengernyit sedikit karena suara itu begitu nyaring dan mengganggu. Namun aku buru-buru mengembalikan ekspresi wajahku. Mama selalu berpesan bahwa aku harus selalu menjaga perilakuku. Apalagi di depan teman-teman arisannya.  

Walaupun kepalaku terasa seperti berdenging tapi aku masih bisa mendengar obrolan yang sedang berlangsung di sekitarku. Tante Ratih salah satu teman mamaku, duduk di hadapanku. Aku tersenyum ramah padanya sambil menunduk sedikit menunjukan sopan santunku. Tante Ratih tersenyum lebar membalasnya. 

“Avi sudah kelas 3 SMA, ya. Enggak kerasa ya, Gimana, nih Jeng? Mau dinikahin langsung, nih?” ucap Tante Ratih pada mamaku yang disusul dengan suara cekikikannya. 

“Iya masa langsung nikah, Jeng?” tawa Mama. “Avi sekarang sedang persiapan buat tes sekolah Kedinasan,” sambungnya.

“Oh iyaya, kalau Avi sih pasti lulus, ya. Dari dulu Avi selalu pinter, loh. Juara satu terus di Sekolah. Enggak kayak anakku itu loh, si Erik. Aku tuh ya Jeng, udah sampai berbuih nyuruh dia belajar. Niru Avi gitu biar sekolahnya pinter. Tapi gimana ya? Mungkin anak cowok sama anak cewek agak beda caranya,” timpal Tante Ratih. 

“Ah, enggak Jeng itu tergantung kitanya aja didik anaknya gimana” balas Mama. Walaupun berusaha menyembunyikannya. Namun aku bisa melihatnya dengan jelas sunggingan kecil di ujung bibir mama. Dan air mukanya yang langsung cerah sekaligus nada bicaranya yang semakin ringan. Jadi aku tahu dalam hatinya tengah mengembang rasa bangga yang tak terkira. 

Aku tahu harusnya aku senang karena mamaku membanggakan aku di depan teman-temannya. Bukankah itu artinya aku bisa membahagiakan orang tuaku walaupun sedikit. Bukankah itu artinya aku sudah agak berhasil menjadi anak yang bisa dibanggakan orang tua seperti impian anak pada umumnya. Namun semakin ringan hati mama, semakin berat hatiku.  Aku tahu, aku tidak harusnya merasa seperti ini. Hatiku terasa semakin jatuh seiring dengan pembicaraan mereka yang berpusat pada prestasi-prestasi dan persiapanku untuk masuk sekolah kedinasan. Mereka membicarakanku seakan aku tidak ada di sana. 

“Psst… sstt.. . Avi… Avi.” 

Oh tidak, jangan dia, jangan sekarang. Sama seperti suara denging yang saat masih membuat kepalaku pusing. Suara satu ini juga tidak bisa di dengar orang lain selain aku. Karena sudah cukup sering mendengarnya. Membuatku semakin familiar dengan suaranya dan aku tidak suka itu. Aku tidak suka mendengar suara satu ini. 

“Avi… Avi, aku tahu kamu bisa mendengarku.” 

Aku berusaha mengabaikan suara tanpa sosok ini. Sebisa mungkin mempertahankan ekspresi tenangku dan sesekali aku mencoba tersenyum. 

“Ah, jangan mengabaikan aku begitu. Apa otot wajahmu tidak lelah? Hmm… apa kamu mau kubuatkan topeng supaya kamu tidak perlu repot menutupi wajah gusarmu?” lanjut suara itu. 

Obrolan para ibu-ibu sudah tidak tertangkap lagi olehku. Kombinasi suara denging, suara orang berbicara, dan suara tanpa sosok itu membuat kepalaku sakit tak tertahankan lagi. Aku mencolek lengan mamaku udah meminta perhatiannya. Butuh beberapa kali sampai akhirnya mama menoleh ke arahku dan bertanya ada apa.

“Avi ke kamar dulu ya, Ma,” izinku. 

“Loh, ada apa? Ah, kamu mau lanjut belajar lagi, ya?” balas mamaku. Wajahnya cerah sekali ketika menyebut kata belajar. 

Aku mengangguk terpaksa, “Avi ke Kamar dulu ya, Ma,” lanjutku. 

Mama mengiyakan, aku kembali ke kamar dengan diiringi pandangan kagum dan sekali lagi pujian dari teman-teman arisan mamaku.

Tentu saja, aku masuk ke kamar bukan untuk lanjut belajar. Tubuhku langsung roboh di atas kasur busa single berseprai biruku. Aku memejamkan mataku, suara denging itu berangsur menghilang dan aku bisa merasakan rasa pusing di kepalaku pun berkurang. Namun sayangnya, ada satu yang tidak hilang. 

“Hayoo, kamu bilang akan belajar, kan? Kok malah tiduran? Anak nakal!”

Aku membuka mataku dengan kesal dan langsung terduduk di tempat tidur. Suara itu sudah tidak menjadi suara tanpa sosok lagi. Tidak jauh dari tempat tidurku, aku bisa melihat seorang pemuda seumuranku berdiri sambil berkacak pinggang. Posenya mengingatkanku pada Jesicca, gadis di masa SMP-ku yang selalu mem-bully-ku dan membuatku ketakutan setengah mati untuk pergi ke sekolah. Sebelum akhirnya Mama sendiri yang menyeretku untuk masuk sekolah lagi dan aku tidak punya pilihan lain selain berhadapan dengan bully-an Jesicca.

Aku sebenarnya sudah tidak terkejut lagi dengan keberadaannya di sekelilingku. Walaupun jujur saja aku sudah lupa, kapan makhluk menyebalkan yang tidak jelas asal-usulnya ini menjadi bagian dari hidupku. Aku bahkan tidak ingin repot-repot memikirkannya karena aku harus belajar. 

Namun keberadaannya dari hari ke hari semakin mempengaruhiku. Suaranya menjadi semakin menyebalkan dan semakin mudah emosiku terpancing olehnya. Aku tidak ingin mendengarnya, tapi sekalipun aku sudah menutup telinga dan mataku. Kata-katanya tetap terdengar di telingaku, seakan dia tinggal di dalam otakku bahkan di setiap sel di dalam tubuhku. 

Entah sejak kapan aku memutuskan untuk menamainya. Aku panggil dirinya Darius. 

“Diam! Diam!” balasku setengah membentak. 

“Kau tahu, aku tidak bisa diam kalau hatimu gelisah terus seperti itu,” balasnya enteng. “Aku adalah isi hatimu.”

“Bukan! Kamu hantu, kamu halusinasi!” 

“Ckckckck,” decak Darius sambil menggeleng-geleng kecil. “Kamu dengar di luar sana? Orang-orang itu sedang membicarakan betapa hebatnya kamu. Avina Putri. Dari SD tidak pernah gagal dapat posisi 3 besar di Kelas bahkan di sekolah. Juara di puluhan lomba, pemenang olimpiade Ilmu Pengetahuan, anak cantik, anak pintar, penurut. Sempurna,” lanjutnya sambil melangkah mendekati tempat tidur. 

“Tapi aku tahu,” ucap Darius, mata kami bertemu. Dia menatapku dengan mata hitam penuh kekosongan. “Kamu tidak seperti itu. Kamu hanyalah alat mama kamu. Aku tahu jika kamu kehilangan semua itu. Jika kamu tidak ranking satu lagi. Jika kamu tidak berhasil masuk sekolah kedinasan. Kamu bukan siapa-siapa lagi.”

“Hentikan!” aku menutup telingaku dengan sia-sia. Karena suara Darius malah semakin berdengung dalam telingaku. “Kamu cuma alat,” satu kalimat itu sudah cukup untuk membuatku menangis sampai akhirnya aku tertidur karena terlalu lelah.


Aku terbangun ketika hari sudah mulai petang. Aku bisa mengetahuinya dari warna oranye lembut dan langit keunguan yang terlihat dari jendelaku. Waktunya untuk aku berangkat les, batinku. Belum sempat aku mengumpulkan kesadaranku secara penuh. Aku sudah dikagetkan dengan suara pintu yang terbuka. 

“Avi, sudah waktunya les,” ucap mama dari balik pintu yang belum sepenuhnya terbuka. Aku hanya mengangguk membalasnya. “Ayo, kamu kok males-malesan gitu, sih? Tadi belajar, kan?” sambung mama, aku mengangguk lagi. “Kok enggak ada buku di meja kamu? Kamu tidur ya tadi, enggak belajar?”

Aku bingung harus menjawab apa, karena aku tidak pintar berbohong, diam saja menjadi alternatif yang paling tepat untukku. Mamaku mendesah, “Kamu itu jangan malas-malasan, enggak ada anak malas yang masuk sekolah kedinasan….” 

Sebenarnya ceramah mamaku masih panjang. Namun kesadaranku tidak cukup untuk menyerap suaranya. Tapi aku tidak khawatir, biasanya mama selalu membahas hal yang sama, bahkan menggunakan kalimat-kalimat yang sama. Kalimat seperti tidak ada anak malas yang masuk sekolah kedinasan. Aku harus berusaha lebih keras, aku jangan sampai lengah dan tentu saja, jangan sampai aku gagal. 

Sekitar 5 menit ceramah mama baru berakhir, mama akhirnya menarik selimutku semakin tanda agar aku cepat bergegas mandi sebelum berangkat les. 


Sebelum masuk kelas, aku melihat anak-anak lain berkumpul di depan tempat pengumuman di depan kelas. Aku segera bergabung dengan mereka. Karena aku tahu yang tertempel di sana ada hasil try out yang diadakan kemarin. Tidak perlu berdesak-desakan terlalu lama aku akhirnya menemukan namaku. Yang sayangnya, urutan nomor 4. Tubuhku langsung membeku. Aku tidak pernah berada di urutan nomor 4. Mulai rangking di Kelas sampai ranking di satu sekolah aku selalu 3 besar. Aku tidak pernah mendapatkan juara harapan ketika ikut lomba. Dan sekarang peringkat ke-4. 

Aku segera memisahkan diri dari kerumunan itu, buru-buru memasuki kelas yang masih sepi. Aku terduduk dengan lemas. Tanpa alasan jelas aku mulai merasa kedinginan dan mengigil. Kenapa aku di peringkat 4? batinku. Aku tidak boleh di peringkat 4, aku tidak boleh gagal. Bagaimana bisa aku di peringkat 4? Apa aku lengah? Apa ada yang terlewatkan? 

“Kamu tidak akan bisa,” aku mengangkat wajahku dan menemukan wajah sombong Darius di hadapanku. “Kamu tidak akan bisa, Avi. Coba beritahu mamamu kalau kamu peringkat 4. Kamu tidak akan berani. Kamu tidak akan bisa,” ucap Darius. Nadanya begitu dingin, begitu sinis. Sesuatu dalam lubuk hatiku mulai mengiyakan kata-katanya. Sepertinya memang aku tidak bisa. 


Seperti kata Darius, sepulang les, aku tidak punya nyali untuk memberitahu mama. Tapi mama pasti akan tahu. Anak-anak teman mama satu les denganku, mereka akan memberitahu ibu mereka peringkat yang mereka dapatkan sekaligus memberitahu ibu mereka kalau aku cuma peringkat 4. Lalu mereka akan memberitahu mamaku. Kemudian aku tidak berani membayangkan apa yang terjadi selanjutnya. Bagaimana kalau Darius benar? Tanpa peringkat itu, tanpa prestasi itu, aku bukanlah siapa-siapa bagi mamaku. Bahkan aku bukan siapa-siapa bagi siapapun. 

 Aku termenung di depan meja belajar setelah makan malam. Mama selalu mengingatkanku untuk mereview pelajaran setiap malam agar aku benar-benar paham. Aku juga harus menyelesaikan latihan soal. Aku tidak boleh lengah. Tapi hari ini aku tidak mampu melihat buku latihan soalku. Angka-angka dan soal-soal terlihat berenang-renang di atas kertas, bahkan aku bisa mendengarkan setiap angka dan alfabet di buku itu menertawakanku karena aku tidak bisa menyelesaikan mereka. 

Aku takut, batinku mengakui. Selama ini aku selalu berhasil tapi bagaimana jika kali ini aku gagal. Mungkin saja, kan karena aku selalu berhasil selama ini takdir akhirnya memberiku satu kegagalan. Toh, kata orang tidak ada jalan yang sepenuhnya mulus. Bagaimana jika kali ini aku gagal? Apa mama akan marah? Tentu saja, tidak, kan? Itu hanya satu kegagalan tidak akan sebanding dengan pencapaianku selama ini. Lagi pula aku ini anaknya, mama menyayangiku. Dia pasti tidak masalah walaupun aku gagal sekali. 

“HAHAHAHAHAHA,” tawa menggelegar itu membuatku terkaget. Tentu saja itu, suara Darius, aku tidak melihat ke arahnya. Namun aku bisa merasakan keberadaannya yang berdiri di belakangku. “Kamu tahu apa yang dilakukan pada alat yang tidak berguna lagi? Dia akan dibuang! Jika tidak berguna, dia akan dibuang.”

“Tapi aku bukan alat,” sanggahku dengan suara gemetar. “Aku anak mama, aku putrinya. Mama tidak akan membuangku. Dia tidak akan kecewa kalau aku hanya gagal satu kali”.

“Oh iya, kalau begitu coba beritahu dia. Coba beritahu dia kalau kamu peringkat 4.” 

Tubuhku langsung membeku mendengar balasan Darius. 

Dia tertawa semakin renyah, “Kamu tidak berani, kan? Kamu pasti takut, kamu takut karena kamu akan dibuang jika gagal. Karena kamu tidak boleh gagal.”

Tubuh mulai gemetaran dan air mata mengalir tanpa bisa kukendalikan. Darius benar, aku memang takut. 

“Bagaimana kalau kita buktikan, Avi? Kita uji, apakah kamu anak mamamu atau hanya alat baginya,” lanjut Darius. 

Ucapannya ini membuatku berbalik menghadapnya. Aku merasa ada yang berbeda dari Darius hari ini. Entah mengapa, ia terasa superior dan aku merasa sangat kecil di hadapannya. Tubuhnya terlihat lebih menjulang dari biasanya, ekspresinya semakin aneh dan nada bicaranya semakin dingin. Aku merasa, dia begitu dipenuhi dengan kegelapan.  

“Coba katakan padanya, kalau kamu peringkat 4 di try out kali ini. Kemudian katakan padanya kalau kamu tidak mau masuk ke Sekolah Kedinasan. Kamu tidak ingin belajar dan kamu ingin istirahat. Coba katakan padanya.”

“Aku tidak bisa,” jawabku lirih. 

“Kalau begitu, benar kamu cuma alat,” timpalnya. 

“Tidak!” sanggahku buru-buru. “Aku tahu, aku tahu kenapa mama begitu? Karena baginya aku adalah anaknya satu-satunya. Setelah papa meninggalkannya, papa punya kehidupan baru dan keluarga baru. Dia hanya ingin menunjukan pada papa kalau kita bisa bertahan tanpa dia…”

“Kalau dia dan kamu juga bisa bahagia,” lanjut Darius. “Sungguh, alat pembuktian yang sempurna.” tawa Darius. 

“Tidak, mama cuma..”

“Tidak ingin kalah dengan papamu,” lanjut Darius. 

“Bukan! Bukan begitu,” sanggahku. “Mama menderita karena dia ditinggalkan. Siapa yang tidak menderita kalau ditinggalkan orang yang dicintai, kan? Mama cuma berusaha sebisa mungkin agar aku bisa punya masa depan yang baik. Ini semua demi diriku sendiri”.

“Kalau begitu coba tanyakan, demi dirimu sendiri,” tandas Darius. Malam itu, aku tidak mengerjakan satu soal pun. Aku tertidur dengan pikiran kalut diiringi dengan suara Darius yang terus-terusan mengingatkanku. Aku hanyalah alat. 


Sudah aku duga, tanpa aku beritahu mama akan tahu kalau aku cuma peringkat 4 di try out kemarin. Terbukti dengan aku yang sepulang sekolah tanpa sempat berganti pakaian langsung diseretnya ke ruang tamu. Tentu saja, untuk diceramahi dengan topik yang sama bahkan dengan kalimat-kalimat yang sama. 

“Kamu tidak pernah seperti ini sebelumnya? Kamu kenapa Avi? Apa kamu tidak mau berhasil?” tanya mama di akhir ceramahnya. 

Aku tidak bisa menjawab, tidak perlu menjawab. Pertanyaan-pertanyaan itu hanya retorisme yang jika aku menjawabnya. Malah akan menyulut kemarahan mama yang pastinya tidak sanggup kutanggung sekarang. Jadi aku hanya diam dan mama terus-terusan melemparkan pertanyaan-pertanyaan retoris itu. 

“Sudahlah, masuk ke kamarmu sana lanjut belajar di try out selanjutnya mama tidak mau lihat hasil yang seperti ini.”

Dengan gontai aku melangkah ke arah kamar, sebelum masuk ke dalam kamar aku berbalik dan memandang mama yang masih berdiri dengan perasaan kesal. 

“Ma….” panggilku, membuat mamaku menoleh ke arahku. “Kalau misalnya aku tidak lulus ujian sekolah kedinasan, bagaimana?”

“Omong kosong, kalau kamu pasti bisa. Kamu harus bisa, kamu tidak boleh gagal sekarang,” jawab mama. Aku berbalik dan masuk ke dalam kamarku. 

Aku langsung berbaring di kasur. Tanpa merasa perlu berganti pakaian, bahkan tanpa merasa perlu menyalakan lampu. Setiap objek di pandanganku terlihat kabur dalam pencahayaan yang minim, kamarku terasa sunyi bahkan aku bisa mendengar bunyi detak jantungku sendiri. Di tengah kesunyian itu, aku mendengar suara Darius berbicara. 

“Apa kamu takut?” tanyanya. Aku mengangguk, walaupun gelap aku tahu dia tahu bahwa aku mengangguk. Karena Darius adalah aku, bagian dari diriku. 

“Apa kamu mau ikut aku?” tanyanya lagi. 

“Ke mana?” aku balik bertanya. 

“Ke tempat yang sangat-sangat jauh. Tempat yang tidak ada mamamu, tempat yang tidak ada sekolah kedinasan. Di tempat itu tidak ada tanggung jawab yang harus kamu tanggung, kamu boleh gagal ataupun berhasil sebanyak yang kamu mau.” 

Dalam kegelapan, aku bisa merasakan keberadaannya di mana-mana. Di sebelahku, di depanku, di belakangku bahkan di dalam diriku. Aku mungkin tidak bisa, aku mungkin tidak sanggup lagi, lebih jauh dari ini, lebih rusak dari ini. Kemudian aku kembali mengangguk sambil berkata dengan lirih. 

“Baiklah”.


Hari sudah sore dan sudah hampir waktunya Avi untuk berangkat les tapi sejak siang tadi Avi tidak keluar dari kamarnya. Mama Avi pun merasa Avi memang perlu waktu untuk sendiri agar bisa merenungi kesalahannya. Mungkin dia sedang menghabiskan waktunya untuk belajar lagi sehingga  dia membiarkannya di Kamar seharian. 

Seperti biasa, dia segera masuk ke kamar anaknya agar anaknya tidak terlambat berangkat les. Namun sepertinya Avi tidak bisa berangkat les, tidak di sore ini atau hari-hari yang lain. Suara teriakan tertahan di tenggorokan mama Avi. Kakinya melemas tidak sanggup menahan beban tubuhnya. Di tengah tangisnya dia memanggil nama anaknya lirih-lirih. Avi ada di atas sana, kakinya biru tergantung dengan tali putih mengerat lehernya. 


Photo by Marco Bianchetti on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *