Karya: Samsul Arifin
Libur sekolahpun akhirnya tiba. Aku yang saat itu duduk di kelas satu SMA berencana untuk melakukan libur sekolah di luar Nganjuk tempat di mana aku dilahirkan. Setelah ujian semester selesai aku mulai memikirkan kemana tempat yang cocok untuk berlibur. Dan akhirnya angin pun membawa ke kampung halaman ayahku, yaitu Sidoarjo.
Senin pagi di awal liburku aku memulai perjalananku. Dengan menaiki bus antar provinsi aku pergi ke Sidoarjo. Dengan di temani buku catatan harianku aku memulai petualangan pagi itu. Harap-harap ada sebuah kisah menarik yang dapat ku goreskan di buku catatanku ini.
Dua jam lebih aku naik bus, akhirnya aku sampai di terminal Bungurasih, Sidoarjo. Saat itu aku turun di depan pintu masuk terminal Bungurasih. Aku sengaja tidak turun di area dalam terminal karena kata ayahku kalau turun di dalam area terminal aku harus berjalan lumayan jauh untuk mencari ojek ataupun angkot.
Ketika kakiku kuturunkan di depan pintu masuk masuk terminal, aku sejenak terdiam melihat sekelilingku, aku sangat senang saat itu karena aku berhasil ke sidoarjo seorang diri untuk pertama kalinya. Iya ini memang pertama kalinya aku datang ke sini seorang diri.
Setelah cukup lama aku terdiam tiba-tiba suara bapak-bapakpun mengagetkanku. Ternyata di belakangku ada seorang bapak-bapak yang sedang duduk sendiri dengan wajah kebingungan..
“Mau ke mana, Dek?” tanyanya padaku
“Anu Pak, saya mau ke rumah kakak saya,” jawabku dengan nada santun dan sedikit membungkukan badanku.
“Ohhh, mau naik apa ke sana?” tanyanya lagi padaku dengan suara yang berwibawa.
“Ojek mungkin, Pak” jawabku lagi atas pertanyaannya.
Dengan berdiri dia menepuk pundakku dan berkata, “Oh kalau mau naik ojek jangan di sini Dek, kamu jalan lagi aja kesana nanti ada banyak ojek disana. Kalau di sini bukan kawasan ojek Dek, di sini kawasan taksi, Dek.”
Dengan wajah bingung aku menjawab, “Oh, gitu ya, Pak. Makasih Pak, sudah dikasih tahu”
Tanpa menjawab ucapan terimakasihku tiba-tiba beliau menyuruhku duduk di sampingnya. Karena dia sudah begitu baik padaku akhirnya aku tidak menolak permintaanya. Di saat itu, seperti biasanya orang yang baru kenal kami pun saling bertanya dan memperkenalkan diri kami masing-masing. Dan nama bapak itu adalah bapak Joko. Beliau berasal dari salah satu daerah di Jawa Tengah yang menjadi kelahiran presiden indonesia ke-7, yaitu Solo.
Setelah perkenalan kami selesai pun tiba-tiba Pak Joko langsung bercerita segala hal tentangnya kepadaku. Dan di akhir ceritanya dia berkata padaku bahwa dia ingin pulang ke Solo unuk menemui keluarganya di sana. Dia bercerita kepadaku kalau dia sangat merindukan anak dan istrinya di sana,
Beberapa menit aku mendengar ceritanya tiba-tiba sebuah pertanyaan dilayangkannya padaku.
“Adek punya uang lebih atau tidak? Saya tidak punya uang sepeser pun saat ini untuk pulang ke Solo.”
Mendengar pertanyaannya akupun langsung terkejut. Dalam hatiku aku berguman, “Waduh, bapak ini kok malah kayak gini pertanyaannya?” Aku saat itu merasa bingung untuk memberinya uang atau tidak karena aku curiga bapak ini cuma pura-pura tidak punya uang.
Karena aku takut kalau beliau seorang penipu akhirnya aku berkata bahwa aku tidak mempunyai uang untuk kuberikan kepadanya, uangaku hanya cukup untuk naik ojek. Saat itu aku terpaksa berbohong padanya, sebenarnya di dompetku masih ada uang sekitar 300 ribu.
Dengan wajah kecewa beliau tetap memohon kepadaku untuk memberinya sedikit uang untuk ongkos dia pergi ke Solo. Karena dari awal aku menganggapnya sebagai seorang penipu akhirnya aku tak memberikan uang sepeser pun padanya. Dengan meminta maaf akupun akhirnya pamit pergi meninggalkannya,
Ketika aku pergi meninggalkanya, wajah beliau terlihat sangat kecewa, senyumnya di awal pertemuan kini berubah menjadi cemburut yang menyedihkan. Tanpa pikir panjangpun aku tetap melanjutkan jalanku dengan guman di hatiku, di zaman sekarang kok masih ada ya orang yang suka menipu kayak gitu.
Setelah berjalan sekitar lima menit akhirnya akupun bertemu dengan tukang ojek. Aku akhirnya menyuruh tukang ojek tersebut untuk mengantarkanku kerumah kakakku. Di perjalanan tersebut aku pun bercerita pengalamanku bertemu Pak Joko kepada tukang ojek tersebut. Tanpa memberi komentar ia hanya menjawab iya iya saja saat aku bercerita.
Setelah 15 menit aku naik ojek akhirnya aku sampai juga di rumah kakakku. Sesampainya di sana aku langsung di sambut oleh kakakku dan suaminya serta anak-anaknya yang lucu. Di sana aku menghabiskan waktu liburku selama dua minggu
Dua minggu pun berlalu dengan begitu cepat. Akhirnya waktu liburku pun sudah habis. Waktunya aku kembali ke Nganjuk. Dengan angkot akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke terminal Bungurasih. Sebelum naik angkot aku mengecek uang di dompetku ternyata masih ada uang sekitar 100 ribu. Cukuplah ongkos pulang, gumanku dalam hati.
Ketika aku berada di angkot aku duduk di samping seseorang yang mengaku sebagai mahasiswa di salah satu universitas swasta disana. Karena keadaan angkot yang penuh akhirnya desak-desakanpun tak terelakan. Sepuluh menit aku naik angkot mahasiswa di sampingku pun akhirnya turun. Dia pamit kepada untuk turun terlebih dahulu.
Lima menit kemudian akhirnya aku sampai di terminal Bungurasih. Ketika aku turun dan ingin membayar ongkos angkot tiba-tiba dompet di saku belakangku hilang. Saat itu aku bingung dan mencari dompet tersebut di tas dan semua penjuru angkot. Setelah beberapa menit memcari akhirnya sopir angkot tersebut berkata padaku mungkin dompetku dicopet. Mendengar perkataannya aku langsung terdiam dan sedih. Mungking karena ia iba akhirnya ia tak meminta ongkos kepadaku dan menyuruhku pergi.
Dengan ucapan terimakasih akhirnya aku pergi. Saat itu aku merasa bingung sekali karena dompetku hilang. Aku bingung bagaimana caraku untuk pulang ke Nganjuk. Karena aku bingung akhirnya aku berhenti sejenak dan duduk sejenak di pinggir jalan. Saat itu aku merenungi nasibku yang begitu mengenaskan.
Setelah setengah jam aku merenungi nasibku tiba-tiba suara yang tak asing di telingaku pun menyapaku. “Hey, Adek yang dulu di pintu masuk, ya?”
Mendengar suaranya aku terkejut dan menoleh ke arah suara tersebut. Ketika aku monoleh ternyata orang yang menyapaku adalah Bapak Joko. Saat itu aku terkejut melihatnya. Dengan wajah sedikit malu pun aku akhirnya menyapanya.
Melihat diriku yang duduk lesu di pinggir jalan. Beliaupun akhirnya bertanya kepadaku, “Adek kenapa? Kok duduk di sini, terus wajahnya sedih gitu?”
Dengan suara yang lirih pun akhirnya aku bercerita tentang peristiwa di angkot tadi. beliau mendengarkan ceritaku dengan seksama. Setelah mendengar ceritaku tiba-tiba beliau memberikanku uang seratus ribu. Melihat uang itu disodorkan kepadaku akhirnya aku merasa bingung dan diam sejenak.
“Ini Dek, kamu ambil nggak papa, buat ongkos pulang.”
Melihat kebaikan Pak Joko aku pun langsung teringat pada saat pertama kali kami bertemu. Aku merasa malu sekali karena aku telah meninggalkanya saat itu, saat di mana dia membutuhkan petolonganku.
“Lho, kok malah diam? Ini Dek, kamu ambil nggak papa,” paksanya padaku.
“Beneran ini, Pak? Saya nggak enak sama Bapak soalnya saya saat itu nggak mau bantu Bapak,” jawabku dengan sungkan dan malu.
“Ambil aja nggak papa. Yang dulu baiarlah berlalu, alhamdulillah setelah Bapak ketemu kamu Bapak saat itu ketemu ibu yang memberi Bapak uang untuk pulang ke Solo,” jelasnya padaku.
Karena aku sangat membutuhkan uang tersebut untuk ongkos pulang akhirnya akupun menerima uang tersebut. Dengan ucapan terimakasih aku menerima uang tersebut. Setelah aku menerima uang tersebut akhirnya Pak Joko menginggalkanku, katayanya beliau ada urusan yang mendesak saat itu, sehingga harus pergi. Dengan ucapan terimakasih yang kulontarkan beberapa kali padanya akhirnya aku mempersilakan beliau untuk pergi.
Dengan uang yang diberikan Pak Joko tadi, alhamdulillah akhinya aku bisa pulang ke Nganjuk. Di dalam bus tak hentinya ku mengucap syukur dan mendoakan Pak Joko agar beliau selalu diberi kemudahan untuk segala urusannya.
Akhinya karena persitiwa inilah aku mendapat sebuah pelajaran hidup yang sangat berarti bagiku. Yaitu pelajaran tentang berprasangka kepada seseorang, Ketika seseorang meminta bantuan kita marilah kita tolong semampu kita, tanamkan sifat prasangka baik pada diri kita. Dan jangan pernah berburuk sangka kepada orang lain.
Photo by Frederick Warren on Unsplash