Marah Pertamaku

Oleh: Agit Yunita

Bagian mana yang selalu asyik untuk diingat jika sudah membicarakan tentang masa lalu? Pasti sebagian dari kita akan menjawab, saat masih anak-anak. Biarpun mungkin tidak semua orang memiliki masa kanak-kanak yang menyenangkan, namun dibandingkan saat sudah menjadi dewasa, masa itu menjadi yang paling dirindukan.

Mungkin termasuk aku. Masa kanak-kanakku biasa saja. Menurutku tidak ada yang istimewa. Tetapi di sanalah aku mempelajari banyak hal. Tentang persahabatan sampai cinta monyet. Tentang pertemuan hingga perpisahan. Cerita yang akan selalu menjadi memori indah meskipun di dalamnya pasti ada kisah yang kurang mengenakkan.

Dari kecil aku tidak pernah merasakan tinggal di kota kelahiran. Baru usia setahun, aku sudah dibawa oleh ayah dan ibuku merasakan yang namanya transmigrasi. Keluar dari pulau Jawa dan menetap di pulau Sumatera. Meskipun pada akhirnya, orang tuaku memutuskan kembali ke pulau Jawa setelah beberapa tahun merantau di sana. Alasan utamanya karena pendidikan. 

Kembali ke pulau Jawa, menetap di sebuah daerah bernama Cimahi. Hingga aku berusia 24 tahun. Itulah mengapa, aku merasa kota yang dulunya hanya bagian kecil dari kota Bandung itu, sudah menjadi kota kelahiranku. Jelas masa kecilku aku habiskan di sana. Sudah merasa menjadi orang Sunda yang tidak pernah bisa berbahasa Sunda. Hehe…

Walaupun aku anak terakhir dari 3 bersaudara, bukan berarti aku yang paling dimanja. Malah sebaliknya, aku selalu merasa dinomor terakhir kan. Semua yang kupakai biasanya hanya turunan dari kedua kakakku. Tetapi biarpun begitu aku cukup senang. 

 Jujur di masa kanak-kanak, aku tidak memiliki banyak teman. Entah mengapa, mungkin karena tidak mudah dekat dengan orang baru. Saat itu aku hanya memiliki tiga sahabat dekat. Sahabat yang bisa dibilang segalanya bagiku. Bersama mereka masa kecilku tidak pernah sepi. Meskipun ada saja drama yang membuat kami sempat bermusuhan, namun itu tidak pernah berlangsung lama. 

Ada satu kejadian yang sampai saat ini masih selalu kuingat. Bisa dibilang, itu adalah kemarahan pertamaku. Ya, marah bagiku adalah sesuatu yang sulit untuk diluapkan. Sekesal apa pun aku pada sesuatu, aku hanya akan memilih diam. Namun kali itu entah mengapa aku di luar kendali.

Aku masih kelas 4 SD saat itu. Satu temanku bernama Nevi sedang bermusuhan dengan teman sekelas kami yang lain bernama Novi. Tetapi entah kenapa aku pun menjadi sasaran ejekan dari Novi. Awalnya aku selalu tak acuh atas setiap cemoohannya. Tetapi lama kelamaan hatiku terasa panas juga. Aku yang saat itu sedang mencatat, dengan amarah yang tidak tertahankan, mencoret-coret buku catatanku sendiri. Hingga sobek berlembar-lembar karena aku mencoretnya dengan menekan kuat-kuat pulpen yang kupegang. Aku pun menangis dan kemudian melempar buku yang sudah hancur itu ke arah Novi. Seketika mereka berhenti bicara dan tertawa. Dengan wajah terkejut dan takut mereka berhenti membicarakanku dan Nevi. Nevi yang juga kaget melihatku yang bisa semarah itu lekas menenangkanku. Entah apa yang aku pikirkan saat itu. Aku hanya bisa menangis setelahnya.

Jika mengingat itu, aku jadi merasa takut sendiri. Dan aku tidak pernah mengulanginya lagi sampai saat ini. Bukan berarti aku tidak pernah marah, hanya saja aku tidak mau dikuasai oleh perasaan buruk itu. Bagiku itu pengalaman pertama yang cukup mengerikan. Saat itu aku merasa itu bukan diriku. 

Walaupun begitu aku merasa ada untungnya juga. Karena setelah kejadian itu, tidak ada lagi teman yang mengejekku. Setidaknya tidak di depanku. 

Bantul, 6 Juli 2021


Photo by Alexander Dummer on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *