Ayah

Oleh Agit Yunita

Tiga belas tahun hidup bersamanya, bagiku itu terlalu singkat. Teramat singkat hingga semuanya masih benar-benar terekam jelas dalam pikiranku. Mengenangnya dengan doa adalah yang harus aku lakukan selama dua puluh satu tahun ini hingga akhir nafasku. Ayah, aku selalu merindukanmu.

Laki-laki yang menikahi ibuku empat puluh tiga tahun yang lalu, adalah orang yang penuh tanggung jawab. Dia adalah segalanya bagi keluarga kami. Ibu, aku, dan dua kakak perempuanku merasa sangat beruntung menjadi yang selalu dia lindungi. 

Aku jadi ingat bagaimana cerita ibu tentang ayah yang mengejar cintanya saat remaja dulu. Begitu gigih menghadapi ibuku yang terlalu cuek. Untuk kemudian akhirnya mampu ia luluhkan. Aku tahu, ayahku memang memiliki cinta yang begitu besar. Bukan hanya untuk kami keluarganya tetapi juga untuk orang lain di sekitarnya.

Dia laki-laki yang menjadi cinta pertamaku di dunia ini. Aku selalu mendambakan memiliki pasangan hidup seperti dirinya. Walaupun setelah kepergiannya, aku baru sadar, sosoknya tak akan pernah tergantikan.

Dari semua kenangan manis yang tercipta semasa dia hidup. Yang tak pernah bisa aku lupakan adalah, bagaimana ia tetap memenuhi kebutuhanku hingga akhir hayatnya. 

Ya, pagi itu, seharusnya menjadi pagi yang paling menggembirakan. Bagaimana tidak, karena aku diterima di SMP yang ayahku inginkan. Sekolah yang sama dengan kedua kakakku. Di saat teman-teman sekolah dasarku sedang melaksanakan perpisahan sekolah dasar dengan berlibur ke Jakarta, aku memilih untuk tetap tinggal. Selain karena memang tidak memiliki biaya untuk pergi, juga karena memang aku tak terlalu ingin mengikutinya.

Sebagai gantinya, aku membantu ayahku yang kesehariannya membuka sebuah bengkel kecil di rumah, untuk menjual besi-besi bekas yang telah dikumpulkan oleh ayahku. Besi-besi yang sudah tak terpakai lagi dari mobil-mobil yang sudah ayah perbaiki, karena tentu saja onderdilnya sudah diganti dengan yang baru. Ayah menyuruhku menjualnya ke tukang rongsokan langganan yang selalu lewat di depan rumah. Dengan senang hati aku melakukannya, karena hasil dari penjualan besi-besi itu akan aku pakai untuk biaya pendaftaran masuk SMP.

Ya, itu perintah ayahku, yang aku tidak tahu, Itu adalah perintah terakhirnya. Karena tak berapa lama setelah tugas menjual besi-besi bekas itu selesai. Ayahku tiba-tiba saja merasakan sakit di dadanya. Tak lama kemudian ia sudah tidak sadarkan diri. Saat itu, yang berada di rumah hanya aku dan ibuku. Kami begitu panik. Aku menangis karena tidak mengerti apa yang terjadi. Aku hanya bisa berteriak memanggil ayah. Ibuku dengan berlari segera meminta pertolongan kepada tetangga. Dan ayah pun segera dilarikan ke rumah sakit.

Apakah memang kebahagiaan itu selalu berdampingan dengan kesedihan? Semudah itukah Allah membolak-balikkan waktu? Nyatanya memang seperti itu. Kedukaan seketika menyelimuti kami, saat ayah kembali ke rumah dengan diantar mobil jenazah. Ia terkena serangan jantung.

Uang hasil dari menjual besi-besi bekas itu masih kugenggam erat. Hatiku menolak jika itu harus menjadi uang saku terakhir darinya. Aku hanya ingin ayahku kembali. Namun jelas itu tidak mungkin. Delapan hari setelah ulang tahunnya di tanggal tiga Juli, ayah pergi dengan tenang.

Ini kehilangan pertamaku, patah hati pertamaku. Tak pernah terbayangkan aku akan tumbuh menjadi dewasa tanpa sosok ayah. Namun itulah kenyataannya. Aku harus terus melanjutkan yang dicita-citakan olehnya. Aku tak boleh larut dalam kesedihan karena harus menjadi kebanggaannya. 

Ayah terima kasih.

Bantul, 7 Juli 2021


Photo by Taylor Heery on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *