Bergelimang Cinta di Asrama

Oleh Delfitria

Berbicara soal cinta tentu tidak hanya diberikan oleh lawan jenis, namun juga dari sang pencipta. Ibarat benih yang ditabur, cinta berperan sebagai pupuk agar tanaman tersebut dapat tumbuh besar dan berbuah banyak. Bahkan, ketika seseorang tidak bisa merasakan cinta dalam hidupnya, maka tidak ada lagi alasan untuknya tetap hidup. Cinta pada sang pencipta sejatinya seperti itu. Seluruh nafas yang diberikan oleh-Nya berkembang menjadi penguat diri kita menjadi lebih baik setiap harinya. Ya, aku menemukan penguat itu. Kekuatan untuk menjadi lebih baik setiap harinya. Kekuatan dari asrama. Aku menemukan cinta-Nya dari asrama.

Bangun pukul tiga pagi, berjalan sempoyongan menuju kamar mandi dan menggosok gigi menjadi ritual pagiku selama berada di asrama ini. Jika berkaca dari masa sebelum masuk asrama, mana pernah aku bangun pukul tiga pagi dan menggosok gigi! Bangun jam setengah enam pagi saja sudah sangat bersyukur. Seperti yang ku bilang tadi, kekuatan bangun pukul tiga pagi bukanlah kekuatanku melainkan kekuatan dariNya, dari Allah subhanahu wa ta’ala. Setelah habis subuh, aku dan teman-teman asrama lainnya melanjutkan doa pagi atau biasa kami sebut WBS (Waktu Berkah Subuh). Isinya sederhan, membaca dzikir pagi, beberapa lembar Al Quran sesuai target masing-masing hingga baca buku kesukaan pribadi. Barangsiapa yang tertidur setelah shalat subuh, merekalah orang-orang yang merugi! Keteraturan ritual pagi tersebut ternyata bisa dilakukan oleh aku yang sering kesiangan di kostan. 

Well, aku tidak pernah mendadak sakit setelah mengurangi waktu tidur demi bangun tahajud. Aku juga tidak pernah mendadak masuk angin ketika harus telat tidur karena menyelesaikan tilawah Al-Quran. Jika diingat-ingat masa itu, kekuatanku dari mana ya? Hidup berasrama sambil menjadi mahasiswa di fakultas psikologi, mengikuti rapat-rapat organisasi dan program kerja setiap malam, lalu terjaga dari tidur untuk mengerjakan tugas kuliah. Saat waktu menunjuk pukul tiga pagi semua mahasiswa asrama harus bangun dan gosok gigi.

Kata para pujangga, cinta artinya memberi. Love is Giving. Memberi waktu, tenaga, pikiran, bahkan materi yang kita punya. Rasanya saat di asrama, aku seperti mendapatkan banyak waktu, tenaga, pikiran hingga materi. Sampai waktu ku menulis ini, aku bertanya-tanya, siapa ya yang memberi semua hal tersebut kalau bukan Allah? Ya, berada di asrama yang memegang teguh prinsip islam memberikan kesempatan untuk mendapatkan kekuatan tersebut dari Allah. Sebisa mungkin yang kami lakukan adalah tidak menyalahi ‘idealisme kami’ yang setiap apel mingguan diteriakan oleh kami. Salah satu penggalannya seperti ini, 

“Tiada sesuatu yang membuat kami bersikap seperti ini selain rasa cinta yang telah mengharu biru hati kami, menguasai perasaan kami, memeras habis air mata dan mencabut rasa ingin tidur dari pelupuk mata kami,” – Idealisme Kami, Rumah Kepemimpinan. 

Semangat yang diteriakkan setiap minggu, memohon cinta pada sang Pemilik Hati ternyata memberikan kekuatan yang besar untuk diri sendiri. Hal-hal yang biasanya tak menjadi kebiasaan justru terasa ringan. Hal-hal yang tak mungkin dapat tercapai. Di titik akhir aku menulis ini, muncul sebuah pertanyaan refleksi. “Apa, ya, yang tidak ku miliki saat ini sehingga merasa berat untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan seperti saat di asrama?” 

Ya, cinta. Aku (mungkin saja) sedang kehilangan cinta-Nya yang dulu ada saat di asrama. Aku, harus kembali, memohon cinta pada-Nya. 


Photo by Roman Kraft on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *