Oleh Lisvy Nael
Masa lalu adalah masa depan yang kutakuti. Setiap jejak langkah yang telah kutinggalkan, Ia menuntunku ke depan. Menjadi masa depanku. Lantas, apa sebenarnya masa lalu? Apa pula masa kini dan masa depan?
Waktu tidak pernah menjadi pertanyaan semusim bagiku. Ia menjelma menjadi setiap tarikan napas yang kuhela. Menjadi butir hujan yang menetes tak terkira banyaknya. Menjadi setiap kebuntuan yang terlintas di pikiran.
Kukira juga, aku memiliki waktu. Nyatanya, waktu memiliku. Atau… kita bukan milik siapa-siapa selain Pencipta semesta. Kita sekadar mahluk yang berjalan dengan tujuan yang sudah ditetapkan. Lantas, apakah kenangan? Kenapa Ia menjadi hal-hal yang terasa penting utuk kita lupakan? Bahkan jika itu adalah sesuatu yang justru menyakitkan?
Kupanggil bulan yang tampak sanksi dengan udara malam ini. “Sampaikah sinarku ke bumi? Sampaikah kasihku padanya yang sedang merasa sendiri?” Aku tersenyum. Dia mendekat. Kusampaikan, dia terlihat jelas dan tak usah khawatir dengan sinar ataupun kasihnya. Karena aku merasakannya dengan senang hati. Membantuku menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan musykil dari belantara pikiranku sendiri. Setidaknya, untuk sementara, selagi aku bisa duduk di beranda sambil memandangnya.
Bulan terkekeh. “Memangnya apa yang sedang kau pikirkan?” tanyanya. Bukannya senang, aku malah terusik.
“Kan sudah kukatakan, biar aku di sini dengan tenang. Meninggalkan pikiranku yang berantakan di ruang peristirahatan,” keluku.
“Sudah… tak apa, ceritakan saja. Justru selagi aku di sini, barangkali aku bisa membantumu mencari jawaban-jawaban buat pertanyaanmu,” desak bulan.
“Hm… aku masuk dulu kalau begitu. Biar aku tenggelam lagi dalam lamunanku tentang waktu.”
“Bukankah kau tadi memanggilku?”
“Tadinya aku hanya ingin memintamu mengabarkanku tentang keributan di Utara waktu, tapi kau lebih tertarik dengan kepalaku. Ya sudah, aku tak jadi bertanya padamu.”
Lalu kutinggalkan bulan. Biar dia sendirian. Akan kulanjutkan pelayaranku di samudera tak karuan bernama pikiran. Sekali-kali, ketika merasa perlu, kuturunkan jangkar. Berhenti untuk menengok ke bawah. Siapa tahu ada Cracken atau Megalodon. Akan kukatakan beberapa pertanyaan. Sederhana saja seperti bagaiman hidupnya dulu? Atau, apakah laut dalam benar-benar dalam? Karena, pernah saat kuselami dalam mimpi, aku terdampar dalam sebuah nostalgia kesakitan. Lalu saat terbangun, mulailah lagi aku mengutuk waktu. Bagaimana orang bilang waktu menyembuhkan, tetapi sepertinya tidak selalu untuku. Waktu itu bukan lain adalah kutukan menyeramkan.
Ah tentang pertanyaanku, apakah sebaiknya tidak kutanyakan juga? Siapa tau Ia juga memendam kecewa atau ketakutan. Sama sepertiku perilah waktu. Masalalunya adalah masa depanku. Kepunahannya adalah jejak manusia. Lantas, apakah masa lalu dan masa depan? Siapa pula aku yang sekarang sedang duduk termangu sambil membicarakan masa? Siapa kamu yang membaca catatan tak karuan dari pikiran yang sedang tak kalah aruan. Sebelum benar-benar selesai, aku masih berlayar di samudera ketidakmenahuan ini. Kalau tak sengaja berpapasan, jangan sungkan menyapaku.
Photo by Jon Tyson on Unsplash