Cerpen Lia Nathalia: Cerita untuk Mama

“Satu, dua, ngepyok… satu, dua, ngepyok… kamu kurang rendah posisinya,”

Instruksi-instruksi singkat campuran Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa menggema di aula itu, diiringi lamat-lamat suara gending Jawa yang entah apa isi syair dan artinya.

Bulir-bulir keringat berkejaran keluar dari pori-pori masing-masing yang ada dalam aula. Wajah-wajah tanpa senyum disentak oleh suara bu Endang,

“Ayo jangan cemberut, mana senyum kalian?”

Dongkol, kesal karena lelah tapi tak bisa berbuat apa-apa.

“Setidaknya, aku tak perlu mendengar ocehan mama di rumah. Tak ada salahnya kuturuti keinginannya. Nanti juga mama akan nyerah kalau akhirnya aku gagal,” batin Wiwik sambil tersenyum dalam hati, merasa menang dengan strateginya.

“Kamu cocoknya ikut les menari. Tak usah ikut-ikutan olah raga, main bola. Kamu anak perempuan, mau jadi apa nanti? Makin gosong iya,” kata mama suatu hari.

Mama tak bisa dibantah. Omongannya adalah perintah seorang jenderal. Tak akan ada yang mau membelamu, kalau pun ada kesempatan naik banding. Ibaratnya, semua pengacara akan memilih mundur sebelum bertarung di meja hijau dengan mama.

Bahkan papa tak bisa diandalkan dalam urusan ini. Papa hanya bisa menenangkan kami anak-anaknya di balik punggung mama dengan iming-iming liburan yang mengasyikan.

Ultimatum ikut les menari terpaksa kuterima dengan berat hati. Mama sigap. Sudah disiapkannya, selendang dan kain untuk persiapan les. Eittt, belum sampai di situ. Mama juga mensyaratkan tiap minggu Wiwik wajib luluran. Paket lengkap.

Niat mama bulat, mengubah putri semata wayangnya jadi perempuan yang benar-benar perempuan.

Bu Endang, selalu menganggap Wiwik cukup baik dalam latihan menari. Setidaknya itu yang disampaikan pada mama.

Wiwik pusing, mencari akal agar rencana mama gagal. Niat Wiwik, belajar bela diri. Fix. Wiwik ingin jadi kepala geng se-RW. Harus jago berantem, kalau tidak bisa kalah pamor nanti. Lawannya banyak, umurnya juga rata-rata di atas Wiwik dan mereka berpostur lebih besar. Latihan bela dirilah solusinya.

Pusing Wiwik cari akal. Sudah tiga bulan berlalu dan bu Endang sudah memasukkan nama Wiwik untuk tampil di sebuah acara, dalam tarian ciptaannya bersama tiga kawan lainnya.

“Bu, boleh saya bicara setelah latihan?” Wiwik mendekati bu Endang sebelum latihan hari itu dimulai. Bu Endang setuju. Singkatnya, Wiwik curhat, mengungkapkan kejengahannya berlatih menari, tapi tetap merahasiakan keinginan lainnya untuk belajar bela diri.

Entah apa yang disampaikan bu Endang pada mama. Mama akhirnya memutuskan, WIwik berhenti les menari. Hore… tinggal bagaimana Wiwik mencari jalan bisa ikut latihan bela diri, yang pastinya tak bisa disampaikan pada mama.

Nekat, sembunyi-sembunyi, adalah cara ampuhnya. Mama hanya geleng-geleng kepala, sambil sesekali mencubit Wiwik dengan penuh kasih, atau tertawa ketika anak perempuan semata wayangnya itu bercerita tentang masa-masa itu, sesaat sebelum mama menghadap Sang Pencipta.


Photo by Nico Wijaya on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *