Oleh Denik
Apa yang terbersit di benak kalian begitu mendengar kata tomboy? Perempuan dengan penampilan seperti laki-laki? Yap, benar. Karena memang demikian penampilan dari perempuan yang tomboy. Tepatnya, seorang perempuan yang memiliki sifat yang dianggap oleh masyarakat sebagai peran gender laki-laki. Demikian pengertian tomboi dilansir dari Wikipedia.
Lalu apa yang kalian pikirkan begitu mendengar kata feminim? Perempuan banget. Iyap. Tepatnya bersifat kewanitaan. Lembut dan sabar. Lalu apa hubunganku dengan kata tomboy dan feminim? Ada. Dan kalau mengingatnya kembali bisa bikin senyum-senyum sendiri. Kok bisa?
Bagaimana tidak? Kalau hanya urusan tomboy dan feminim aku bisa eyel-eyelan dengan orang tua. Terutama bapak. Sebagai anak perempuan dari keluarga Jawa yang konon masih memiliki darah biru dari garis ibu, sejak kecil aku sudah dididik untuk menjadi perempuan Jawa yang njawani. Selain lembut dan sabar juga harus rapi dan tidak sembrono. Maksudnya dalam tindak tanduk dan bertutur kata mesti sopan.
Okelah, kalau untuk urusan etika sopan santun. Tanpa harus dioyak-oyak aku juga paham. Tapi untuk urusan penampilan? Nah, ini nih yang bikin drama. Bapak dan ibu menyuruh aku untuk memanjangkan rambut. Sedangkan aku (saat itu) tidak suka. Rasanya kok ribet. Namun karena diceramahi panjang kali lebar akhirnya aku menuruti apa kata mereka.
“Nah, begitukan ayu,” ujar ibu sambil mengepang rambutku yang panjang seketiak.
Urusan pakaian pun demikian. Rok dan dress menjadi pilihan ibu tiap kali membelikanku baju. Padahal aku lebih menyukai pakaian bergaya sporty. Kaos dan celana pendek atau celana panjang. Lagi-lagi sebagai anak aku tidak bisa menolak kehendak orang tua. Jadilah aku kecil terlihat sangat perempuan sekali alias feminim. Seingatku hal tersebut berlangsung sampai aku duduk di bangku akhir Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Memasuki Sekolah Lanjutan Tingkat Atas barulah terjadi perubahan dalam soal penampilan. Itu pun karena insiden. Maksudnya ada kejadian yang membuat aku dan orang tua melakukan kesepakatan. Jika tidak tentu tak akan ada perubahan.
Semua berawal dari kesalahanku memilih sekolah lanjutan. Sebenarnya bukan kesalahan tetapi semacam kecerobohan tanpa mempertimbangkan segala sesuatunya. Zaman aku dulu untuk urusan memilih sekolah berdasarkan NEM tertinggi. Selama nilai kita tinggi atau bagus sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh sekolah bersangkutan, maka kita bisa pilih sekolah dimana saja. Asal masih satu wilayah.
Nah, aku pilih sekolah yang paling jauh dari rumah dengan pertimbangan ingin mencari suasana baru. Ingin menambah pergaulan. Tidak itu saja teman-temannya. Sebab kebanyakan teman-teman memilih sekolah yang terdekat. Jadilah di SLTA ketemunya dia lagi. Kalau istilah sekarang 4L. Lo lagi Lo lagi. Aku tidak ingin seperti itu. Cerobohnya, aku tidak bertanya terlebih dulu kepada guru di sekolah atau berembug dengan orang tua. Pokoknya mengikuti kata hati. Pilih sekolah A.
Zaman aku, memilih sekolah itu sebelum ujian. Jadi kalau salah memilih sekolah terus nilai ujian rendah, tamatlah kita. Alamat tidak dapat sekolah negeri. Hal tersebut yang dikhawatirkan pihak sekolah begitu mengetahui sekolah yang kupilih. Aku memilih sekolah unggulan dan paling favorit yang saingannya banyak. Orang tuaku sampai dipanggil oleh pihak sekolah untuk menanyakan kepastian tersebut. Maka habislah aku dimarahi oleh bapak. Karena aku memang tidak berdiskusi terlebih dulu dengan orang tua.
“Data sudah dikirim ke pusat. Jadi tidak bisa diubah. Sekarang yang terpenting kamu fokus dengan ujianmu. Biar bisa meraih nilai maksimal,” ujar guruku.
Aku mengiyakan meski dalam hati merasa tegang juga. Aku baru tahu juga kalau sekolah yang kupilih incaran anak-anak juara umum di sekolahnya. Sedangkan aku meski pernah berada di peringkat pertama tapi pernah juga berada di posisi 10 besar. Secara logika aku seperti bertaruh dengan Dewi Fortuna. Bapak jelas marah jika aku sampai tidak masuk sekolah negeri. Membuat malu keluarga. Begitu dalih bapak.
Dalam urusan pendidikan dan martabat keluarga, bapak termasuk keras. Tidak ada istilah gertak sambal. Membuat malu keluarga ganjarannya berat.
“Pokoknya kalau sampai tidak dapat sekolah negeri lebih baik tidak usah sekolah. Kamu kerja dan cari sekolah sendiri sana. Wong kerjamu cuma disuruh belajar yang bener masa enggak bisa dapat nilai bagus.”
Aku merasa ngeri juga dengan ancaman bapak. Memang benar sih apa yang diucapkan bapak. Tugasku cuma belajar. Masalahnya aku salah perhitungan dan waktu ujian sudah semakin dekat. Aku jadi tidak percaya diri. Untuk meyakinkan diri. Aku pun nekad mendatangi sekolah yang kutuju untuk menemui kepala sekolahnya. Aku ingin mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya secara langsung. Bukan katanya guru ini atau kata guru itu kalau sekolah A begini-begini.
Walau terbersit perasaan takut, mengingat jarak sekolah yang begitu jauh dan belum kuketahui lokasinya. Akhirnya aku berhasil menemui kepala sekolah A. Dari obrolan dengan beliau aku mendapat gambaran tentang plan A dan plan B untuk bisa lolos di sekolah unggulan. Intinya belajar sekeras mungkin dengan strategi yang jitu.
“Siap Pak. Aku akan buktikan kalau aku bisa. Tapi janji ya, Pak? Kalau aku lolos, maka aku boleh potong rambut ala cowok.”
“Iya. Potonglah sekarepmu (bhs Jawa: sesukamu),” sahut bapak.
Wah, bukan main girangnya hatiku. Aku begitu bersemangat menyongsong hari ujian nasional. Namun merasa tegang saat melihat papan pengumuman siswa/siswi yang lolos di sekolah negeri.
Ketika teman yang ada di muka papan pengumuman mengatakan bahwa aku diterima di sekolah A. Bukan main girangnya hati ini.
“Permisi sebentar deh. Cuma mau memastikan,” kataku menyeruak di antara kerumunan teman-teman yang berdiri di depan papan pengumuman. Begitu temanku menunjukkan namaku, spontan aku berteriak dan langsung menuju ke ruang guru. Kupeluk wali kelasku. Kemudian guru-guru lain memberi ucapan selamat kepadaku.
Tiba di rumah kusampaikan hal tersebut pada bapak. Semua menyambut gembira. Aku pun langsung menagih janji bapak.
“Potong sekarang ya, Pak?”
Bapak tertawa mengiyakan permintaanku. Ibu yang bertindak sebagai tukang guting rambut.
“Sayang-sayang sudah panjang begini,” kata ibu saat menyisir rambutku.
“Nanti juga panjang lagi, Bu.”
“Beneran nggak nyesel?”
“Enggak.”
Dan kres kres kres. Helai rambutku berjatuhan di lantai. Aku benar-benar dipotong pendek sependek-pendeknya. Aku menyebutnya semi cepak. Karena hanya tinggal sepanjang jari telunjuk ukuran rambutku. Kepalaku terasa enteng dan langkahku terasa ringan. Mungkin inilah yang dikatakan menjadi diri sendiri. Bebas tanpa beban.
Di sekolah yang baru teman-teman menyebutku tomboy. Padahal aku tak merasa begitu. Aku hanya menyukai kepraktisan. Tidak suka yang ribet. Apalagi lelet. Sukanya yang serba sporty. Kemayu dan lemah gemulai bukan tipeku meski aku seorang perempuan. Mungkin hal tersebut yang membuat teman-teman menyebutku tombi. Terserah saja sih mereka mau menyebutku apa. Yang terpenting aku sudah menjadi diriku sendiri. Tanpa tekanan apalagi paksaan.
Setelah memasuki dunia kerja barulah aku mulai menyadari, bahwa apa yang orang tuaku arahkan dulu dalam soal penampilan tak lain demi kebaikanku juga. Agar aku terbiasa rapi, terbiasa bersikap lembut dan anggun. Menjadi karyawan di salah satu bank swasta di daerah Sudirman, kebanggaan sekaligus musibah dalam tanda kutip. Aku yang sejak lulus SMP tidak pernah mengenakan rok selain rok sekolah. Mesti membiasakan diri mengenakan rok selutut dan sepatu hak tinggi. Rasanya tuh tersiksa sekali. Duduk tak nyaman sebab rokku yang mini. Kaki lecet dan sakit sebab tak terbiasa mengenakan sepatu hak tinggi. Orang melihatnya enak. Aku bisa bekerja di bilangan Sudirman dengan penampilan rapi, bersih dan menarik setiap hari. Di gedung bertingkat dan ruangan ber-AC impian para pencari kerja. Tidak tahu saja bahwa aku menahan sakit dan krisis percaya diri dengan penampilan yang bukan gue banget.
Namun semua itu harus kujalani dan lalui sesuai kehendak-Nya. Rezekiku saat itu di sana, mau bagaimana lagi? Seandainya dulu aku tetap mengikuti arahan orang tua. Pasti tak ada “drama” soal penampilan. Tapi aku tidak menyesal kok. Setidaknya aku jadi punya cerita tentang tersiksanya mengenakan rok di atas lutut dan sakitnya mengenakan sepatu hak tinggi. Bergaya tomboi atau feminim adalah pilihan. Namun alangkah baiknya jika bisa memadukan keduanya. Sebab sikap idealis kita kerap berbenturan dengan realita. Maka harus bisa realistis. Itu sih pelajaran yang bisa kupetik dari urusan penampilan di masa lalu. (EP)
Photo by Jakayla Toney on Unsplash