Merayu Dalam DAMRI

Oleh Delfitria

Dua tahun lalu, entah kapan persisnya, malam saat aku berada di Bus DAMRI ternyata menjadi perjalan paling manis. Aku masih seorang mahasiswi. Mahasiswi tua yang kesepian dan jatuh cinta pada kakak tingkat di fakultasnya hingga kakak tingkatnya tersebut sudah menjadi alumni. Ia sudah bekerja di tempat yang layak, dan aku, mahasiswa tua itu, masih saja fangirling! Ini Kisah tak berbalas’ kalau kata lagu-lagu cinta. 

Da, sebutan sayang yang tak sengaja ku sematkan pada dia karena keturunan Minang asli. Uda yaitu panggilan untuk laki-laki. Selain itu, Da juga terdengar manis pas untuk orangnya. Aduh, orang yang sedang jatuh cinta selalu menganggap semua hal terasa manis, bukan? Meskipun sekarang kalau diingat agak menggelikan, ya. 

Ku ceritakan sedikit mengenai Da. Da adalah seorang pegiat bisnis sosial. Ia juga minat dalam dunia pendidikan. Selama di kampus, Ia sangat antusias berbagi cerita soal mimpi-mimpinya membangun pendidikan, sistem belajar, hingga membangun cara berpikir manusia yang cerdas padaku. Ia sangat produktif terutama saat bergabung pada proyek bisnis. 

Setelah Da lulus, kami hanya bertemu melalui media sosial whatsapp. Pernah suatu hari aku menghubungi dia setelah sejak lama tak berkabar. Lalu Ia membalasku secara berkelanjutan. Ia masih ingat bagaimana dulu aku membangun percakapan dengannya, pertama kali whatsapp. 

“Dor!” pesan pertamaku saat mengirimkan pesan.

“Aduh kaget!” jawaban pertamanya. Lucu kan? Dia menyambung humorku. 

Hingga akhirnya aku sadar bahwa aku masih berharap bisa menjadi pasangan hidupnya. Lagian setahun lagi juga aku lulus! Sesama orang Minang seharusnya sih akan lancar-lancar saja, ya? Malu sendiri nulis pemikiran masa lalu dengan kenyataan sekarang yang sudah memandang pernikahan tidak semudah mengucapkan ‘Sah!’

Selanjutnya, aku bertanya tentang kabar dan kemungkinan kami bisa bertemu. Biasa, modus mahasiswa tua untuk tahu soal dunia pasca kampus. Basi! Hingga suatu malam, Ia mengundangku untuk ke Bandara, menyambutnya pulang dari luar kota. Apa yang ku lakukan? Ya, malam itu aku langsung berangkat ke Bandara menggunakan bus besar yang bernama DAMRI! DAMRI untuk pertama kalinya dalam hidupku ternyata ku lakukan untuk menyambut seseorang yang bahkan tidak ada hubungan apa-apa denganku. 

Aku berangkat selepas isya dan menunggu di Bandara Soekarno Hatta hingga pukul 10 malam. Duduk. Menunggu. Deg-degan. Sudah lama tidak bertemu! Senang pun bingung juga. 

“Ah, intinya mah ketemu!” hingga akhirnya sebuah pesan masuk ke whatsappku,

“Kamu di pintu mana?” tanyanya

“Di sini” mengambil gambar sebuah tempat.

“Jalan terus ke depan”

“Haiiiiiiii!” antusiasku. Pipiku merah sekali seperti ubi merah bakar. Jantung rasanya lompat-lompat. Ah, dia masih semanis dahulu!

Bahagia sekali rasanya. Pasti akan lebih bahagia jika aku dan dia pulang ke arah yang sama,  rumah yang sama. Aku perhatikan lipatan kerahnya, kemeja yang rapih, rambut yang teratur dan tidak lupa kumis tipis yang terasa sempurna ketika Ia membalas senyumku. 

Anyway, Berhubung aku masih kuliah, dan hari sudah begitu malam..

“Pulangnya nanti naik apa, ya?” tanyanya. “Tidak tahu..” ujarku polos, yang berharap diculik saja kalau bisa olehnya. 

“Sebentar, ku pesankan tiket kita pulang naik DAMRI bersama, sepertinya masih ada” sambungnya. Ah, tidak jadi diculik!

Malam itu, bandara jadi tempat paling magis. Bandara menjadi medan magnet yang membuatku tak bisa lepas dari pandangannya. Mengikutinya dari belakang adalah hobiku! Gengsi? Tidak sama sekali. Jatuh cinta memang semanis itu, ya. Minum air putih pun terasa manis-manisnya. 

Hingga akhirnya, kami memiliki dua tiket DAMRI arah Gambir. Aku harus pulang ke arah Depok, sedangkan Da harus pulang arah Jakarta. 

“Ah, bodoh!” seketika pikiranku mumet. “Bagaimana kalau tidak ada kereta? Terluntang lantung di Gambir? Pulang ke asramanya bagaimana?” entahlah. Semua kebingungan itu sirna ketika aku masuk Bus DAMRI bersamanya. 

Bus menyalakan mesin dan mulai bergerak ke luar Bandara. Lampu-lampu dalam dimatikan. Perjalanan ke luar Bandara yang begitu berisik justru terasa tenang. Da disampingku rasanya sudah cukup. Kami saling melempar pertanyaan setelah sekian lama tak bertemu. Ia bertanya bagaimana kehidupanku saat itu. Aku pun bertanya tentang pekerjaannya saat ini. Hingga akhirnya aku tersadar bahwa Ia butuh istirahat selama perjalanan pulang.

“Istirahat saja. Kan lelah dari luar kota,” ujarku.

“Beristirahat sudah sering, bersamamu tinggal 16 menit lagi!” jawabnya tenang. 

Menurut google maps, 16 menit lagi bus akan sampai di Gambir. Kami akan terpisah. Berjam-jam di Bandara terbayar lunas oleh dua jam di dalam Bus DAMRI.

Aku jadi bertanya-tanya sekarang, “Apa Kabar Kamu, Da?”


Photo by Annie Spratt on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *