Oleh Windu Utami Surya Dewi
“Dulu di rumahnya simbah buyut ada 4 sumur.”
Kisahku diawali dari sumur. Sebuah kenangan masa kecil yang indah. Masa tanpa gedged dan listrik. Hanya ada alam dan alam. Emaknya yang bermain dengan sawah, sungai, kebon, dan ilalang. Membuat mereka selalu terpesona penuh keheranan saat emaknya mulai bercerita.
Seringkali meminta menceritakan bagaimana masa kecilnya dulu. Sesuatu yang juga sering kutanyakan sama Ibuk saat usiaku seperti mereka.
Seperti kembali ke masa lalu, dengan aku yang berada di dalamnya. Menanyakan ini dan itu penuh penasaran dan ingin tahu. Selalu ibuk yang mendongeng mengingat bapak bukan pendongeng yang fasih.
Sebuah tanda tanya tergambar di mata mereka. Mengapa serumah ada sumur sampai empat, sedangkan di rumahnya hanya ada sebuah sumur.
Sumurnya simbahnya ibuk, berarti simbah buyutnya mereka terletak seperti arah mata angin. Utara, selatan, barat, dan timur.
Sumur sebelah utara berada di dalam rumah. Digunakan untuk memasak
Masa kecilku sering menghabiskan waktu dengan sumur di dalam. Mandi dengan air yang ditimba langsung. Simbah uti selalu bilang air sumur itu hangat dan segar karena langsung diambil dari dalam tanah. Diambilnya air sumur dan diambil lagi air yang sudah ada di bak. Lalu memintaku mencelupan kedua tanganku di tempat berbeda. Ternyata benar, air sumur lebih hangat.
“Nek adus nganggo banyu sumur wae ben awakke seger.”
(“Jika mandi pakai air sumur saja agar badannya segar.”)
Memori masa kecilku sedikit mengingat saat simbah mengatakannya. Saat tubuhnya masih sangat sehat dan kuat.
Sumur sebelah barat, digunakan untuk siram-siram. Dulu di dekatnya ada pohon belimbing wuluh yang pohonnya tak pernah berhenti berbuah. Aku dan teman-teman suka sekali makan dengan garam. Wajah kami menjadi terlipat saat asam dan asin tercampur dengan enzim dalam mulut. Gelak tawa masa kanak-kanak yang indah, tanpa beban apapun dan terasa ringan.
Sumur sebelah selatan digunakan khusus untuk ngombor hewan peliharaannya simbah buyut berarti simbah cahnggahnya anak-anakku. Ibuk bilang dulu di jamannya simbah buyut memelihara kebo, sapi, dan kuda. Masa kecilku masih teringat simbah punya kandang sapi yang besar dengan model khasnya. Setiap pagi simbah kakung mengajakku ngombor sapi. Aku begitu terpesona dengan suara mulut dan isi dalam ember yang dihabiskan dalam sekejap.
Di sepanjang halaman terdapat pagar dari bambu yang ditanami murbei. Simbah uti sering membuat sayur santan dari daun murbei muda dan disuapkan padaku. Lidah kecilku sampai saat ini masih ingat bagaimana rasanya. Sedap, hangat, dan selalu ada cinta dalam setiap suapannya. Sesekali buah-buahnya dipetikkan untukku. Kombinasi warna merah, ungu, dan hitam. Rasanya perpaduan manis dan asam jadi satu. Buah mewah bagiku tentu saja.
Sedangkan sumur terakhir di sebelah timur, jaman dulu beramai-ramai. Setiap orang boleh mengambilnya.
Ketiga sumur itu terletak di halaman rumah yang luasnya nyaris seperti lapangan bola. Dengan tembok mengelilinginya, namun tembok itu roboh saat gempa Yogya tahun 2005. Sebuah pintu masuk melengkung. Kami menyebutnya sejak dulu sebagai regol.
Photo by Matthew Lakeland on Unsplash