Oleh: Windry Dezentya
Hening. Seperti malam-malam sebelumnya. Tampaknya kejadian sore itu masih betah menaungi sebagian besar isi kepala. Aku masih bingung. Yang tadi itu apa? Gumamku sembari menguatkan pelukan pada boneka lumba-lumba berwarna merah muda itu. Seperti gadis kecil kebanyakan, aku juga memiliki barang kesayangan. Dolphin, sebutanku pada boneka manis yang akhir-akhir ini tak pernah absen menjadi teman tidurku.
Ah, benar saja. Aku benar-benar tak bisa tidur. Otakku masih menerka-nerka perlakuan apa yang kuterima dari pria buncit yang sebenarnya masih memiliki hubungan darah dengan keluargaku itu. Mamak, dia adalah mamakku. Dalam adat Minang, mamak adalah sebutan untuk laki-laki yang berasal dari keluarga ibu.
Seperti kaset rusak, kejadian itu berulang-ulang diputar dalam ingatan. Lagi, dan lagi. Aku tak tahu itu perbuatan baik atau tidak, aku juga tak tahu kejadian tersebut boleh diceritakan atau tidak. Eh, t-tapi, kalau baik, kenapa aku sedikit diseret tadi? Ehm, kalau boleh diceritakan, kenapa tadi mulutku ditutup dan pintu dikunci? Apa ini permainan rahasia? Ini benar-benar merepotkanku. Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Sontak tanganku menarik selimut hingga sebatang badan tak ubahnya bak kepompong. Aku harus bagaimana? Suara hatiku dengan nada sedikit kesal.
Selesai aku berguling kiri dan kanan. Seolah mendapat hidayah, aku tersadar. Aku harus tidur. Besok sekolah. Kalimat ajaib yang akhirnya menidurkanku dalam sekejap.
“Bangun, Nak. Sekolah.”
Suara lembut ibu mengembalikan nyawaku yang berkeliaran semalam. Dengan langkah malas, aku berjalan ke kamar mandi, mengguyur badan sekadarnya, dan mandi seperti biasa.
Sepulang sekolah, selepas makan siang, sudah menjadi ritual wajib bagi anak seusiaku untuk membeli jajanan. Uang selipan 500 perak pun tak apa, aku masih bisa membeli dua buah pasta cokelat atau mie instan. Maklum saja, harga jajanan 13 tahun yang lalu memang tak semahal saat ini. Inflasi kata orang-orang.
Aku jajan di sebuah rumah yang dapurnya berjarak selangkah dengan teras rumahku. Memang tidak seperti warung, namun pemilik rumah itu menjual jajanan dan sedikit sembako di ruang penghubung antara ruang keluarga dengan dapurnya. Benar. Mamakku pemilik rumah tersebut.
Dan seperti kemarin, pria itu mulai bersikap aneh. Dia bukanlah orang asing. Tapi tetap saja, perlakuannya saat merangkulku terasa janggal dan tak biasa. Kali ini bukan diseret, aku diajak ke kamar paling belakang di rumahnya, sembari mengobrol.
Saat di sana, aku hanya duduk di kasur tanpa banyak bicara. Aku tidak lagi meminta keluar seperti kemarin. Namun, ternyata tanpa permintaan itu pun ia tetap mengunci pintu dengan perlahan. Seperti maling saja di rumah sendiri, pikirku.
Dan benar. Ini masih sama seperti kemarin. Berkali-kali ia membisikkanku kata-kata yang tidak kumengerti. Saat itu aku mulai berpikir, sepertinya ini bukan sesuatu yang benar! Tapi suaraku raib dimakan cemas.
Aku, gadis 6 tahun yang tidak tahu harus berbuat apa saat seorang pria paruh baya menyodorkan senjata biologisnya di atas badanku. Aku berusaha memanggil orang-orang, tapi tetap tak bisa. Suaraku tertahan.
Kali ini aku benar-benar takut. Ini bukan permainan! Ini pasti kejahatan, t-tapi aku tidak tahu apa sebutannya.
Seseorang! Tolong akuuu!!
Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash