Oleh Dwina
“Itu, itu, itu, yang sebelah sana ada yang merah sekali.”
“Yang manaa?”
“Kakak tahu cabang besar yang ke barat itu, tuh tuh bener kan ada yang besar, merah sampai kehitaman gitu jambunya.”
“ Oo…. ooo… iya ya, kakak lihat sekarang, tapi tingginya kalo kamu mau panjat, mana buahnya di ujung dahan kecil, bahaya itu, Dek.”
“Alaaaah… itu gampang, entar adek sudah sampai di cabang yang besar sebelahnya itu tinggal ambil dan tarik ranting yang ada jambunya itu.”
“Ooalahh… iya tapi bahaya sekali itu.”
Dengan sigap si adek yang sudah minta izin entah dijawab iya atau tidak dari kakaknya segera mulai memanjat. Awalnya terlihat agak susah tapi adek sampai juga di dahan besar pertama sehingga dia bisa berhenti sejenak sebelum melanjutkan naik ke cabang yang lebih atas yang paling dekat dengan jambu tujuannya.
Tak lama kemudian sampailah dia ke cabang terdekat di mana jambu tersebut berada. Tangan kirinya berpegangan pada dahan besar dan pelan-pelan tangan kanannya meraih dahan kecil di mana jambu tersebut menggantung. Dengan hati-hati sambil menahan nafas tangan adek sedikit demi sedikit merayap berusaha meraih jambu tersebut dan, hap, jambu merah yang sepertinya susah diambil sekarang sudah di tangan adek.
Kakak yang berada di bawah terlihat sangat tegang. Sebenarnya mereka berdua bukan takut akan jatuh dari pohon atau terluka tapi khawatir jika jambu yang ranum tersebut tidak bisa diraih dan akhirnya jatuh ke tanah. Pastilah akan belepotan kerikil-kerikil kecil, penyok dan akhirnya hilanglah kenikmatan jambu tersebut.
Dengan senyum kemenangan, si adek meletakkan jambu tersebut di saku depan baju putihnya. Ternyata saku itu terlalu kecil untuk ukuran dua jambu yang berhasil dia ambil. Sambil duduk santai di cabang pohon yang cukup tinggi itu si adik menggigit jambu satu yang ada ditangannya. Hap, gigitan pertama sudah dilakukan disaksikan si kakak yang lelah menengadah dari tadi memastikan adek baik-baik saja.
“Dek, ayolah segera turun… aku juga mau….”
“Iya, bentar.”
“Kok bilangnya bentar tapi masih duduk di situ?”
“ Iya, iya. Sabar kenapa?”
“Bukan jambunya saja yang aku mau tapi aku khawatir Ibuk tahu kalau kamu manjat pohon lagi, dia akan ma….”
Belum selesai kata terakhir keluar dari mulut kakak, bak petir di saat hujan panas siang hari suara menggelegar , ibuk membuat jantung terasa berhenti berdetak dan tiba-tiba badan rasanya panas dingin tidak karuan.
“Hayo… naik yang lebih tinggi lagi! Sudah diberi tahu bahaya kalo manjat pohon jambu yang licin itu. Nanti kalau jatuh kakimu patah gimana?” Terlihat ibuk dari kejauhan semakin mendekat dengan muka memerah marah karena kebandelan kami.
Secepat kilat aku turun dari pohon dan dua meter mendekati sampai tanah yang tak ada cabangnya lagi aku tinggal meluncur, melorot saja dengan dadaku menggesek keras ke pohon tersebut. Bayangan tangan ibu melayang meraih daun telingaku sudah membuat ketakutan yang teramat sangat. Badan ini terasa kaku, tak berani bergerak sedikit pun. Mata menutup siap dengan segala risiko yang akan terjadi.
Aku sempat melirik ibu mengarahkan tangannya ke lenganku dan juga lengan kakakku. Kami berdua dicubit dengan keras sampai kami meringis kesakitan. Kali ini sasarannya ternyata bukan telinga kami tapi tangan kami. Kami meringis menahan sakit tapi tak berani menangis karena jika menangis bisa jadi hukuman kami bertambah berat.
Lalu dengan emosi, ibu menyeret kami ke kamar mandi dan melepas pakaian kami untuk segera dimandikan. Biasanya untuk membuat kami segera tenang di rumah ibu memandikan kami, mengganti pakaian kami dengan yang bersih dan menyuapi kami. Sambil dimandikan selain rasa takut dimarahi aku masih memikirkan jambu di sakuku dengan entengnya ibu melempar pakaian kami tadi. Dalam hati, “Aduh… jambuku sayang, akhirnya rusak sebelum dinikmati kakakku.”
Photo by Jeremiah Lawrence on Unsplash